PERTANYAAN
ASSALAMUALAIKUM WR WB,, MAU NANYA NI APAKAH BOLEH KITA SELAKU UMAT NABI MELAKUKAN MAULID, DAN APA DALAIL TENTANG MAULID NABI, YANG KEBIASAAN DI LAKUKAN ORANG INDONESIA
[Gali Saputra]
JAWABAN
Wa'alaikumussalam
Peringatan Maulid Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam sedari dulu sudah dilakukan orang bahkan tradisi tersebut berlaku sejak pada Ulama panutan kita masih hidup, salah satunya masa Imam Suyuthi, dulu tidak ada yang menentang karena para Ulama masih hidup, tapi sekarang dengan timbulnya aliran yang mengatasnamakan diri mereka mengikuti sunah menentang perbuatan tersebut. Sebenarnya tradisi perayaan maulid Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam sesuai apa yang diungkapkan oleh Ulama Syafi'iyah tidaklah termasuk perbuatan yang tercela dengan syarat didalamnya tidak terdapat perbuatan mungkar, karenanya selama perbuatan itu tidak ada maka dinilai sebagai perbuatan yang agung, sebab merayakan hari lahir Nabi yang merupakan teladan bagi umat.
Imam Suyuthi merupakan salah seorang Ulama Syafi'iyah mengenai perayaan maulid Nabi ini beliau menguraikan dengan panjang lebar agar kiranya orang setelah beliau bisa mengetahui letak hukum dari perayaan maulid Nabi. Beliau berkata:
فَقَدْ وَقَعَ السُّؤَالُ عَنْ عَمَلِ الْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ فِي شَهْرِ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ، مَا حُكْمُهُ مِنْ حَيْثُ الشَّرْعُ؟ وَهَلْ هُوَ مَحْمُودٌ أَوْ مَذْمُومٌ؟ وَهَلْ يُثَابُ فَاعِلُهُ أَوْ لَا؟
الْجَوَابُ: عِنْدِي أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوْلِدِ الَّذِي هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ وَرِوَايَةُ الْأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِي مَبْدَأِ أَمْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا وَقَعَ فِي مَوْلِدِهِ مِنَ الْآيَاتِ، ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُونَهُ وَيَنْصَرِفُونَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذَلِكَ - هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِي يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيهِ مِنْ تَعْظِيمِ قَدْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالِاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيفِ،
“Sungguh telah ada pertanyaaan tentang peringatan Maulid Nabi pada bulan Rabiul Awwal, Bagaimana hukumnya menurut syara’ ? dan apakah termasuk terpuji atau tercela ? serta apakah orang yang memperingatinya mendapatkan pahala atau tidak ?
Jawaban:
Menurutku pada dasarnya amal Maulid itu adalah berkumpulnya orang-orang , pembacaan ayat yang mudah dari Al-Qur’an, riwayat hadits-hadits tentang permulaan perihal Nabi serta tanda-tanda yang datang mengiringi kelahiran Nabi.
Kemudian disajikan beberapa hidangan untuk mereka. Mereka menyantapnya, selanjutnya mereka bubar setelah itu tanpa ada tambahan-tambahan lain, itu adalah termasuk Bid’ah Hasanah (bid’ah yang baik) yang diberi pahala bagi orang yang melakukannya. Karena adanya perkara yang ada didalamnya berupa pengagungan terhadap kedudukan Nabi dan menampakkan rasa gembira dan suka cita dengan kelahiran beliau yang mulia”
[Al Haawi Lil Fatawi I/222]
Imam Suyuthi merupakan Ulama Syafi'iyah yang jikalau dinilai dari Ilmu tentu tidak dapat kita bandingkan dengan Ulama setelah beliau, beliau sendiri menyebutkan bahwa perayaan maulid Nabi merupakan amaliyyah yang diberi pahala yakni bid'ah Hasanah (baik) dengan alasan karena yang melakukan berarti pengagungan kelahiran dan dan bergembira dengan lahirnya Baginda Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam.
Imam Suyuthi juga mengutip pernyataan Imam Ibn Hajar Al Asqolani yang menyebutkan:
وَقَدْ سُئِلَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ حَافِظُ الْعَصْرِ أبو الفضل ابن حجر عَنْ عَمَلِ الْمَوْلِدِ، فَأَجَابَ بِمَا نَصُّهُ: أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُرُونِ الثَّلَاثَةِ، وَلَكِنَّهَا مَعَ ذَلِكَ قَدِ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِي عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَ بِدْعَةً حَسَنَةً وَإِلَّا فَلَا، قَالَ: وَقَدْ ظَهَرَ لِي تَخْرِيجُهَا عَلَى أَصْلٍ ثَابِتٍ وَهُوَ مَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيحَيْنِ مِنْ «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَسَأَلَهُمْ فَقَالُوا: هُوَ يَوْمٌ أَغْرَقَ اللَّهُ فِيهِ فرعون وَنَجَّى مُوسَى فَنَحْنُ نَصُومُهُ شُكْرًا لِلَّهِ تَعَالَى» ، فَيُسْتَفَادُ مِنْهُ فِعْلُ الشُّكْرِ لِلَّهِ عَلَى مَا مَنَّ بِهِ فِي يَوْمٍ مُعَيَّنٍ مِنْ إِسْدَاءِ نِعْمَةٍ أَوْ دَفْعِ نِقْمَةٍ، وَيُعَادُ ذَلِكَ فِي نَظِيرِ ذَلِكَ الْيَوْمِ مِنْ كُلِّ سَنَةٍ، وَالشُّكْرُ لِلَّهِ يَحْصُلُ بِأَنْوَاعِ الْعِبَادَةِ كَالسُّجُودِ وَالصِّيَامِ وَالصَّدَقَةِ وَالتِّلَاوَةِ، وَأَيُّ نِعْمَةٍ أَعْظَمُ مِنَ النِّعْمَةِ بِبُرُوزِ هَذَا النَّبِيِّ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ؟ وَعَلَى هَذَا فَيَنْبَغِي أَنْ يُتَحَرَّى الْيَوْمُ بِعَيْنِهِ حَتَّى يُطَابِقَ قِصَّةَ مُوسَى فِي يَوْمِ عَاشُورَاءَ، وَمَنْ لَمْ يُلَاحِظْ ذَلِكَ لَا يُبَالِي بِعَمَلِ الْمَوْلِدِ فِي أَيِّ يَوْمٍ مِنَ الشَّهْرِ، بَلْ تَوَسَّعَ قَوْمٌ فَنَقَلُوهُ إِلَى يَوْمٍ مِنَ السَّنَةِ، وَفِيهِ مَا فِيهِ. فَهَذَا مَا يَتَعَلَّقُ بِأَصْلِ عَمَلِهِ.
وَأَمَّا مَا يُعْمَلُ فِيهِ فَيَنْبَغِي أَنْ يُقْتَصَرَ فِيهِ عَلَى مَا يُفْهِمُ الشُّكْرَ لِلَّهِ تَعَالَى مِنْ نَحْوِ مَا تَقَدَّمَ ذِكْرُهُ مِنَ التِّلَاوَةِ وَالْإِطْعَامِ وَالصَّدَقَةِ وَإِنْشَادِ شَيْءٍ مِنَ الْمَدَائِحِ النَّبَوِيَّةِ وَالزُّهْدِيَّةِ الْمُحَرِّكَةِ لِلْقُلُوبِ إِلَى فِعْلِ الْخَيْرِ وَالْعَمَلِ لِلْآخِرَةِ، وَأَمَّا مَا يَتْبَعُ ذَلِكَ مِنَ السَّمَاعِ وَاللَّهْوِ وَغَيْرِ ذَلِكَ فَيَنْبَغِي أَنْ يُقَالَ: مَا كَانَ مِنْ ذَلِكَ مُبَاحًا بِحَيْثُ يَقْتَضِي السُّرُورَ بِذَلِكَ الْيَوْمِ لَا بَأْسَ بِإِلْحَاقِهِ بِهِ، وَمَا كَانَ حَرَامًا أَوْ مَكْرُوهًا فَيُمْنَعُ، وَكَذَا مَا كَانَ خِلَافَ الْأَوْلَى. انْتَهَى.
“Syaikhul Islam Al Hafizh Abul Fadhl Ibnu Hajar ditanya tentang amaliyah Maulid, maka beliau menjawab : “Pokok utama dalam amaliyah Maulid adalah bid’ah yang tidak diriwayatkan dari ulama salaf as shalih dari tiga generasi (sahabat, tabi’in, dan atba’ut tabi’in). Akan tetapi Maulid tersebut mengandung kebaikan-kebaikan dan sebaliknya. Maka barangsiapa yang berusaha meraih kebaikan dalam Maulid dan menjauhi yang buruk, maka termasuk bid’ah yang baik (hasanah). Jika tidak, maka tidak disebut bid’ah hasanah. Sungguh yang nampak bagiku mengeluarkan (dalil) atas pokok (syariat) yaitu apa yang disebutkan dalam kitab Shahihain (Bukhari dan Muslim) bahwa Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam tiba di Madinah lalu beliau menemukan orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura maka Nabi bertanya kepada mereka, lalu mereka menjawab: Hari ini Dimana Allah menenggelamkan Fir'aun dan menyelamatkan Musa, kami berpuasa sebagai rasa syukur kepada Allah Taala. Maka yang dapat diambil faidah (dari hadits tersebut) perbuatan syukur kepada Allah pada hari-hari tertentu merupakan perolehan nikmat atau menolak nikmat, dan kebiasaan itu berlangsung setiap tahun. Rasa syukur kepada Allah diperoleh dengan bermacam ibadah seperti sujud, puasa, sedekah dan tilawah. Manakah nikmat yang lebih agung dari nikmat munculnya Nabi ini, Nabi yang penuh Rahmat pada hari ini?, Atas dasar ini maka sudah seharusnya hari ini bisa meninjau sesuai dengan Qisah Musa pada hari Asyura, oleh karenanya (amalan maulid Nabi) ada asal amaliyahya. Adapun apa yang diperbuat pada hari Maulid maka seharusnya dibatasi apa yang dipahami kesyukuran kepada Allah Taala dari semacam yang sudah disebutkan dari tilawah, memberi makanan, sedekah, berdendang sesuatu dari memuji Nabi, Zuhud yang menggerakkan hati kepada perbuatan baik dan melakukan amal akhirat, sedangkan yang diikuti mendengar alat-alat permainan dan lain sebagainya maka seharusnya dikatakan: Apabila alat-alat itu diperbolehkan digunakan ketika saat gembira maka tidak masalah, apa yang haram atau makruh hendaknya dilarang demikian pula apa yang dinilai menyalahi yang utama, selesai”
[Al Haawi Lil Fatawi I/229]
Ulama Ahli Hadits yang dijuluki Al Hafidz Ibn Hajar Al Asqolani termasuk Ulama yang mendukung praktek Maulid Nabi, beliau mendasarkan argumentasi beliau, dengan kisah Puasa orang Yahudi pada hari Asyura sebagai rasa syukur mereka karena Allah sudah menyelamatkan Nabi Musa dan memusnahkan Fir'aun dan bala tentaranya, sedangkan praktek Maulid Nabi yang dilakukan orang Islam merupakan rasa syukur karena Allah sudah menghadirkan Nabi yang agung ditengah umat, manakah yang lebih agung daripada hadirnya Nabi yang mulia ditengah umat?, Berarti Imam Ibn Hajar Al Asqolani mengambil dalil Qiyas.
Saya sudah menghadirkan pendapat Ulama panutan orang dan Ulama masa dulu dan juga menjelaskan dalil dari amaliyyah maulid Nabi bagi yang mendukung praktek amaliyyah maulid, karenanya bagi orang yang tidak sependapat boleh tidak melakukan dan jangan mudah menyalahkan amaliyyah orang lain.
Wallahu A'lamu Bis Showaab
(Dijawab oleh Ismidar Abdurrahman As-Sanusi)
Link Diskusi: