0698. HUKUM MENGERJAKAN SHALAT SUNAH SEMENTARA ADA TANGGUNGAN SHALAT QODHO

Pertanyaan:




Jawaban:
Walaikumsalam


بٖسْمٍ الله الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Dikalangan penganut Madzhab Syafi'i dan yang sering disampaikan para Al Ustadz bahwa orang yang masih ada tanggungan shalat fardhu lima waktu yang belum di qodho maka ia harus mengqodho' shalat yang ditinggalkan itu, itu tidak dibedakan antara meninggalkan shalat tersebut sebab apa terlebih karena sengaja tanpa adanya udzur bahkan bila meninggalkan shalat dahulu tanpa ada udzur haram melakukan shalat sunah apapun bentuknya, namun demikian meskipun haram melakukan shalat sunah tapi shalat sunah tersebut sah menurut Imam Ibn Hajar Al Haitami, berbeda menurut Imam Zarkasyi; menurut beliau shalat sunahnya pun tidak sah. Inilah pendapat yang berkisar dalam madzhab Syafi'i, sebagaimana diutarakan Syeikh Zainuddin Al Malibari, dengan komentar Sayyid Bakri Syata Dimyathi berikut:
ويبادر) من مر (بفائت) وجوبا، إن فات بلا عذر، فيلزمه القضاء فورا.

قال شيخنا أحمد بن حجر رحمه الله تعالى: والذي يظهر أنه يلزمه صرف جميع زمنه للقضاء ما عدا ما يحتاج لصرفه فيما لا بد منه، وأنه يحرم عليه التطوع
____________
(قوله: ويبادر من مر) أي المسلم المكلف الطاهر.
وقوله: بفائت أي بقضائه.
(قوله: والذي يظهر أنه) أي من عليه فوائت فاتته بغير عذر.
(قوله: ما عدا ما يحتاج لصرفه فيما لا بد له منه) كنحو نوم، أو مؤنة من تلزمه مؤنته، أو فعل واجب آخر مضيق يخشى فوته.

(قوله: وأنه يحرم عليه التطوع) أي مع صحته، خلافا للزركشي.
Artinya: Wajib menyegerakan mengqodho' Shalat yang ditinggalkan tersebut bagi orang yang sudah disebutkan Yaitu Muslim, mukallaf dan suci. Jika meninggalkan shalat tanpa keuzuran (alasan yang diterima oleh agama) maka diwajibkan kepadanya untuk mengqadhanya dengan segera. Syaikhuna Ahmad bin Hajar rahimahullah berkata : “Secara dhahir bahwa wajib terhadap seseorang yang meninggalkan shalat tanpa uzur menggunakan seluruh waktu mengqadha shalatnya selain waktu yang wajib untuk memenuhi kebutuhannya seperti tidur, atau orang yang menjadi tanggungannya atau mengerjakan hal yang wajib sampai terlewat shalat, dan haram terhadapnya mengerjakan shalat sunat, artinya shalatnya sah menurutnya berbeda menurut Zarkasyi.
[I'aanah at Tholibin I/32]

Dari keterangan tersebut berarti orang yang meninggalkan shalat tanpa udzur sebelum ia mengqodho' Shalat tersebut haram baginya melakukan shalat sunah, bila tanpa udzur tentunya tidak haram dan sah. Salah seorang Ulama Madzhab Syafi'i yaitu Syeikh Bujairimi menyebutkan:

وَمِنْ غَيْرِ الْعُذْرِ أَنْ تَفُوتَهُ الصَّلَاةُ فِي مَرَضِهِ فَيَجِبُ عَلَيْهِ قَضَاؤُهَا فَوْرًا بِأَنْ يَشْتَغِلَ جَمِيعَ الزَّمَنِ بِقَضَائِهَا مَا عَدَا مَا يُضْطَرُّ إلَيْهِ مِنْ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَمُؤَنِ مَمُونِهِ، بَلْ يَحْرُمُ فِعْلُ التَّطَوُّعِ مَا دَامَتْ فِي ذِمَّتِهِ . 
Artinya: Dan meninggalkan shalat tanpa udzur diwajibkan mengwodho'nya dengan segera yakni menggunakan seluruh waktunya untuk mengqodho'Shalat tersebut selain waktu yang memaksa (mengharuskan) baginya melakukan seperti makan, minum dan menanggung biaya apa yang ia tanggung, bahkan haram baginya melakukan shalat sunah.
[Hasyiyah Bujairimi ala al Khotib I/405]

Itulah pendapat yang berkembang dalam Madzhab Syafi'i dan banyak dikatakan para Alim di suatu tempat. Namun demikian ada sebuah hadits seperti berikut:
أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ، فَإِنْ صَلَحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَأَجْنَحَ وَخَسِرَ، فَإِنِ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْئًا قَالَ الرَّبُّ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى: انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلُ بِهِ مَا انْتَقَصَ مِنَ الْفَرِيضَةِ، ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ
Artinya: "Sesungguhnya pertama-tama amalan yang seseorang itu dihisab dengannya ialah shalatnya, maka jikalau baik shalatnya itu, sungguh-sungguh berbahagialah dan beruntunglah ia dan jikalau rosak, sungguh-sungguh menyesal dan merugilah ia. jikalau seseorang itu ada kekurangan dari sesuatu amalan wajibnya, maka Tuhan Azzawajalla berfirman: "Periksalah olehmu semua - hai malaikat, apakah hambaKu itu mempunyai amalan yang sunnah." Maka dengan amalan yang sunnah itulah ditutupnya kekurangan amalan wajibnya, kemudian cara memperhitungkan amalan-amalan lainnya itupun seperti cara memperhitungkan amalan shalat ini."(HR. Tirmidzi)

Dari hadits tersebut sebagian Ulama seperti Imam Nawawi, Ibn Hajar Al Asqolani berpendapat bahwa amalan sunah, termasuk shalat sunah sah dan diterima, dan amalan itu akan mencukupkan kekurangan dari shalat wajib yang kurang, sedangkan hadits yang berbunyi:
لَا تُقْبَلُ نَافِلَةُ الْمُصَلِّي حَتَّى يُؤَدِّيَ الْفَرِيضَةَ
Artinya: "Tidak diterima amalan sunah orang yang shalat sampai ia menunaikan hal yang wajib" berstatus dho'if sehingga tidak bisa dijadikan sandaran hukum, tapi Imam Nawawi mentakwil hadits itu dengan shalat sunah ba'diyah yang ditangguhkan keabsahannya dengan sah shalat fardhu yang menyertainya. Lebih lanjut Imam Ibn Hajar Al Asqolani mengungkapkan bahwa perkataan sebagian orang yang mengatakan tidak sah amalan sunah bagi orang yang ada kewajiban mengwodho'nya adalah dho'if (lemah) karena meskipun berdosa (selagi belum mengqodho' perkara tersebut) maka dosanya tidak membatalkan selainnya. Dari perkataan Imam Ibn Hajar Al Asqolani ini kita dapati pemahaman bahwa pendapat orang yang mengatakan tidak sah perkara sunah termasuk shalat sunah bagi orang yang ada tanggungan mengqodho', adalah dho'if yaitu pendapat yang lemah, contoh dari perkara yang beliau sebutkan yaitu: Orang yang ada tanggungan mengqodho'Shalat sebelum ia mengqodho' Tidak sah ia melakukan shalat sunah, inilah sebagian pendapat kalangan Syafi'iyah seperti diawal tadi. Sebab pendapat itu lemah karena meskipun sebelum mengqodho' ia dalam dosa tidak berarti amalan selainnya itu batal. Ungkapan mereka itu, disebutkan Syeikh Al Mula Al Qori sebagai berikut:
وَفِي الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ: " «أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ، فَإِنْ صَلَحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَأَجْنَحَ وَخَسِرَ، فَإِنِ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْئًا قَالَ الرَّبُّ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى: انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلُ بِهِ مَا انْتَقَصَ مِنَ الْفَرِيضَةِ، ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ» "، قَالَ النَّوَوِيُّ: تَصِحُّ النَّوَافِلُ وَتُقْبَلُ، وَإِنْ كَانَتِ الْفَرِيضَةُ نَاقِصَةً لِهَذَا الْحَدِيثِ، وَخَبَرُ: لَا تُقْبَلُ نَافِلَةُ الْمُصَلِّي حَتَّى يُؤَدِّيَ الْفَرِيضَةَ: ضَعِيفٌ، وَلَوْ صَحَّ حُمِلَ عَلَى الرَّاتِبَةِ الْبَعْدِيَّةِ لِتَوَقُّفِ صِحَّتِهَا عَلَى صِحَّةِ الْفَرْضِ اهـ. وَفِيهِ أَنَّهُ لَا يَتَوَقَّفُ صِحَّةُ ذَاتِهَا، بَلْ يَتَوَقَّفُ بَعْدِيَّتُهَا، قَالَ ابْنُ حَجَرٍ: وَقَوْلُ غَيْرِهِ لَا تَصِحُّ النَّافِلَةُ مِمَّنْ عَلَيْهِ فَائِتَةٌ لَزِمَهُ قَضَاؤُهَا. ضَعِيفٌ ; لِأَنَّهُ وَإِنْ أَثِمَ فَإِثْمُهُ لِأَمْرٍ خَارِجٍ، وَهُوَ لَا يَقْتَضِي الْبُطْلَانَ.
Artinya: "Dalam Hadits Shahih diterangkan: Sesungguhnya pertama-tama amalan yang seseorang itu dihisab dengannya ialah shalatnya, maka jikalau baik shalatnya itu, sungguh-sungguh berbahagialah dan beruntunglah ia dan jikalau rosak, sungguh-sungguh menyesal dan merugilah ia. jikalau seseorang itu ada kekurangan dari sesuatu amalan wajibnya, maka Tuhan Azzawajalla berfirman: "Periksalah olehmu semua - hai malaikat, apakah hambaKu itu mempunyai amalan yang sunnah." Maka dengan amalan yang sunnah itulah ditutupnya kekurangan amalan wajibnya, kemudian cara memperhitungkan amalan-amalan lainnya itupun seperti cara memperhitungkan amalan shalat ini."
An Nawawi berkata: Sah perkara sunah dan diterima bila perkara fardhu kurang berdasarkan hadits ini, sedangkan hadits: 'Tidak diterima amalan sunah orang yang shalat sampai ia menunaikan hal yang wajib' dho'if, kalaupun Shahih pengertiannya shalat Ratibah ba'diyah yang terhalang sahnya sampai sah fardhunya, bukan terhalang secara dzatnya tapi terhalang ba'diyahnya.
Berkata Ibn Hajar: Perkataan orang tidak sah perkara sunah bagi orang yang ada kewajiban mengwodho'nya adalah dho'if (lemah) karena meskipun berdosa (selagi belum mengqodho' perkara tersebut) maka dosanya tidak membatalkan selainnya. 
[Mirqoh Al Mafaatih Syarh al Misykah al Mashoobih III/889]

Syeikh Al Mubarak Furi juga menuqil perkataan Imam Nawawi tersebut, beliau menyebutkan:
قال النووي: تصح النوافل وتقبل، وإن كانت الفريضة ناقصة لهذا الحديث وخبر لا تقبل نافلة المصلى حتى يؤدي الفريضة ضعيف، ولو صح حمل الراتبة البعدية لتوقفها على صحة الفرض- انتهى.
Artinya: Berkata An Nawawi: Sah perkara sunah dan diterima bila perkara fardhu kurang berdasarkan hadits ini, sedangkan hadits: 'Tidak diterima amalan sunah orang yang shalat sampai ia menunaikan hal yang wajib' dho'if, kalaupun Shahih pengertiannya shalat Ratibah ba'diyah yang terhalang sahnya sampai sah fardhunya, bukan terhalang secara dzatnya tapi terhalang ba'diyahnya.
[Mir'ah Al Mafaatih Syarh al Misykah al Mashoobih IV/128]
Imam Nawawi juga merupakan Ulama tersohor dalam Madzhab Syafi'i pada masanya, beliau tidak diragukan lagi kapasitas ilmunya beliau memiliki pandangan yang berbeda dengan sebagian Ulama dalam Madzhabnya yaitu seperti Imam Ibn Hajar Al Haitami dan Zarkasyi, sebab beliau berbeda pandangan sebab pendapat yang mengatakan tidak sah dan tidak diterima shalat sunah sementara ada tanggungan wajib itu berpijak dengan hadits yang dho'if, kalau pun Shahih, menurut beliau bukan shalat sunah seluruhnya tapi shalat sunnah ba'diyah, lagi pula beliau mendasarkan pendapatnya dengan hadits riwayat Tirmidzi tersebut yang sangat jelas menunjukkan amalan sunah bisa membantu amalan wajib, sedangkan hadits itu dapat dijadikan sandaran hukum. Demikian juga Imam Ibn Hajar Al Asqolani, beliau tidak diragukan lagi kapasitas ilmunya, banyak mengarang berbagai kitab, salah satunya kitab Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, beliau secara jelas menyatakan lemahnya pendapat yang mengatakan orang yang anda tanggungan kewajiban qodho tapi belum diqodho tidak sah amalan sunah karena menurut beliau meskipun berdosa dosa itu tidak mengakibatkan amalan selainnya batal. Seyogyanya itulah kita amalkan. Namun demikian, bila kita memantapkan pendapat sebagian kalangan Syafi'iyah seperti diawal tadi jangan serta merta menyalahkan orang yang jarang shalat justru pada kondisi tertentu seperti pada bulan suci Ramadhan sering melakukan shalat sunah, karena hal itu tidak masalah menurut sebagian pendapat dan pendapat itu lebih kuat menurut saya. Akan tetapi bila kita sebagai pendakwah atau Al Ustadz ajarilah umat dengan tidak melihat satu kitab tapi sedapat mungkin Carikan perbandingannya agar jelas.
Manakah pendapat yang kuat?
Sebagaimana sudah diuraikan diatas bahwa pendapat yang tidak mengabsahkan shalat sunah sementara ada tanggungan shalat qodho berdasarkan dalil hadits yang dho'if, maka kita akan telusuri dalil pendapat yang mengabsahkan. Hadits tersebut diatas diriwayatkan Imam Tirmidzi dalam kitab Sunannya, setelah meriwayatkan hadits tersebut beliau berkata:
حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الوَجْهِ.
Artinya: Hadits Abu Hurairah Hadits Hasan Ghorib.
[Sunan Tirmidzi I/536]

Dari penuturan Imam Tirmidzi tersebut berarti hadits tersebut Hasan, para Ulama menyebutkan bahwa hadits yang boleh dijadikan sandaran hukum adalah hadits yang Shahih dan Hasan, berarti dalil pendapat yang mengabsahkan permasalahan diatas lebih kuat. Bahkan Imam Ibn Hajar Al Asqolani menyatakan Isnad Hadits tersebut Shahih, tambah lagi dalam kitab Mirqoh hadits tersebut shahih.

Kesimpulan:
Mengerjakan shalat sunah sementara ada tanggungan mengqodho' Shalat diperselisihkan para Ulama dan pendapat yang lebih kuat berdasarkan dalil adalah pendapat yang mengabsahkan dan tidak diharamkan. Namun sebaiknya kalau ada tanggungan mengqodho' Shalat supaya bergegas melunasinya supaya menjalani ibadah tanpa ada keraguan, kalau pun tidak jangan mencela orang yang melakukannya.

Wallahu A'lamu Bis Showaab

[Ismidar Abdurrahman As-Sanusi]

Link Diskusi:

Komentari

Lebih baru Lebih lama