1155. HUKUM MENGKONSUMSI KEONG ATAU SIPUT/BEKICOT






Dewasa ini masalah memakan keong sering terjadi masalah yang belum ditemukan ketetapan hukum berdasarkan ranah fiqih. Masalah ini muncul disebabkan sebagian orang ada yang mengkonsumsi Keong/siput dan sebagian yang lain tidak memakannya dengan berbagai alasan.

Keong atau siput ada dua macam ada istilahnya keong/siput yang hidup di daratan dan ada dilaut. Didaerah saya siput yang hidup di darat di istilahkan siput cap gayah atau Banyak yang menyebutnya sebagai bekicot. Sedangkan siput yang hidup di laut sebagaimana ada didaerah saya sering disebut orang dengan Tutut, Atau keong sawah. Didaerah saya sendiri siput laut biasanya ia ada kalau air laut mulai pasang, siput ini biasanya ada di kayu bakau tidak jauh dari lautan, siput ini diam pada kayu dan biasanya dia tidak jauh dari genangan air, kebiasaan yang terjadi kalau air tidak pasang maka siput ini sulit didapatkan. Perbedaan antara siput darat dan laut kalau siput darat tubuhnya besar beda dengan siput laut relatifnya bertubuh kecil. Di daerah saya sendiri siput darat atau istilahnya bekicot tidak dimakan sebab dianggap menjijikkan sedangkan siput laut atau istilahnya keong sawah dimakan; masyarakat banyak menamainya ada yang menyebutnya Siput Betina (Betine-Melayu Riau) atau siput Jantan.

Adapun dari segi hukum maka Siput laut halal dimakan berdasarkan pendapat yang Mu'tamad sedangkan siput darat istilahnya bekicot itu tidak halal dimakan karena menjijikkan. Perbedaan ini sebagaimana disebutkan Imam Damiri berikut:

الحلزون: عود في جوف أنبوبة حجرية يوجد في سواحل البحار وشطوط الأنهار. وهذه الدودة تخرج بنصف بدنها من جوف تلك الأنبوبة الصدفية، وتمشي يمنة ويسرة تطلب مادة تغتذي بها فإذا أحست بلين ورطوبة انبسطت إليها، وإذا أحست بخشونة أو صلابة انقبضت وغاصت في جوف الأنبوبة الصدفية، حذراً من المؤذي لجسمها، وإذا انسابت جرت بيتها معها.
وحكمه: التحريم لاستخباثه. وقد قال الرافعي في السرطان أنه يحرم لما فيه من الضرر لأنه داخل في عموم تحريم الصدف. وسيأتي الكلام عليه في باب السين المهملة

“Halzun membiasakan hidup di dalam tempurung yang keras. Hewan ini dapat ditemukan di pinggir lautan dan di tepi sungai. Hewan ini mengeluarkan sebagian badannya dari dalam tempurung kerangnya, lalu berjalan ke kanan dan kiri untuk mencari benda yang dapat ia makan. Ketika dia merasa berada di tempat yang lembut dan basah maka ia akan membeberkan diri pada tempat itu. Dan ketika dia merasa berada di tempat kasar dan kering maka dia akan mengurung dan masuk kedalam tempurung kerang tersebut karena khawatir dari sesuatu yang menyakiti tubuhnya. Ketika dia berjalan maka rumahnya juga bersamanya.

Hukum mengonsumsi hewan ini adalah haram, karena hewan ini dianggap hewan yang menjijikkan (menurut orang Arab).”
[Ad Damiri, Al Hayaah al Hewan al Kubro I/337]

Dari pengertian yang dibawakan Imam Damiri maka Siput sawah yang berada ditempat saya tidak seperti pengertian tersebut sebab itu lebih kepada pengertian siput darat, sebab siput sawah atau Siput laut yang berada di daerah saya sukanya pada kayu, tidak tahu daerah lain. Demikian pula keadaan siput yang disebutkan oleh imam Damiri lebih tepatnya siput darat atau kami menyebutnya Siput cap gayah yang suka ditempat basah,, beda dengan siput laut atau siput Air sukanya ditempat kering seperti di batang pohon yang dibawahnya ada air.

Jadi, keharaman memakan keong atau bekicot apa yang dinyatakan Imam Damiri adalah siput darat bukan semacam siput laut, keharaman ini juga dinyatakan Ibn Hazm dari kalangan Dzohiriy. Selanjutnya, salah seorang Ulama Nusantara yang bernama Syeikh Mukhtar bin Athorid Al Jawi pengajar sekaligus Ulama di Masjidil Haram tempo dulu. Beliau mengarang sebuah Risalah yang merupakan risalah sebagai bantahan dari pendapat yang mengharamkan belut. Dalam risalah tersebut beliau mengungkapkan:

وهذه النصوص الفقهاء في أنواع الصدف الداخيل فيها الرميس والتوتوت والكيوڠ فعلے كلام المجموع وابن عدلان وأئمة عصره والدميري والشهاب الرملي ومحمد الرملي والخطيب في المغني فالرميس والتوتوت والكيوڠ لأنها مثل الدنيلس الذي اتفقوا على حله وداخل في أنواع الصدف الذي ظاهر كلام المجموع على حله. وعلى كلام ابن عبد السلام والزركشى وابن حجر في الفتاوى الكبرى والتحفة فالمذكورات حرام. فيجوز للناس أكلها تقليدا الذين قالوا بحله والأولى تركه آحتياطا. وأما الإفتاء بتحريمها من غير نقل كلامهم فلا يجوز لمن لم يبلغ رتبة الإفتاء كأمثالنا والله أعلم
“Inilah Nas-Nas Fuqoha' (Ulama Ahli Fiqih) tentang macam-macam kerang yang masuk (keumuman kerang) ialah Ramiis (Siput besar), Tutut dan keong. Melaksanakan perkataan Dalam Kitab Al Majmuu', Ibn 'Adlan, para imam pada masanya, Damiri, As-Syihaab Ar-Romli, Muhammad Romli dan Al-Khothiib Dalam Kitab Al Mughni maka Ramiis, Tutut dan keong karena seperti Danils yang mereka sepakat akan kehalalannya dan masuk pada macam-macam kerang yang dzohir perkataan dalam kitab Al Majmuu' kehalalannya. Sedangkan perkataan Ibn Abdussalam, Zarkasyi, Ibn Hajar dalam kitab Fatawa Al Kubro dan kitab Tuhfah apa yang disebutkan itu (Ramiis, Tutut dan keong) haram. Diperbolehkan bagi manusia memakannya demi bertaqlid pada pendapat yang menghalalkannya dan yang lebih utama meninggalkannya sebagai bentuk berhati-hati. Adapun memfatwakan keharamannya tidak diperbolehkan tanpa menuqil perkataan mereka bagi orang yang belum mencapai derajat fatwa seperti kami berikan contohnya”
[As Showaa'iq Al Muharriqah Lil Auhaam Al Kaadzibah Halaman 15, Al Ma'had Al Islami Kediri]

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukum mengkonsumsi (memakan) keong dibedakan hukumnya pada dua pembagian:
√ Siput darat sebagaimana orang memanggilnya bekicot atau Siput cap gayah haram dikonsumsi karena Mukhobbats (menjijikkan)
√ Siput laut atau orang sering menyebutnya Siput sawah, Tutut, siput air/laut halal memakannya menurut sebagian pendapat dan haram menurut pendapat yang lain, tapi boleh taqlid pada pendapat yang menghalalkannya, namun yang lebih utama meninggalkannya demi berhati-hati.

Salah satu perbedaan kedua Siput tersebut, kalau siput darat relatifnya bertubuh besar dan tidak keras rumahnya, sedangkan Siput laut atau siput air tubuhnya keras dan relatifnya bertubuh kecil.

Semoga bermanfaat dan bisa dipahami sebagaimana mestinya.

Wallahu A'lamu Bis Showaab

(Ismidar Abdurrahman As-Sanusi)

Komentari

Lebih baru Lebih lama