1086. HUKUM MENJAMAK SHALAT BAGI PENGANTIN





Pertanyaan:
Assalamualaikum wr wb

Mohon maaf ada yang saya tanyakan kepada para Kyai, Ustadz, Pinisepuh.
 
Ada teman perempuan insya Allah tidak lama lagi akan melangsungkan akad nikah, yang jadi pertanyaannya, bagaimana solusinya ketika resepsi pernikahan, banyak tamu pas waktu sholat dzuhur, apakah ada Ruhsoh solat dzuhurnya di jamak ke ashar, dengan alasan kalau solat dzuhur pasti tukang mik up nya minta bayaran lagi.

Mohon solusinya
Terimakasih 🙏
[A'u A'u]

Jawaban:
Walaikumussalam

Sebenarnya dalam Madzhab Syafi'i kebolehan menjamak shalat itu ada beberapa syarat sebagiannya karena perjalanan dan sudah terpenuhi perjalanan yang jauh yaitu mencapai dua Marhalah. Sedangkan menjamak shalat tanpa bepergian tidak boleh. Meskipun demikian, ada sebagian pendapat dari kalangan Syafi'iyah yang membolehkan menjamak shalat ketika tidak bepergian, dan ada juga pendapat yang membolehkan menjamak shalat ketika ada hajat (kebutuhan), ini adalah pendapat Ishaq dan Ibn Mundzir. Berpijak pada pendapat yang diakui dalam Madzhab Syafi'i maka pengantin ataupun yang mengadakan resepsi pernikahan tidak boleh melakukan shalat jamak meskipun dengan alasan ada hajat yang mendesak. Tapi salah satu solusi yang ditawarkan ialah boleh menjamak shalat dalam kondisi demikian dengan taqlid dan mengikuti pendapat sebagian Ulama Syafi'iyah meskipun pendapat ini lemah. Atau taqlid pada pendapat yang membolehkan menjamak shalat ketika ada kebutuhan sebagaimana disebutkan. Dengan syarat pengamalan itu hanya untuk diri sendiri bukan untuk difatwakan.

Dengan demikian, menjamak shalat ketika resepsi pernikahan tidak boleh dan boleh dengan mengikuti pendapat yang lemah dari kalangan Syafi'iyah.

فائدة) لنا قول بجواز الجمع في السفر القصير وظاهر الحديث جوازه في حضر كما في شرح مسلم. وحكى الخطابي عن ابي اسحاق جوازه في الحضر للحاجة وان لم يكن خوف ولا مطر ولا مرض. وبه قال ابن المنذر ا.هــــــــــ
“(Faidah) Ada pendapat dari kalangan kami membolehkan menjamak shalat pada perjalanan yang dekat dan dzohir hadits boleh menjamak shalat tanpa bepergian sebagai diterangkan (Imam Nawawi) dalam kitab Syarh Shahih Muslim. Al Khothobiy menceritakan dari Abu Ishaq kebolehan menjamak shalat tanpa bepergian karena hajat meskipun tidak karena takut, hujan dan sakit, berpendapat pula Ibn Mundzir”
[Bughyah al Mustarsyidiin Halaman 77]

وَقَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ مِنْ أَصْحَابِنَا يَجُوزُ الْجَمْعُ فِي الْحَضَرِ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ وَلَا مَرَضٍ وَحَكَاهُ الْخَطَّابِيُّ فِي مَعَالِمِ السُّنَنِ عَنْ الْقَفَّالِ الْكَبِيرِ الشَّاشِيِّ عَنْ أَبِي اسحق الْمَرْوَزِيِّ قَالَ الْخَطَّابِيُّ وَهُوَ قَوْلُ جَمَاعَةٍ مِنْ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ لِظَاهِرِ حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ
“Ibn Mundzir dari sahabat kami berkata: Boleh menjamak shalat tanpa bepergian tanpa takut, hujan dan sakit dan Al Khothobiy dalam kitab Ma'aalim as Sunan menceritakannya dari Al Qoffal Al Kabir As Syaasyi dari Abu Ishaq Al Marwadzi. Berkata Al Khothobiy: Itulah pendapat sekumpulan Pengikut Hadits berdasarkan dzohir hadits Ibn Abbas”. 
[Al Majmuu'Syarh al Muhadzdzab IV/384]

فَرْعٌ)
فِي مَذَاهِبِهِمْ فِي الْجَمْعِ فِي الْحَضَرِ بِلَا خَوْفٍ ولا سفر وَلَا مَرَضٍ: مَذْهَبُنَا وَمَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ وَمَالِكٍ وَأَحْمَدَ وَالْجُمْهُورِ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ وَحَكَى ابْنُ الْمُنْذِرِ عَنْ طَائِفَةٍ جَوَازَهُ بِلَا سَبَبٍ قَالَ وجوزه بن سِيرِينَ لِحَاجَةٍ أَوْ مَا لَمْ يَتَّخِذْهُ عَادَةً
“(Cabang Bahasan) Tentang Madzhab-madzhab Ulama mengenai menjamak shalat tanpa bepergian tanpa takut, hujan dan sakit: Madzhab kami, Madzhab Abu Hanifah, Malik, Ahmad dan Mayoritas Ulama tidak boleh. Ibn Mundzir menceritakan dari beberapa orang Ulama yang membolehkan tanpa sebab dan beliau berkata: Ibn Sirin membolehkannya karena hajat atau selagi tidak dijadikan sebagai kebiasaan”
[Al Majmuu' Syarh al Muhadzdzab IV/384]

وَاخْتَارَهُ الْخَطَّابِيِّ وَالْمُتَوَلِّي وَالرُّويَانِيُّ مِنْ أَصْحَابِنَا، وَهُوَ الْمُخْتَارُ فِي تَأْوِيلِهِ لِظَاهِرِ الْحَدِيثِ وَذَهَبَ جَمَاعَةٌ مِنْ الْأَئِمَّةِ إلَى جَوَازِ الْجَمْعِ فِي الْحَضَرِ لِلْحَاجَةِ لِمَنْ لَا يَتَّخِذُهُ عَادَةً، وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ سِيرِينَ وَأَشْهَبَ مِنْ أَصْحَابِ مَالِكٍ وَحَكَاهُ الْخَطَّابِيِّ عَنْ الْقَفَّالِ وَالشَّاشِيِّ الْكَبِيرِ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ عَنْ جَمَاعَةٍ مِنْ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ، وَاخْتَارَهُ ابْنُ الْمُنْذِرِ وَيُؤَيِّدُهُ قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ حِين سُئِلَ أَرَادَ أَنْ لَا يُحْرِجَ أُمَّتَهُ فَلَمْ يُعَلِّلْهُ بِمَرَضٍ وَلَا غَيْرِهِ اهـ. وَسَوَاءٌ فِي هَذَا الْجَمْعِ التَّقْدِيمُ وَالتَّأْخِيرُ كَمَا هُوَ ظَاهِرُ الْإِطْلَاقِ فَلْيُحَرَّرْ
[Syarh al Bahjah I/468]

WALLAHU A'LAMU BIS SHOWAAB

(Dijawab oleh: Ismidar Abdurrahman As-Sanusi)

Link Diskusi:

Komentari

Lebih baru Lebih lama