0116. AMALIYAH : HUKUM TAHLILAN MENURUT PERSPEKTIF FIQIH

ISMIDAR ABDURRAHMAN AS-SANUSI·15 OKTOBER 2016

PERTANYAAN  
> Abdullah Al-Jamal
Assalamu'alaikum
Pak Kyai tolong terangkan sejelas-jelas permasalahan mengenai tahlilan  yang sudah mengakar di masyarakat sejak dulu sampai sekarang dilakukan  khususnya daerah saya.
Dulu orang-orang pada melakukannya dan tidak  ada seorangpun yang melarangnya termasuk ustadz-ustadz, kyai, bahkan  mereka ikut serta. Tapi, sekarang sudah banyak yang membid'ahkan hal  tersebut. Saya mohon dijelaskan beserta dalil-dalilnya.
Atas jawabannya saya ucapkan terima kasih. 

JAWABAN
> Ismidar Abdurrahman As-Sanusi 
Wa'alaikumussalam

Tahlilan  atau istilah lainnya selamatan kematian dari 3, hari, 7 hari, 20, 40,  100 dan sebagainya. Dimana tradisi ini sudah berlaku dari sejak dahulu  hingga sekarang yang di dalamnya diisi dengan membaca dzikir-dzikir,  tahlil, membaca alQuran, menghidangkan  makanan untuk para undangan yang kesemuanya bertujuan untuk  menghadiahkan pahalanya kepada orang yang telah meninggal.

Tradisi  tahlilan tersebut bukan hanya ada di daerah saya (RIAU) tapi di tempat  lain pun sudah marak dilakukan sejak dahulu hingga sekarang. Perbuatan  ini dari dulu memang tidak dipermasalahkan disamping hal tersebut dengan  tujuan baik yaitu dalam rangka menghadiahkan pahalanya untuk ahli mayit  bahkan para ustadz dan kyai pun kalau ditempat saya ikut serta dalam  acara tersebut dan ustadz pun memimpin acara selamatan tersebut dari  membaca fatihah sampai berdoa. Namun sekarang saking banyaknya suatu  ormas atau aliran yang berusa menyesatkan umat Islam menganggap  perbuatan tersebut sebagai perbuatan bid'ah yang Harom yang sama sekali  tidak dibenarkan dalam agama Islam karena menurut mereka tradisi  selamatan tersebut tidak ada dalilnya dan tidak pernah dilakukan oleh  Nabi, para Sahabat dan Shalafus shaleh.

Sebenarnya  dalam tradisi Tahlilan dalam segi hukumnya diperbolehkan bahkan hukumnya  Sunnah apalagi di dalamnya dilantunkan aneka-aneka dzikir, tahlil,  membaca alQuran dan kesemuanya untuk mayit. Tidak disangsikan lagi  setiap amaliyyah untuk dihadiahkan untuk mayit diperbolehkan. Banyak  sekali dalil dari Alquran maupun hadits yang menjadi dasar  diperbolehkannya acara tahlilan tersebut jika kita mau membuka fikiran  untuk menerima kebaikan. Bagi orang yang menganggapnya bid'ah sebenarnya  mereka belum menguasai semua dalil, membaca satu buku menemukan satu  hadits, kemudian dibuku lain ketemu hadits yang lain seakan bertentangan  mereka tinggalkan yang ini, maka orang seperti ini tidak layak untuk  diikuti karena plin-plan dalam memahami suatu nash, lagi pula yang  memandang tradisi tahlilan ini sebagai bid'ah karena mereka menolak  adanya bid'ah Hasanah, padahal tidak semua bid'ah itu sesat.

DALIL-DALIL TAHLILAN

وَ إسْتََغْفِرْ لِذَ نْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ (محمد:۱۹)
“Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan”. (Muhammad:19)

فِيْ  مَعْنَي اْلَآيَةِ إِسْتَغْفِرْ لِذَ نْبِكَ أَيْ لِذًنُوْبِ أَهْلِ  بَيْتِكَ ( وللمؤمنين والمؤمنات) يَعْنِيْ مِنْ غَيْرِ أَهْلِ بَيْتِكَ  وَهَذَا إِكْرَامٌ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ لِهَذِهِ اْلأًمَّةِ حَيْثُ  أَمَرَ نَبِيَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلمَ أَنْ  يَسْتَغْفِرَلِذُنُوْبِهِمْ​ وَهُوَ الشَّفِيْعُ اْلمُجَابُ فِيْهِمْ(تفسير  الخازن,ج: ۶,ص:۱۸۰)

“Makna ayat إستغفر لذنبكadalah  mohonlah ampunan bagi dosa-dosa keluargamu dan orang-orang mukmin  laki-laki dan perempuan,a rtinya selain keluargamu. Ini adalah  penghormatan dari Allah ‘Azza wa Jalla kepada umat Muhammad, dimana Dia  memerintahkan Nabi-Nya untuk memohonkan ampun bagi dosa-dosa mereka,  sedangkan Nabi SAW adalah orang yang dapat memberikan syafa’at dan  do’anya diterima” (Tafsir Al-Khazin, Juz VI, hal 180)

وَالَّذِيْنَ  جَاؤُا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْلَنَا  وَلِإحْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ  فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًا لِلَّذِيْنَ أَمَنُوْا رَبنَا إِنَّكَ رَؤوْفٌ  رَحِيْمٌ ( الحسر:۱۰ )

“Dan orang-orang yang beriman,  serta anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan  anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun  dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang  dikerjakannya” (QS. Al-Hasyr: 10)

يَعْنِيْ  أَلْحَقْنَا إَوْلَادَهُمْ الصِّغَارَ وَاْلكِبَارَ بِإِيْمَا نِهِمْ  وَاْلكِبَارُ بِإِيْمَا نِهِمْ بِأَنْفُسِهِمْ وَالصِّغَارُ بِإِيمَا نِ  آبَائِهِمْ فَأِنَّ الوَلَدَ الصَّغِيْرَ يُحْكَمُ بِإِسْلَامِهِ تَبْعًا  لِأَحَدِ أَبَوَيْهِ ( أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّاتِهِمْ ) يَعْنِيْ  المُؤْمِنِيْنَ فِي اْلجَنَّةِ بِدَرَجَاتِ آبَائِهِمْ وَإِنْ لَمْ  يَبْلُغُوْا بِاَعْمَالِهِمْ دَرَجَاتِ آبَائِهِمْ تَكْرِمَةً  لِاَبَائِهِمْ لِتَقَرّ َاَعْيُنُهُمْ هَذِهِ رِوَايَةً عَنِ ابْنِ  عَبَّاسٍ ( تفسير الخازن,ج:۶, ص: ۲۵۰)

“Artinya Kami  menyamakan anak-anak mereka yang kecil dan yang dewasa dengan keimanan  orang tua mereka. Yang dewasa dengan keimanan mereka sendiri, sementara  yang kecil dengan keimanan orang tuanya. Keislaman seorang anak yang  masih kecil diikutkan pada salah satu dari kedua orang tuanya. (Kami  menyamakan kepada mereka keturunan mereka) artinya menyamakan  orang-orang mukmin di surga sesuai dengan derajat orang tua mereka,  meskipun amal-amal mereka tidak sampai pada derajat amal orang tua  mereka. Hal itu sebagai penghormatan kepada orang tua mereka agar mereka  senang. Keterangan ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA.” (Tafsir  Al-Khazin, Juz VI, hal 250)

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ  بْنُ الْعَلاَءِ أَخْبَرَنَا ابْنُ إِدْرِيسَ أَخْبَرَنَا عَاصِمُ بْنُ  كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ رَجُلٍ مِنْ اْلأَنْصَارِ قَالَخَرَجْنَا مَعَ  رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَنَازَةٍ فَرَأَيْتُ  رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ  يُوصِي الْحَافِرَ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيْهِ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ  رَأْسِهِ فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَةٍ فَجَاءَ وَجِيءَ  بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ ثُمَّ وَضَعَ الْقَوْمُ فَأَكَلُوا فَنَظَرَ  آبَاؤُنَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلُوكُ لُقْمَةً  فِي فَمِهِ ثُمَّ قَالَ أَجِدُ لَحْمَ شَاةٍ أُخِذَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ  أَهْلِهَا فَأَرْسَلَتْ الْمَرْأَةُ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي  أَرْسَلْتُ إِلَى الْبَقِيعِ يَشْتَرِي لِي شَاةً فَلَمْ أَجِدْ  فَأَرْسَلْتُ إِلَى جَارٍ لِي قَدْ اشْتَرَى شَاةً أَنْ أَرْسِلْ إِلَيَّ  بِهَا بِثَمَنِهَا فَلَمْ يُوجَدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى امْرَأَتِهِ  فَأَرْسَلَتْ إِلَيَّ بِهَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ  وَسَلَّمَ أَطْعِمِيهِ اْلأُسَارَى

“Muhammad bin al-‘Ala’  menceritakan dari (Abdullah) bin Idris dari ‘Ashim bin Kulaib dari  ayahnya (Kulaib) dari seorang laki-laki Anshar (shahabat), berkata: ‘Aku  keluar bersama Rasulallah berta’ziyah ke salah satu jenazah.  Selanjutnya aku melihat Rasulallah di atas kubur berpesan kepada  penggali kubur (dengan berkata): ‘Lebarkanlah bagian arah kedua kaki dan  lebarkan pula bagian arah kepala!’ Setelah Rasulallah hendak kembali  pulang, tiba-tiba seseorang yang menjadi pesuruh wanita (istri mayit)  menemui beliau, mengundangnya (untuk datang ke rumah wanita tersebut).  Lalu Rasulallah pun datang dan diberi hidangan suguhan makanan. Kemudian  Rasulallah pun mengambil makanan tersebut yang juga diikuti oleh para  shahabat lain dan memakannya. Ayah-ayah kami melihat Rasulallah  mengunyah sesuap makanan di mulut beliau, kemudian Rasulallah berkata:  ’Aku merasa menemukan daging kambing yang diambil dengan tanpa izin  pemiliknya?!’ Kemudian wanita itu berkata: ’Wahai Rasulallah,  sesungguhnya aku telah menyuruh untuk membeli kambing di Baqi,[1] tapi  tidak menemukannya, kemudian aku mengutus untuk membeli dari tetangga  laki-laki kami dengan uang seharga (kambing tersebut) untuk dikirimkan  kepada saya, tapi dia tidak ada dan kemudian saya mengutus untuk membeli  dari istrinya dengan uang seharga kambing tersebut lalu oleh dia  dikirimkan kepada saya.’ Rasulallah kemudian menjawab: ’Berikanlah  makanan ini kepada para tawanan!’”
(HR.Abu Dawud)

قَالَ  اْلإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِي كِتَابِ  الزُّهْدِ لَهُ حَدَّثَنَا هَاشِمٌ بْنُ اْلقَاسِمِ قَالَ ثَنَا  اْلأَشْجَعِي عَنْ سُفْيَانَ قَالَ قَالَ طَاوُوسُ إِنَّ الْمَوْتَى  يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ  يُطْعِمُوا عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامَ
قَالَ الْحَافِظُ  أَبُو نُعَيْمٍ فِي الْحِلْيَةِ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ بْنِ مَالِكٍ  ثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ أَحْمَدَ ابْنُ حَنْبَلَ ثَنَا أُبَيُّ ثَنَا  هَاشِمٌ بْنُ الْقَاسِمِ ثَنَا اْلأَشْجَعِي عَنْ سُفْيَانَ قَالَ قاَلَ  طَاوُوسُ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوا  يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامَ
ذِكْرُ  الرِّوَايَةِ الْمُسْنَدَةِ عَنْ عُبَيْدٍ بْنِ عُمَيْرٍ: قاَلَ ابْنُ  جُرَيْجٍ فِي مَصَنَّفِهِ عَنِ الْحَارِثِ ابْنِ أَبِي الْحَارِثِ عَنْ  عُبَيْدٍ بْنِ عُمَيْرٍ قَالَ يُفْتَنُ رَجُلاَنِ مُؤْمِنٌ وَمُنَافِقٌ  فَأَمَّا الْمُؤْمِنُ فَيُفْتَنُ سَبْعًا

“Imam Ahmad  dalam az-Zuhd berkata: ‘Hasyim bin Qasim bercerita kepadaku dari  al-Asyja‘i dari Sufyan dari Thawus, dia berkata: Sesungguhnya mayit di  dalam kuburnya terfitnah (ditanyai Malaikat Munkar dan Nakir) selama 7  hari. Dan mereka menganjurkan supaya membuat (walimahan) dengan memberi  makan (orang-orang), (yang pahalanya dihadiahkan) untuk si mayit  tersebut di hari-hari tersebut
(HR.Ahmad)

Dalam kitab al-Hawi li-Al-Fatawi li as-syuyuti, Juz II, hlm 183 

قَالَ  طَاوُسِ: اِنَّ اْلمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِىْ قُبُوْرِهِمْ سَْعًا  فَكَانُوْا يُسْتَحَبُّوْنَ أَنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ تِلْكَ  اْلاَيَّامِ-اِلَى اَنْ قَالَ-عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرِ قَالَ: يُفْتَنُ  رَجُلَانِ مُؤْمِنٍ وَمُنَافِقٍ فَأَمَّا اْلمُؤْمِنُ فَيُفْتَنُ سَبْعًا  وَاَمَّا الْمُنَافِقُ يُفْتَنُ اَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا. 

Imam  Thawus berkata : seorang yang mati akan beroleh ujian dari Alloh dalam  kuburnya selama tujuh hari. Untuk itu, sebaiknya mereka (yang masih  hidup) mengadakan sebuah jamuan makan (sedekah) untuknya selama  hari-hari tersebut. Sampai kata-kata: dari sahabat Ubaid Ibn Umair, dia  berkata: seorang mu’min dan seorang munafiq sama-sama akan mengalami  ujian dalam kubur. Bagi seorang mu’min akan beroleh ujian selama 7 hari,  sedang seorang munafik selama 40 hari diwaktu pagi. 
Dalil  diatas adalah sebuah atsar yang menurut Imam As-Syuyuty derajatnya sama  dengan hadis marfu’ Mursal maka dapat dijadikan hujjah makna  penjelasannya: 

اِنَّ أَثَرَ طَاوُسَ حُكْمُهُ حُكْمُ  اْلحَدِيْثِ الْمَرْفُوْعِ اْلمُرْسَلِ وَاِسْنَادُهُ اِلَى التَّابِعِى  صَحِيْحٌ كَانَ حُجَّةً عِنْدَ اْلاَئِمَّةِ الثَّلَاثَةِ اَبِي حَنِيْفَةَ  وَمَالِكٍ وَاَحْمَدَ مُطْلَقًا مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ وَاَمَّا عِنْدَ  الشَّافِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَاِنَّهُ يَحْتَجُ بِاْلمُرْسَلِ اِذَا  اعْتَضَدَ بِاَحَدِ أُمُوْرٍ مُقَرَّرَةٍ فِى مَحَلِهَا فِيْهَا مَجِيْئِ  آخَرَ اَوْ صَحَابِيِّ يُوَافِقُهُ وَالْاِعْتِضَادِ هَهُنَا مَوْجُوْدٌ  فَاِنَّهُ رُوِيَ مِثْلُهُ عَنْ مُجَاهْدِ وَعَْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرِ  وَهُمَا تَابِعِيَانِ اِنْ لَمْ يَكُنْ عُبَيْدٌ صَحَابِيًا. 

Jka  sudah jadi keputusan, atsar (amal sahabat Thawus) diatas hukumnya sama  dengan hadist Marfu’ Mursal dan sanadnya sampai pada tabi’in itu shahih  dan telah dijadikan hujjah yang mutlak(tanpa syarat) bagi tiga Imam  (Maliki, Hanafi, Hambali). Untuk Imam as-Syafi’i ia mau berhujjah dengan  hadis mursal jika dibantu atau dilengkapi dengan salah satu ketetapan  yang terkait dengannya, seperti adanya hadis yang lain atau kesepakatan  Shahabat. Dan, kelengkapan yang dikehendaki Imam as-Syafi’i itu ada,  yaitu hadis serupa riwayat dari Mujahid dan dari ubaid bin Umair yang  keduanya dari golongan tabi’in, meski mereka berdua bukan sahabat. 

Lebih  jauh, Imam al-Syuyuti menilai hal tersebut merupakan perbuatan sunah  yang telah dilakukan secara turun temurun sejak masa sahabat. Kesunnahan  memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang  tetap berlaku hingga sekarang (zaman imam as-Syuyuti, abad x Hijriyah)  di mekah dan Madinah. Yang jelas, kebiasaan itu tidak pernah  ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi Muhammad SAW sampai sekarang ini,  dan tradisi itu diambil dari Ulama Salaf sejak generasi pertama (masa  Sahabat Nabi Muhammad SAW).” 

Selanjutnya dalam Hujjah Ahlussunnh Wal jama’ah, juz 1 hlm. 37 dikatakan: 

قَوْلُهُ-كَانُوْا  يُسْتَحَبُّوْنَ-مِنْ بَابِ قَوْلِ التَّابِعِي كَانُوْا  يَفْعَلُوْنَ-وَفِيْهِ قَوْلَانِ لِاَهْلِ الْحَدِيْثِ وَاْلاُصُوْلِ  أَحَدُهُمَا اَنَّهُ اَيْضًا مِنْ بَابِ اْلمَرْفُوْعِ وَأَنَّ مَعْنَاهُ:  كَانَ النَّاسُ يَفْعَلُوْنَ فِى عَهْدِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ  وَسَلَّمَ وَيَعْلَمُ بِهِ وَيُقِرُّ عَلَيْهِ. 

(Kata-kata  Imam thawus) pada bab tentang kata-kata Tabi’in, mereka  melaksanakannya. Dalam hal ini ada dua pendapat: pendapat ahli Hadis dan  Ahli Ushul yang salah satunya termasuk hadis Marfu’ maksudnya  orang-orang dizaman Nabi melaksanakan hal itu, Nabi sendiri tahu dan  menyetujuinya. 
Dalam kitab Nihayah al-Zain, Juz I, halaman 281 juga disebutkan: 

وَالتَّصَدُّقُ  عَنِ اْلمَيِّتِ بِوَجْهٍ شَرْعِيٍّ مَطْلُوْبٌ وَلَا يُتَقَيَّدُ  بِكَوْنِهِ فِيْ سَبْعَةِ اَيَّامٍ اَوْ اَكْثَرَ اَوْ اَقَلَّ  وَتَقْيِيْدُهُ بِبَعْضِ اْلاَيَّامِ مِنَ اْلعَوَائِدِ فَقَطْ كَمَا  اَفْتَى بِذَلِكَ السَّيِّدِ اَحْمَدء دَحْلَانِ وَقَدْ جَرَتْ عَادَةُ  النَّاسِ بِالتَّصَدُّقِ عَنِ اْلمَيِّتِ فِي ثَالِثٍ مِنْ مَوْتِهِ وَفِي  سَابِعٍ وَفِيْ تَمَامِ اْلعِشْرِيْنَ وَفِي اْلاَرْبَعِيْنَ وَفِي  الِمأَةِ وَبِذَلِكَ يُفْعَلُ كُلَّ سَنَةٍ حَوْلًا فِي اْلمَوْتِ كَمَا  اَفَادَهُ شَيْخَنَا يُوْسُفُ السُنْبُلَاوِيْنِيْ. 

Di  anjurkan oleh syara’ shodaqoh bagi mayit,dan shodaqoh itu tidak di  tentukan pada hari ke tujuh sebelumnya maupun sesudahnya.sesungguhnya  pelaksanaan shodaqoh pada hari-hari tertentu itu cuma sebagai kebiasaan  (adat) saja,sebagaimana fatwa Sayid Akhmad Dahlan yang mengatakan  ”Sungguh telah berlaku dimasyarakat adanya kebiasaan bersedekah untuk  mayit pada hari ketiga dari kematian, hari ketujuh, dua puluh, dan  ketika genap empat puluh hari serta seratus hari. Setelah itu dilakukan  setiap tahun pada hari kematiannya. Sebagaimana disampaikan oleh Syaikh  Yusuf Al-Sumbulawini. Adapun istilah 7 “tujuh hari” dalam acara tahlil  bagi orang yang sudah meninggal, hal ini sesuai dengan amal yang  dicontohkan sahabat Nabi SAW. Imam Ahmad bin Hanbal RA berkata dalam  kitab Al-Zuhd, sebagaimana yang dikutip oleh Imam Suyuthi dalam kitab  Al-Hawi li Al-Fatawi: 

حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ  اْلقَاسِمِ قَالَ حَدَّثَنَا اْلأَشْجَعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ قَالَ: قَالَ  طَاوُسُ: إِنَّ اْلمَوْتَ يُفْتَنُوْنَ فِي قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا  فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامِ  (الحاوي للفتاوي,ج:۲,ص:۱۷۸) 

“Hasyim bin Al-Qasim  meriwayatkan kepada kami, ia berkata, “Al-Asyja’i meriwayatkan kepada  kami dari Sufyan, ia berkata, “Imam Thawus berkata, “Orang yang  meninggal dunia diuji selama tujuh hari di dalam kubur mereka, maka  kemudian para kalangan salaf mensunnahkan bersedekah makanan untuk orang  yang meninggal dunia selama tujuh hari itu” (Al-Hawi li Al-Fatawi, juz  II, hal 178) 

Imam Al-Suyuthi berkata: 

أَنَّ  سُنَّةَ اْلإِطْعَامِ سَبْعَةَ أَيَّامٍ بَلَغَنِي أَنَّهَا مُسْتَمِرَّةٌ  إِلَى اءلآنَ بِمَكَّةَ وَاْلمَدِيْنَةَ فَالظَّاهِرُ أَنَّهَا لمَ  ْتَتْرُكْ مِنْ عَهْدِ الصَّحَابَةِ إِلَى اْلآنَ وَأَنَّهُمْ أَخَذُوْهَا  خَلَفًا عَنْ سَلَفٍ إِلَى الصَّدْرِ اْلأَوَّلِ (الحاوي  للفتاوي,ج:۲,ص:۱۹۴) 

"Kebiasaan memberikan sedekah  makanan selama tujuh hari merupakan kebiasaan yang tetap berlaku hingga  sekarang (zaman imam Suyuthi, sekitar abad IX Hijriah) di Makkah dan  Madinah. Yang jelas, kebiasaan itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa  sahabat Nabi SAW sampai sekarang ini, dan tradisi itu diambil dari ulama  salaf sejak generasi pertama (masa sahabat SAW)” (Al-Hawi li Al-Fatawi,  juz II, hal 194)

 وَأَمَّا  مَا يَصْنَعُهُ أَقَارِبُ الْمَيِّتِ مِنْ الطَّعَامِ وَجَمْعِ النَّاسِ  عَلَيْهِ فَإِنْ كَانَ لِقِرَاءَةِ قُرْآنٍ وَنَحْوِهَا مِمَّا يُرْجَى  خَيْرُهُ لِلْمَيِّتِ فَلَا بَأْسَ بِهِ ، وَأَمَّا لِغَيْرِ ذَلِكَ  فَيُكْرَهُ ، وَلَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ الْأَكْلُ  مِنْهُ إلَّا أَنْ يَكُونَ الَّذِي صَنَعَهُ مِنْ الْوَرَثَةِ بَالِغًا  رَشِيدًا فَلَا حَرَجَ فِي الْأَكْلِ مِنْهُ ، وَأَمَّا لَوْ كَانَ  الْمَيِّتُ أَوْصَى بِفِعْلِهِ عِنْدَ مَوْتِهِ فَإِنَّهُ يَكُونُ فِي  ثُلُثِهِ وَيَجِبُ تَنْفِيذُهُ عَمَلًا بِفَرْضِهِ

Adapun  menghidangkan makanan yang dilakukan oleh kerabat mayit dan  mengumpulkan orang-orang dalam acara tersebut, jika dengan maksud untuk  membaca al Quran dan sebagainya yang mana diharapkan kebaikannya bagi si  mayit, maka hal itu tidak apa-apa.
Namun jika tujuannya  bukan untuk hal tersebut, maka hukumnya makruh, dan tidak seyogyanya  bagi seseorang untuk memakan hidangan tersebut...dst.
al-Fawakih ad-Dawaany I/285

قَالَ  طَاوُسَ: إنَّ الْمَوْتَى يُفْتِنُوْنَ فِي قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا  فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ تَلْكَ اْلأيّاَمِ  إلَى أنْ قَالَ عَنْ عُبَيْدِ ابْنِ عُمَيْرِ قَالَ: يُفْتِنُ رَجُلانِ  مُؤمِنٌ وَمُنَافِقٌ فَأمَّا الْمُؤمِنُ فَيُفْتِنُ سَبْعًا وَأمَّا  الْمُناَفِقُ فَيُفْتِنُ أرْبَعِيْنَ صَبَاحًا

Imam  Thawus berkata: Seorang yang mati akan beroleh ujian dari Allah dalam  kuburnya selama 7 hari. Untuk itu, sebaiknya mereka (yang masih hidup)  mengadakan jamuan makan (sedekah) untuknya selama hari-hari tersebut.  Sahabat Ubaid ibn Umair berkata: “Seorang mukmin dan seorang munafiq  sama-sama akan mengalami ujian dalam kubur. Bagi seorang mukmin akan  beroleh ujian selam 7 hari, sedang seorang munafiq selama 40 hari di  waktu pagi.”
Al-Hawi li al-Fataawa as-Suyuthy II/178

ان  سنة الاطعام سبعة أيام بلغنى أنهامستمر الى الأن بمكة و المدينة فالظاهر  أنها لم تترك من عهد الصحابة الى الأن و انهم أخذوها خلفا عن سلف الى الصدر  الأول

“Sesungguhnya, kesunnahan memberikan sedekah  makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku sampai  sekarang (yaitu masa Imam Suyuthi abad ke-9 H) di Mekkah dan Madinah.  Yang jelas kebiasaan tersebut tidak pernah ditinggalkan sejak masa  sahabat sampai sekarang, dan tradisi tersebut diambil dari ulama salaf  sejak generasi pertama, yaitu sahabat.”
Al-Haawi li Al-Ftaawi li as-Suyuthy II/194

ااَلْعَادَةُ  اْلجَارِيَةُ فِي بَعْضِ اْلبُلْدَانِ مِنَ اْلإِجْتِمَاعِ فِي  اْلمَسْجِدِ لِتِلاَوَةِ اْلقُرْأَنِ عَلَى اْلأَمْوَاتِ.وَكَذَالِكَ فِي  اْلبُيُوْتِ وَسَا ئِرِ اْلإِجْتِمَاعَاتِ الَّتِي لَمْ تَرِدْ فِي  الشَّرِيْعَةِ ,لاَشَكَّ إِنْ كَانَتْ خَالِيَةً عَنْ مَعْصِيَةٍ  سَلِيْمَةٍ مِنَ اْلمُنْكَرَاتِ فَهِيَ جَائِزَةٌ لِاَءنَّ اْلإِجْتِمَاعَ  لَيْسَ بِمُحَرَّمٍ بِنَفْسِهِ لاَسِيَمَا إِذَا كَا نَ لِتَحْصِيْلِ  طَاعَةٍ كَالتِّلاَوَةِ وَنَحْوِهَا وَلاَ يُقْدَحُ فِي ذَلِكَ كَوْنُ  تِلْكَ التِّلاَوَةِ مَجْعُوْلَةً لِلْمَيِّتِ فَقَدْ وَرَدَ جِنْسُ  التِّلاَوَةِ مِنَ اْلجَمَاعَةِ اْلمُجْتَمِعِيْنَ كَمَافِي حَدِيْثِ  إِقْرَؤُوْا “يَس” عَلَى مَوْتَاكُمْ وَهُوَ حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ وَلاَ  فَرَقَ بَيْنَ تِلاَوَةِ “يس” مِنَ اْلجَمَاعَةِ الحَاضِرِيْنَ عِنْدَ  اْلمَيِّتِ أَوْ عَلَى قَبْرِهِ وَبَيْنَ تِلاَوَةِ جَمِيْعِ اْلقُرْآنِ  أَوْ بَعْضِهِ لِمَيِّتٍ فِي مَسْجِدِهِ أَوْ بَيْتِهِ ( الرسائل السلفية:  ۴۶)

“Kebiasaan di sebagian negara mengenai  perkumpulan atau pertemuan di Masjid, rumah, di atas kubur, untuk  membaca Al-Qur’an yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah  meninggal dunia, tidak diragukan lagi hukumnya boleh (jaiz) jika  didalamnya tidak terdapat kemaksiatan dan kemungkaran, meskipun tidak  ada penjelasan (secara dzahir) dari syari’at. Kegiatan melaksanakan  perkumpulan itu pada dasarnya bukanlah sesuatu yang haram (muharram fi  nafsih), apalagi jika di dalamnya diisi dengan kegiatan yang dapat  menghasilkan ibadah seperti membaca Al-Qur’an atau lainnya. Dan tidaklah  tercela menghadiahkan pahala membaca Al-Qur’an atau lainnya kepada  orang yang telah meninggal dunia. Bahkan ada beberapa jenis bacaan yang  didasarkan pada hadits shahih seperti إقرؤوا “يس” على موتاكم (bacalah  surat Yasin kepada orang mati di antara kamu). Tidak ada bedanya apakah  pembacaan Surat Yasin tersebut dilakukan bersama-sama di dekat mayit  atau di atas kuburannya, dan membaca Al-Qur’an secara keseluruhan atau  sebagian, baik dilakukan di Masjid atau di rumah.”
Al-Rasa’il Al-Salafiyah Hal 46
=====================
 Orang-orang yang tidak setuju dengan ritual TAHILAN mendasarkan    argumennya dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan    lainnya dari Shahabat Jarir ibn Abdillah al Bajali, beliau berkata:   
كُنَّا نَعُدُّ الْاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَهُمُ الطَّعَامَ مِنَ النِّيَاحَةِ 
“Kami menilai berkumpulnya banyak orang di rumah keluarga mayit,    demikian pula aktivitas keluarga mayit membuatkan makanan adalah bagian    dari niyahah (meratapi jenazah)”.   

Validkah riwayat tersebut ?   
Berikut matan dan sanadnya sebagaimana dalam Sunan Ibn Majah:   

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى قَالَ  حَدَّثَنَا سَعِيْدُ بْنُ   مَنْصُوْرٍ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ ح وَحَدَّثَنَا  شُجَاعُ بْنُ مَخْلَدٍ   أَبُوْ الْفَضْلِ قَالَ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ عَنْ  إِسْمَاعِيْلَ بْنِ   أَبِىْ خَالِدٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِىْ حَازِمٍ  عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ   اللهِ الْبَجَلِىِّ قَالَ كُنَّا نَرَى  الْاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ   الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ  النِّيَاحَةِ.   

Sumber: 
Sunan Ibn Maajah 5/176 hadits nomor 1680 
Link Kitab: 
http://islamport.com/d/1/mtn/1/49/1588.html   

Keterangan: 
Dalam hadits diatas ada rawi yang bernama: 

هشيم Husyaim (bin Basyiir)   

Siapakah beliau ?   

Ibnu Sa'ad dalam kitab Ath Thabaqat juz 7 halaman 313 berkata:   

كَانَ ثِقَةً كَثِيْرَ الْحَدِيْثِ ثَبَتًا  يُدَلِّسُ كَثِيْرًا ، فَمَا   قَالَ فِيْ حَدِيْثِهِ أَخْبَرَنَا فَهُوَ  حُجَّةٌ وَمَا لَمَ ُيْقل  فِيْهِ  أَخْبَرَنَا فَلَيْسَ بِشَيْءٍ   

Dia (Husyaim) adalah tsiqat (terpercaya), tsabat (jujur) Dia banyak mentadlis. Jika yang ia katakan dalam haditsnya   "AKHBARANAA"  maka ia merupakah hujjah, jika tidak, maka itu bukan   apa-apa."   

Sumber:   اَلْكِتَابُ : اَلطَّبَقَاتُ الْكُبْرَى اَلْمُؤَلِّفُ : مُحَمَّدُ بْنُ سَعْدِ بْنِ منيْعٍ أَبُوْ عَبْدِاللهِ الْبَصْرِيِّ الزُّهْرِيِّ الناشر : دار صادر – بيروت   Link Kitab: 
http://islamport.com/d/1/trj/1/60/931.html   

Berikut komentar Imam Ahmad tentang riwayat tersebut diatas   sebagaimana  dalam kitab “MASAA`IL AL IMAM AHMAD’’ halaman 388, nomor   masalah 1867 :   

قَالَ أَبُوْ دَاوَدَ : ذَكَرْتُ لِأَحْمَدَ  حَدِيْثَ هُشَيْمٍ عَنْ   إِسْمَاعِيْلَ عَنْ قَيْسٍ عَنْ جَرِيْرٍ : (  كُنَّا نَعُدُّ   الْاِجْتِمَاعَ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ  الطَّعَامِ لَهُمْ   مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ ) زَعَمُوْا أَنَّهُ  سَمِعَهُ مِنْ شَرِيْكٍ . قَالَ أَحْمَدُ : وَمَا أُرَى لِهَذَا الْحَدِيْثِ أَصْلٌ   

Imam Abu Dawud berkata: “ Aku menuturkan kepada Imam Ahmad hadits Husyaim dari Ismaa’il dari Qays dari Jarir:   

كُنَّا نَعُدُّ الْاِجْتِمَاعَ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ لَهُمْ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ   

Mereka menyangka bahwa dia mendengarnya dari Syariik, (maka) Imam Ahmad berkata: “ Aku tidak mengerti hadits ini mempunyai asal.”   Sumber Kitab: Masaa`il al Imam Ahmad, Maktabah Ibn Taimiyyah, cetakan I tahun 1999 m – 1420 H   

Sumber Link: 
http://www.islamweb.net/hadith//display_hbook.php?indexstartno=0&hflag&pid=46523&bk_no=185&startno=211   

Sumber downlad Kitab: 
http://arablib.com/harf?view=book&lid=6&rand1=enJtR0FAJjFeRiQ2&rand2=MHkxViNFZUE0Q3o5   

Sebagai penutup saya kutipkan fatwa dari Syeikh Bin Baz tentang makan-makan di tempat takziah:   

وَقَالَ الشَّيْخُ عَبْدُالْعَزِيْزِ بْنُ  بَازٍ ( ت 1420هـ) ـ رحمه  الله  تعالى ـ عِنْدَمَا سُئِلَ عَنْ جُلُوْسِ  أَهْلِ الْمَيِّتِ  لِاسْتِقْبَالِ  الْمُعَزِّيْنَ وَاجْتِمَاعِهِمْ  لِذَلِكَ. قَالَ ـ رحمه الله تعالى  ـ:( لَا أَعْلَمُ  بَأْسًا فِيْمَنْ نَزَلَتْ  بِهِ مُصِيْبَةٌ بِمَوْتِ  قَرِيْبٍ، أَوْ  زَوْجَةِ، وَنَحْوِ ذَلِكَ أَنْ  يَسْتَقْبِلَ  الْمُعَزِّيْنَ فِيْ  بَيْتِهِ فِي الْوَقْتِ الْمُنَاسِبِ،  لِأَنَّ  التَّعْزِيَةَ سُنَّةٌ،  وَاسْتِقْبَالَ الْمُعَزِّيْنَ مِمَّا  يُعِيْنُهُمْ  عَلَى أَدَاءِ  السُّنَّةِ؛ وَإِذَا أَكْرْمَهُمْ  بِالْقَهْوَةِ، أَوِ  الشَّايِ، أَوِ  الطّيبِ، فَكُلُّ ذَلِكَ حَسَنٌ   

Berkata Syeikh  Abdul Aziz Ibn Baaz (wafat tahun 1420 H) ketika   ditanya tentang duduknya  keluarga mayit menemui orang-orang bertakziah. Beliau menjawab:  “Tidak apa-apa bagi orang yang tertimpa musibah   dengan kematian  kerabatnya, istrinya dan sebagainya untuk menemui orang   bertakziah  dirumahnya pada waktu yang pantas. Karena takziah hukumnya   sunnah,  menemui orang bertakziah termasuk menolong mereka dalam   menjalankan  sunnah. Dan jika mereka disuguhi kopi, teh dan (makanan) yang enak maka itu semuanya adalah bagus.   

sumber: http://www.kl28.com/knol2/?p=view&post=135121&page=2

 Hadits riwayat Imam Ibnu Majah  diatas juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya juz II halaman 204, hadits nomor 6905   Berikut sanad dan matannya: 

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا نصر بن باب عن  إسماعيل عن قيس عن جرير بن  عبد الله البجلي قال : كنا نعد الاجتماع إلى  أهل الميت وصنيعه الطعام بعد  دفنه من النياحة   

Catatan: 
Dalam riwayat diatas ada rawi yang bernama Nashr ibn Baab Berikut terjemahannya sebagaimana dalam kitab Taarikh Baghdaad juz XIII halaman 280 karya al Hafizh al Khathib al Baghdadi:   

قال  البخاري نصر بن باب كان بنيسابور يرمونه  بالكذب أخبرنا البرقاني  حدثنا  يعقوب بن موسى الأردبيلي حدثنا احمد بن  طاهر بن النجم الميانجي  حدثنا سعيد  بن عمرو البرذعي قال سمعت أبا زرعة  يقول نصر بن باب لا ينبغي  أن يحدث عنه  أخبرنا العتيقي محمد بن عدي البصري  في كتابه حدثنا أبو عبيد  محمد بن علي  قال سألت أبا داود عن نصر بن باب  فوهاه جدا أخبرنا البرقاني  أخبرنا احمد بن  سعيد بن سعد حدثنا عبد الكريم  بن احمد بن شعيب النسائي  حدثنا أبي قال نصر  بن باب متروك الحديث وأخبرني  البرقاني حدثني محمد بن  احمد بن محمد الادمي  حدثنا محمد بن علي الأيادي  حدثنا زكريا بن يحيى  الساجي قال نصر بن باب  خراساني سمعت سلمة بن شبيب  يحدث عنه بمناكير وقال  يحيى بن معين ليس هو بشيء   

Sumber link: http://islamport.com/d/1/trj/1/108/1613.html 

Dari  uraian diatas jelaslah sudah bahwa amalan tahlilan yang sebagian  dilakukan oleh golongan NU bukanlah tersebut perbuatan Harom apa lagi  bud'ah dan perbuatan tersebut berlandaskan dalil dan para Ulama  membolehkannya dan jangan terpengaruh pada ajaran yang datang setelah  ulama empat Madzhab karena tidak ada sesudah ulama para madzhab yang  slevel dengan mereka baik dalam ha ilmu, ibadah, akhlak dan sebagainya.

Wallahu A'lamu Bis Showaab 

LINK ASAL:
https://www.facebook.com/groups/asawaja/permalink/1123059597742024/

Dokumen FB:
https://www.facebook.com/notes/diskusi-hukum-fiqih-berdasarkan-empat-madzhab/0116-amaliyah-hukum-tahlilan-menurut-perspektif-fiqih/1123609307687053/

Komentari

Lebih baru Lebih lama