1195. APAKAH DOSA GHIBAH BISA TERAMPUNI HANYA DENGAN SILATURAHIM DAN BERJABAT TANGAN SEMATA?

Sumber gambar: umma.id


Pertanyaan:
Assalamualaikum?ngiring tumaros apakh dosa gibah bisa di ampuni dgn cara silaturahmi/salaman d hari raya idul fitri?
[Lutfianaulfa]

Jawaban:
Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh

Dosa Ghibah merupakan dosa yang berhubungan dengan hak sesama manusia, karenanya dosa tersebut tidak bisa terhapus dengan bersilaturahim atau dengan berjabat tangan semata, tetapi harus dengan meminta maaf dan minta halal dengan sebab perbuatannya dulu, serta dengan menyebutkan kesalahannya yang pernah diperbuat dulu secara terperinci, kecuali menurut satu pendapat tidak masalah secara global saja.

Oleh karena itu, dosa Ghibah dan umumnya dosa yang berhubungan dengan hak sesama manusia tidak bisa gugur kecuali dengan meminta maaf dan minta halal, kalau hanya silaturahim dan berjabat tangan semata tidak gugur dosa tersebut, ini tidak hanya dosa Ghibah saja tapi setiap dosa yang berhubungan dengan hak sesama manusia.

فَقَالَ الشَّيْخُ محيي الدين النووي فِي الْأَذْكَارِ، فِي بَابِ كَفَّارَةِ الْغِيبَةِ وَالتَّوْبَةِ مِنْهَا: اعْلَمْ أَنَّ كُلَّ مَنِ ارْتَكَبَ مَعْصِيَةً لَزِمَهُ الْمُبَادَرَةُ إِلَى التَّوْبَةِ مِنْهَا، وَالتَّوْبَةُ مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ يُشْتَرَطُ فِيهَا ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ: أَنْ يُقْلِعَ عَنِ الْمَعْصِيَةِ فِي الْحَالِ، وَأَنْ يَنْدَمَ عَلَى فِعْلِهَا، وَأَنْ يَعْزِمَ أَنْ لَا يَعُودَ إِلَيْهَا، وَالتَّوْبَةُ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ يُشْتَرَطُ فِيهَا هَذِهِ الثَّلَاثَةُ، وَرَابِعٌ وَهُوَ رَدُّ الظُّلَامَةِ إِلَى صَاحِبِهَا وَطَلَبُ عَفْوِهِ عَنْهَا، وَالْإِبْرَاءُ مِنْهَا، فَيَجِبُ عَلَى الْمُغْتَابِ التَّوْبَةُ بِهَذِهِ الْأُمُورِ الْأَرْبَعَةِ؛ لِأَنَّ الْغِيبَةَ حَقٌّ آدَمِيٌّ، وَلَا بُدَّ مِنِ اسْتِحْلَالِهِ مَنِ اغْتَابَهُ، وَهَلْ يَكْفِيهِ أَنْ يَقُولَ قَدِ اغْتَبْتُكَ فَاجْعَلْنِي فِي حِلٍّ، أَمْ لَا بُدَّ أَنْ يُبَيِّنَ مَا اغْتَابَهُ بِهِ؟
فِيهِ وَجْهَانِ لِأَصْحَابِنَا: أَحَدُهُمَا يُشْتَرَطُ بَيَانُهُ، فَإِنْ أَبْرَأَهُ مِنْ غَيْرِ بَيَانِهِ لَمْ يَصِحَّ كَمَا لَوْ أَبْرَأَهُ مِنْ مَالٍ مَجْهُولٍ، وَالثَّانِي لَا يُشْتَرَطُ؛ لِأَنَّ هَذَا مِمَّا لَا يُتَسَامَحُ فِيهِ وَلَا يُشْتَرَطُ عِلْمُهُ بِخِلَافِ الْمَالِ، وَالْأَوَّلُ أَظْهَرُ؛ لِأَنَّ الْإِنْسَانَ قَدْ يَسْمَحُ بِالْعَفْوِ عَنْ غِيبَةٍ دُونَ غِيبَةٍ
Imam Nawawi dalam kitab Al Adzkaar tentang menebus dosa Ghibah dan taubat berkata: "Setiap orang yang melakukan maksiat wajib bersegera taubat, taubat yang berkaitan dengan hak Allah disyaratkan tiga perkara yaitu: Menghentikan perbuatan maksiat tersebut, menyesal karena telah melakukan perbuatan itu dan berjanji tidak akan mengulanginya. Sedangkan taubat yang berkaitan dengan hak sesama manusia juga disyaratkan tiga perkara ini dan keempat yaitu: mengembalikan hak yang didzolim, atau meminta maaf serta pembebasan atas kesalahannya tersebut. Sebab ghibah termasuk dari haq adami dan wajib hukumnya minta istihlal (meminta maaf) kepada orang yang bersangkutan, apakah cukup hanya dengan perkataan "Dulu aku pernah ghibah terhadapmu, maka jadikanlah halal bagiku" ataukah di sini perlu untuk menjelaskan secara detail perbuatan yang telah ia lakukan? Terdapat dua pendapat:
Pertama: Disyaratkan untuk menjelaskan secara detail tindakan yang telah diperbuat. Maka andaikan ia dibebaskan (dihalalkan) tanpa adanya klarifikasi terlebih dahulu, justru nanti menjadikan permintaan maafnya tidak sah, seperti dalam kasus membebaskan seseorang dari tanggungan harta yang majhul (tidak diketahui).

Kedua: Tidak disyaratkan untuk dijelaskan secara terperinci, sebab hal ini termasuk dari perkara yang mendapat tasamuh (kemurahan) sehingga tidak disyaratkan harus diketahui, berbeda dengan kasus yang berkaitan dengan harta benda, pendapat yang Adhar adalah yang pertama (wajib menjelaskan secara terperinci) karena manusia terkadang bisa menerima kemurahan memaafkan dari dosa Ghibah satu tidak dosa Ghibah lainnya"
[Al Haawi Lil Fatawi I/130]

وهذا ان لم تتعلق المعصية بالادمى فان تعلقت به فلها شرط رابع وهو رد الظلامة الى صاحبها او تحصيل البرأة منه تفصيلا لا إجمالا. 
Hal ini selama tidak disebabkan maksiat yang berhubungan sesama manusia, bila disebabkannya maka ditambah syarat keempat yaitu mengembalikan hak kepada yang terdzolimi kepada penerimanya atau pembebasan atas kesalahannya tersebut secara terperinci tidak secara global.
[Kaasyifah as Sajaa Halaman 71]

Wallahu A'lamu Bis Showaab

(Dijawab oleh: Ismidar Abdurrahman As-Sanusi)

Link Diskusi:

Komentari

Lebih baru Lebih lama