Pertanyaan:
Izin bertanya hukum memudah kan kematian lewat medis (eutanasia)?
[Ali Furqon]
Jawaban:
Hukum Euthanasia
Bismillahirrahmanirrahim
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta, dalam rapatnya yang berlangsung pada tanggal 20 Rabi’ ats-Tsani 1422 H bertepatan dengan tanggal 12 Juli 2001 M, yang membahas tentang Hukum Euthanasia setelah:
Menimbang:
1. Bahwa dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menjumpai orang-orang yang menderita penyakit kronis dalam waktu yang cukup lama dan menurut ilmu kedokteran tidak ada lagi harapan sembuh. Oleh karena itu, ia meminta kepada dokter agar diakhiri hidupnya dengan disuntik mati atau diberikan obat-obatan yang dapat mempercepat kematiannya. Dalam istilah ilmu kedokteran, mempercepat kematian dengan cara meminta kepada dokter untuk melakukan tindakan yang dapat mengakhiri hidupnya disebut Euthanasia.
2. Bahwa di samping terhadap orang-orang yang sakit pada stadium terminal (stadium akhir kehidupan); pada umumnya, Euthanasia juga dilakukan terhadap orang-orang yang sakit parah yang sudah tidak lagi menahan rasa sakit dan penderitaan; terhadap janin untuk keselamatan ibu; atau terhadap janin karena diketahui cacat tubuh berat.
3. Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan para penderita penyakit kronis yang menurut ilmu kedokteran tidak lagi memiliki harapan sembuh sangat menderita, baik fisik maupun psikis; keluarga sangat direpotkan; dan memerlukan biaya yang cukup besar untuk pengobatan dan sebagainya dengan tanpa ada harapan sembuh sehingga terkesan “mubadzir”, maka parlemen Belanda telah mengesahkan undang-undang yang memperbolehkan Euthanasia.
4. Bahwa kenyataan tersebut telah menimbulkan pertanyaan masyarakat luas, tentang boleh atau tidaknya Euthanasia menurut hukum Islam.
5. Bahwa untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang hukum Euthanasia menurut agama Islam, maka MUI Provinsi DKI Jakarta memandang perlu untuk segera mengeluarkan fatwa tentang Hukum Euthanasia.
Mengingat:
1. Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga Majelis Ulama Indonesia (PD/PRT MUI)
2. Pokok-Pokok Program Kerja MUI Provinsi DKI Jakarta Tahun 2000 – 2005
3. Pedoman Penetapan Fatwa MUI
Memperhatikan:
Saran dan pendapat para ulama peserta rapat Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 20 Rabi’ ats-Tsani 1422 H bertepatan dengan tanggal 12 Juli 2001 M, yang membahas tentang Hukum Euthanasia.
Memutuskan:
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT dan memohon ridha-Nya, sesudah mengkaji permasalahan tersebut dari al-Qur’an, as-Sunnah dan kitab-kitab yang mu’tabar, menyampaikan fatwa sebagai berikut:
1. Menurut ajaran Islam, hukum Euthanasia adalah haram, karena hak untuk menghidupkan dan mematikan manusia hanya berada di tangan Allah SWT. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat Ali Imran ayat 156 :
اللَّهُ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Allah menghidupkan dan mematikan. Dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan.” [QS. Ali Imran, 3 : 156”]
2. Euthanasia merupakan suatu tindakan bunuh diri yang diharamkan oleh Allah SWT sebagaimana telah difirmankan dalam surat an-Nisa’, ayat 29 :
وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Dan jangan kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”[ An-Nisa’, 4 : 29].
Demikian juga firman-Nya dalam surat al-An’am, ayat 151 :
وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”. [QS. Al-An’am :151].
3. Seseorang yang sengaja melakukan tindakan bunuh diri, meskipun dengan cara melakukan Euthanasia maka selamanya akan menjadi penghuni neraka Jahanam. Sebagaimana telah disabdakan Rasulullah SAW dalam hadits shahih yang diriwayatkan Imam Bukhari dari sahabat Abu Hurairah RA sebagai berikut :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ مَنْ تَرَدَّ مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ يَتَرَدَّدَ فِيْهِ خَالِدً مُخَـلَّدًا فِيْهَا أَبَدًا وَ مَنْ تَحَسَّى سُمًّا فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَسُمُّهُ فِي يَدِهِ يَتَحَسَّاهُ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدً مُخَـلَّدًا فِيْهَا أَبَدًا وَ مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِحَدِيْدَةٍ ِفَحَدِيْدَتُهُ فِي يَدِهِ يَجَأُ بِهَا فِي بَطْنِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدً مُخَـلَّدًا فِيْهَا
“Barangsiapa sengaja menjatuhkan diri dari gunung untuk bunuh diri kemudian ia mati, maka kelak ditempatkan di neraka Jahannam selama-lamanya dalam keadaan selalu menjatuhkan diri. Barangsiapa sengaja menenggak racun untuk bunuh diri kemudian ia mati, maka kelak ditempatkan di neraka Jahannam selama-lamanya dalam keadaan menenggak racun. Dan barangsiapa sengaja melakukan bunuh diri dengan besi kemudian ia mati, maka kelak ditempatkan di neraka Jahannam selama-lamanya dalam keadaan sakit karena menusukkan besi ke dalam tubuhnya sendiri”.
4. Seseorang yang menderita suatu penyakit, betapapun parahnya dan sekalipun tidak ada harapan untuk disembuhkan adalah sedang diuji oleh Allah SWT; apakah dia bersabar dalam menghadapi musibah atau tidak. Demikian juga keluarganya. Oleh karena itu ia tidak boleh meminta kepada dokter atau orang lain agar dipercepat kematiannya. Satu-satunya yang boleh dilakukan adalah berdo’a kepada Allah SWT dengan do’a sebagai berikut :
اللهم أحينى ما كانتا لحياة خيرا لى و توفنى اذا كانت الوفاة خيرا لى
“Ya Allah hidupkanlah aku sepanjang hidup itu lebih baik bagiku. Dan matikanlah aku sepanjang kematian itu lebih baik bagiku”.
Jakarta, 20 Rabi ats-Tsani 1422 H.
12 Juli 2001 M
KOMISI FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA DKI JAKARTA
Ketua, Sekretaris,
Prof. KH. Irfan Zidny, MA KH. Drs. M. Hamdan Rasyid, MA
Mengetahui,
Ketua Umum, Sekretaris Umum,
KH. Achmad Mursyidi Drs. H. Moh. Zainuddin
(Dijawab oleh: Ismidar Abdurrahman As-Sanusi)
Link Diskusi: