0995. CARA MENGHILANGKAN NAJIS TEMPAT ANJING DAN MENGGUNAKAN SABUN DALAM MENSUCIKAN NAJIS ANJING




Pertanyaan:
Asalamu alaikum wr wb. Ustad ustajah
Kiyai para guru2 oge santri2.. Mau bartanya bagai mana hukum nya memegank kurunk anjink yank sudah di bersihkan dengan cuci pake sabun 
Trus sya memegank nya .. Apa saya perlu menyertunya apa cukup cuci tangan pake sabun MOHON pencerahan nya ...
[Khaeru Dind]

Jawaban:
Walaikumussalam

Kalau saya cermati betul pertanyaan pada post dapat saya pahami bahwa ada karung yang tempat mengurung anjing yang karung itu hanya disucikan dengan sabun, hematnya begitu.

Untuk menanggapi pertanyaan tersebut dapat saya rumuskan yakni ketika waktu meletakkan anjing dalam karung dan sejenisnya yang mana anjing dan tempatnya dalam keadaan kering maka tidak berhukum najis tempat anjing tersebut; hal ini karena Ulama Syafi'iyah menyebutkan apabila najis bersentuhan dengan suatu benda yang mana keduanya dalam keadaan kering tidak najis tempat tersebut; beda halnya bila keduanya basah atau salah satunya basah maka berhukum najis.

Nah, seandainya berhukum najis maka pendapat kebanyakan Ulama Syafi'iyah menyebutkan bahwa najis mughollazhah anjing itu berlaku umum, tidak hanya air liurnya tetapi bagian tubuhnya berhukum najis mughollazhah yang hanya bisa suci dengan membasuhnya tujuh kali dan salah satunya dicampur tanah/debu, dalam istilah tempat saya di istilahkan di Setu/sertu. Memang ada sebagian pendapat yang syadz dalam Madzhab Syafi'i yang mencukupkan mengguyur dengan air selain najis air liur anjing, pendapat ini dinilai kuat oleh Imam Nawawi.

Walhasil, merujuk dengan pendapat kebanyakan Ulama Syafi'iyah yang memutlakkan najisnya anjing mencakup air liurnya dan anggota badan lainnya maka wajib dibasuh dengan air yang salah satunya memakai tanah/debu. Kalau hanya air dan sabun apakah sudah menggugurkan najis anjing tersebut?

Jawabannya tergantung, yakni apakah sabun bisa menggantikan status debu/tanah dalam mensucikan manis mughollazhah atau tidak. Tampaknya terjadi khilaf dalam masalah ini, namun menurut pendapat yang dzohir tidak bisa menggantikan posisi debu, meskipun ada pendapat yang mengabsahkan.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan, berpijak pada pendapat kebanyakan Ulama Syafi'iyah dan pendapat yang dzohir mensucikan najis tempat anjing hanya dengan sabun belum dianggap suci, tapi harus mensucikan lagi dengan menggunakan air dan tanah/debu karena ini cara mensucikan najis mughollazhah, selain demikian belum dianggap cukup. Tetapi menurut sebagian pendapat sudah dianggap suci dengan mensucikan dengan air saja atau sabun najis selain jilatan aning seperti badannya. Untuk berhati-hati pipihkan pendapat yang lebih mantap yaitu pendapat yang harus mensucikan dengan air sekaligus debu agar tidak ada keraguan lagi.

المغلظة ما تنجس من الطاهرات بلعابها او بولها او عرقها او بملاقات اجزاء بدنها مع توسط رطوبة من احد جانبيه
“NAJIS MUGHOLLADZAH

Ialah perkara-perkara suci yang terkena air liur atau keringat atau kencing atau keringat atau salah satu anggota dari tubuh anjing/babi dengan disertai basah-basah dari salah satu dari keduanya (perkara najis atau perkara sucinya)”
[Kaasyifah as Sajaa Halaman 44]

لَا فرق بَين أَن يَتَنَجَّس بولوغه أَو بَوْله أَو دَمه أَو عرقه أَو شعره أَو غير ذَلِك من جَمِيع أَجْزَائِهِ وفضلاته فَإِنَّهُ يغسل سبعا إِحْدَاهُنَّ بِالتُّرَابِ قَالَ النَّوَوِيّ فِي الرَّوْضَة وَفِي وَجه شَاذ أَنه يَكْفِي فِي غسل مَا سوى الولوغ مرّة كَغسْل سَائِر النَّجَاسَات وَهَذَا الْوَجْه قَالَ فِي شرح الْمُهَذّب إِنَّه مُتَّجه وَقَوي من حَيْثُ الدَّلِيل لِأَن الْأَمر بِالْغسْلِ سبعا إِنَّمَا كَانَ لينفرهم عَن مؤاكلة الْكلاب
“Tidak ada bedanya najis anjing tersebut antara najis jilatannya, kencingnya, darahnya, keringatnya, bulunya maupun selainnya dari semua anggota tubuhnya dan kelebihannya maka dibasuh dengan tujuh kali salah satunya dicampur debu.

Imam Nawawi dalam Roudhoh berkata: Satu pendapat yang syadz menyatakan cukup membasuh sekali (dari najis anjing) selain kasus jilatannya seperti membasuh najis-najis yang lain, beliau dalam kitab Syarh al Muhadzdzab berkata: Pendapat ini kuat (bukan syadz). Karena dalil hadits yang ada hanya menyuruh kita membasuh tujuh kali dari jilatannya saja, dengan alasan agar kita tidak mengajak anjing dalam jamuan makan”
[Kifaayah al Akhyaar Halaman 71]

وَلَا يَقُومُ الصَّابُونُ وَالْأُشْنَانُ وَنَحْوُهُمَا مَقَامَ التُّرَابِ عَلَى الْأَظْهَرِ، كَالتَّيَمُّمِ. وَيَقُومُ فِي الثَّانِي: كَالدِّبَاغِ وَالِاسْتِنْجَاءِ. وَالثَّالِثُ: إِنْ وَجَدَ تُرَابًا، لَمْ يَقُمْ. وَإِلَّا قَامَ. وَقِيلَ: يَقُومُ فِيمَا يُفْسِدُهُ التُّرَابُ، كَالثِّيَابِ، دُونَ الْأَوَانِي.
“Sabun dan alat pembersih selainnya tidak dapat mengganti kedudukan debu menurut pendapat yang paling dzahir sebagaimana dalam tayammum, menurut pendapat kedua “bisa mengganti seperti dalam bahasan menyamak dan istinjak”, menurut pendapat ketiga “bila ditemukan debu, bila tidak ditemukan bisa mengganti”, menurut pendapat lain “bisa mengganti dalam perkara yang rusak bila dibersihkan dengan debu seperti pakaian tidak seperti dalam sejenis perkakas”
[Roudhoh at Tholibin I/32]

Wallahu A'lamu Bis Showaab

Dijawab oleh (Ismidar Abdurrahman As-Sanusi)

Link Diskusi:

Komentari

Lebih baru Lebih lama