ISMIDAR ABDURRAHMAN AS-SANUSI·15 OKTOBER 2016
PERTANYAAN
> Abdullah Al-Jamal
Assalamu'alaikum
Pak Kyai tolong terangkan sejelas-jelas permasalahan mengenai tahlilan yang sudah mengakar di masyarakat sejak dulu sampai sekarang dilakukan khususnya daerah saya.
Dulu orang-orang pada melakukannya dan tidak ada seorangpun yang melarangnya termasuk ustadz-ustadz, kyai, bahkan mereka ikut serta. Tapi, sekarang sudah banyak yang membid'ahkan hal tersebut. Saya mohon dijelaskan beserta dalil-dalilnya.
Atas jawabannya saya ucapkan terima kasih.
JAWABAN
> Ismidar Abdurrahman As-Sanusi
Wa'alaikumussalam
Tahlilan atau istilah lainnya selamatan kematian dari 3, hari, 7 hari, 20, 40, 100 dan sebagainya. Dimana tradisi ini sudah berlaku dari sejak dahulu hingga sekarang yang di dalamnya diisi dengan membaca dzikir-dzikir, tahlil, membaca alQuran, menghidangkan makanan untuk para undangan yang kesemuanya bertujuan untuk menghadiahkan pahalanya kepada orang yang telah meninggal.
Tradisi tahlilan tersebut bukan hanya ada di daerah saya (RIAU) tapi di tempat lain pun sudah marak dilakukan sejak dahulu hingga sekarang. Perbuatan ini dari dulu memang tidak dipermasalahkan disamping hal tersebut dengan tujuan baik yaitu dalam rangka menghadiahkan pahalanya untuk ahli mayit bahkan para ustadz dan kyai pun kalau ditempat saya ikut serta dalam acara tersebut dan ustadz pun memimpin acara selamatan tersebut dari membaca fatihah sampai berdoa. Namun sekarang saking banyaknya suatu ormas atau aliran yang berusa menyesatkan umat Islam menganggap perbuatan tersebut sebagai perbuatan bid'ah yang Harom yang sama sekali tidak dibenarkan dalam agama Islam karena menurut mereka tradisi selamatan tersebut tidak ada dalilnya dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi, para Sahabat dan Shalafus shaleh.
Sebenarnya dalam tradisi Tahlilan dalam segi hukumnya diperbolehkan bahkan hukumnya Sunnah apalagi di dalamnya dilantunkan aneka-aneka dzikir, tahlil, membaca alQuran dan kesemuanya untuk mayit. Tidak disangsikan lagi setiap amaliyyah untuk dihadiahkan untuk mayit diperbolehkan. Banyak sekali dalil dari Alquran maupun hadits yang menjadi dasar diperbolehkannya acara tahlilan tersebut jika kita mau membuka fikiran untuk menerima kebaikan. Bagi orang yang menganggapnya bid'ah sebenarnya mereka belum menguasai semua dalil, membaca satu buku menemukan satu hadits, kemudian dibuku lain ketemu hadits yang lain seakan bertentangan mereka tinggalkan yang ini, maka orang seperti ini tidak layak untuk diikuti karena plin-plan dalam memahami suatu nash, lagi pula yang memandang tradisi tahlilan ini sebagai bid'ah karena mereka menolak adanya bid'ah Hasanah, padahal tidak semua bid'ah itu sesat.
DALIL-DALIL TAHLILAN
وَ إسْتََغْفِرْ لِذَ نْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ (محمد:۱۹)
“Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan”. (Muhammad:19)
فِيْ مَعْنَي اْلَآيَةِ إِسْتَغْفِرْ لِذَ نْبِكَ أَيْ لِذًنُوْبِ أَهْلِ بَيْتِكَ ( وللمؤمنين والمؤمنات) يَعْنِيْ مِنْ غَيْرِ أَهْلِ بَيْتِكَ وَهَذَا إِكْرَامٌ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ لِهَذِهِ اْلأًمَّةِ حَيْثُ أَمَرَ نَبِيَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلمَ أَنْ يَسْتَغْفِرَلِذُنُوْبِهِمْ وَهُوَ الشَّفِيْعُ اْلمُجَابُ فِيْهِمْ(تفسير الخازن,ج: ۶,ص:۱۸۰)
“Makna ayat إستغفر لذنبكadalah mohonlah ampunan bagi dosa-dosa keluargamu dan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan,a rtinya selain keluargamu. Ini adalah penghormatan dari Allah ‘Azza wa Jalla kepada umat Muhammad, dimana Dia memerintahkan Nabi-Nya untuk memohonkan ampun bagi dosa-dosa mereka, sedangkan Nabi SAW adalah orang yang dapat memberikan syafa’at dan do’anya diterima” (Tafsir Al-Khazin, Juz VI, hal 180)
وَالَّذِيْنَ جَاؤُا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْلَنَا وَلِإحْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًا لِلَّذِيْنَ أَمَنُوْا رَبنَا إِنَّكَ رَؤوْفٌ رَحِيْمٌ ( الحسر:۱۰ )
“Dan orang-orang yang beriman, serta anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya” (QS. Al-Hasyr: 10)
يَعْنِيْ أَلْحَقْنَا إَوْلَادَهُمْ الصِّغَارَ وَاْلكِبَارَ بِإِيْمَا نِهِمْ وَاْلكِبَارُ بِإِيْمَا نِهِمْ بِأَنْفُسِهِمْ وَالصِّغَارُ بِإِيمَا نِ آبَائِهِمْ فَأِنَّ الوَلَدَ الصَّغِيْرَ يُحْكَمُ بِإِسْلَامِهِ تَبْعًا لِأَحَدِ أَبَوَيْهِ ( أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّاتِهِمْ ) يَعْنِيْ المُؤْمِنِيْنَ فِي اْلجَنَّةِ بِدَرَجَاتِ آبَائِهِمْ وَإِنْ لَمْ يَبْلُغُوْا بِاَعْمَالِهِمْ دَرَجَاتِ آبَائِهِمْ تَكْرِمَةً لِاَبَائِهِمْ لِتَقَرّ َاَعْيُنُهُمْ هَذِهِ رِوَايَةً عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ( تفسير الخازن,ج:۶, ص: ۲۵۰)
“Artinya Kami menyamakan anak-anak mereka yang kecil dan yang dewasa dengan keimanan orang tua mereka. Yang dewasa dengan keimanan mereka sendiri, sementara yang kecil dengan keimanan orang tuanya. Keislaman seorang anak yang masih kecil diikutkan pada salah satu dari kedua orang tuanya. (Kami menyamakan kepada mereka keturunan mereka) artinya menyamakan orang-orang mukmin di surga sesuai dengan derajat orang tua mereka, meskipun amal-amal mereka tidak sampai pada derajat amal orang tua mereka. Hal itu sebagai penghormatan kepada orang tua mereka agar mereka senang. Keterangan ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA.” (Tafsir Al-Khazin, Juz VI, hal 250)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلاَءِ أَخْبَرَنَا ابْنُ إِدْرِيسَ أَخْبَرَنَا عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ رَجُلٍ مِنْ اْلأَنْصَارِ قَالَخَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَنَازَةٍ فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوصِي الْحَافِرَ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيْهِ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَةٍ فَجَاءَ وَجِيءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ ثُمَّ وَضَعَ الْقَوْمُ فَأَكَلُوا فَنَظَرَ آبَاؤُنَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلُوكُ لُقْمَةً فِي فَمِهِ ثُمَّ قَالَ أَجِدُ لَحْمَ شَاةٍ أُخِذَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ أَهْلِهَا فَأَرْسَلَتْ الْمَرْأَةُ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أَرْسَلْتُ إِلَى الْبَقِيعِ يَشْتَرِي لِي شَاةً فَلَمْ أَجِدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى جَارٍ لِي قَدْ اشْتَرَى شَاةً أَنْ أَرْسِلْ إِلَيَّ بِهَا بِثَمَنِهَا فَلَمْ يُوجَدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى امْرَأَتِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيَّ بِهَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَطْعِمِيهِ اْلأُسَارَى
“Muhammad bin al-‘Ala’ menceritakan dari (Abdullah) bin Idris dari ‘Ashim bin Kulaib dari ayahnya (Kulaib) dari seorang laki-laki Anshar (shahabat), berkata: ‘Aku keluar bersama Rasulallah berta’ziyah ke salah satu jenazah. Selanjutnya aku melihat Rasulallah di atas kubur berpesan kepada penggali kubur (dengan berkata): ‘Lebarkanlah bagian arah kedua kaki dan lebarkan pula bagian arah kepala!’ Setelah Rasulallah hendak kembali pulang, tiba-tiba seseorang yang menjadi pesuruh wanita (istri mayit) menemui beliau, mengundangnya (untuk datang ke rumah wanita tersebut). Lalu Rasulallah pun datang dan diberi hidangan suguhan makanan. Kemudian Rasulallah pun mengambil makanan tersebut yang juga diikuti oleh para shahabat lain dan memakannya. Ayah-ayah kami melihat Rasulallah mengunyah sesuap makanan di mulut beliau, kemudian Rasulallah berkata: ’Aku merasa menemukan daging kambing yang diambil dengan tanpa izin pemiliknya?!’ Kemudian wanita itu berkata: ’Wahai Rasulallah, sesungguhnya aku telah menyuruh untuk membeli kambing di Baqi,[1] tapi tidak menemukannya, kemudian aku mengutus untuk membeli dari tetangga laki-laki kami dengan uang seharga (kambing tersebut) untuk dikirimkan kepada saya, tapi dia tidak ada dan kemudian saya mengutus untuk membeli dari istrinya dengan uang seharga kambing tersebut lalu oleh dia dikirimkan kepada saya.’ Rasulallah kemudian menjawab: ’Berikanlah makanan ini kepada para tawanan!’”
(HR.Abu Dawud)
قَالَ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ لَهُ حَدَّثَنَا هَاشِمٌ بْنُ اْلقَاسِمِ قَالَ ثَنَا اْلأَشْجَعِي عَنْ سُفْيَانَ قَالَ قَالَ طَاوُوسُ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعِمُوا عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامَ
قَالَ الْحَافِظُ أَبُو نُعَيْمٍ فِي الْحِلْيَةِ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ بْنِ مَالِكٍ ثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ أَحْمَدَ ابْنُ حَنْبَلَ ثَنَا أُبَيُّ ثَنَا هَاشِمٌ بْنُ الْقَاسِمِ ثَنَا اْلأَشْجَعِي عَنْ سُفْيَانَ قَالَ قاَلَ طَاوُوسُ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامَ
ذِكْرُ الرِّوَايَةِ الْمُسْنَدَةِ عَنْ عُبَيْدٍ بْنِ عُمَيْرٍ: قاَلَ ابْنُ جُرَيْجٍ فِي مَصَنَّفِهِ عَنِ الْحَارِثِ ابْنِ أَبِي الْحَارِثِ عَنْ عُبَيْدٍ بْنِ عُمَيْرٍ قَالَ يُفْتَنُ رَجُلاَنِ مُؤْمِنٌ وَمُنَافِقٌ فَأَمَّا الْمُؤْمِنُ فَيُفْتَنُ سَبْعًا
“Imam Ahmad dalam az-Zuhd berkata: ‘Hasyim bin Qasim bercerita kepadaku dari al-Asyja‘i dari Sufyan dari Thawus, dia berkata: Sesungguhnya mayit di dalam kuburnya terfitnah (ditanyai Malaikat Munkar dan Nakir) selama 7 hari. Dan mereka menganjurkan supaya membuat (walimahan) dengan memberi makan (orang-orang), (yang pahalanya dihadiahkan) untuk si mayit tersebut di hari-hari tersebut
(HR.Ahmad)
Dalam kitab al-Hawi li-Al-Fatawi li as-syuyuti, Juz II, hlm 183
قَالَ طَاوُسِ: اِنَّ اْلمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِىْ قُبُوْرِهِمْ سَْعًا فَكَانُوْا يُسْتَحَبُّوْنَ أَنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ تِلْكَ اْلاَيَّامِ-اِلَى اَنْ قَالَ-عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرِ قَالَ: يُفْتَنُ رَجُلَانِ مُؤْمِنٍ وَمُنَافِقٍ فَأَمَّا اْلمُؤْمِنُ فَيُفْتَنُ سَبْعًا وَاَمَّا الْمُنَافِقُ يُفْتَنُ اَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا.
Imam Thawus berkata : seorang yang mati akan beroleh ujian dari Alloh dalam kuburnya selama tujuh hari. Untuk itu, sebaiknya mereka (yang masih hidup) mengadakan sebuah jamuan makan (sedekah) untuknya selama hari-hari tersebut. Sampai kata-kata: dari sahabat Ubaid Ibn Umair, dia berkata: seorang mu’min dan seorang munafiq sama-sama akan mengalami ujian dalam kubur. Bagi seorang mu’min akan beroleh ujian selama 7 hari, sedang seorang munafik selama 40 hari diwaktu pagi.
Dalil diatas adalah sebuah atsar yang menurut Imam As-Syuyuty derajatnya sama dengan hadis marfu’ Mursal maka dapat dijadikan hujjah makna penjelasannya:
اِنَّ أَثَرَ طَاوُسَ حُكْمُهُ حُكْمُ اْلحَدِيْثِ الْمَرْفُوْعِ اْلمُرْسَلِ وَاِسْنَادُهُ اِلَى التَّابِعِى صَحِيْحٌ كَانَ حُجَّةً عِنْدَ اْلاَئِمَّةِ الثَّلَاثَةِ اَبِي حَنِيْفَةَ وَمَالِكٍ وَاَحْمَدَ مُطْلَقًا مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ وَاَمَّا عِنْدَ الشَّافِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَاِنَّهُ يَحْتَجُ بِاْلمُرْسَلِ اِذَا اعْتَضَدَ بِاَحَدِ أُمُوْرٍ مُقَرَّرَةٍ فِى مَحَلِهَا فِيْهَا مَجِيْئِ آخَرَ اَوْ صَحَابِيِّ يُوَافِقُهُ وَالْاِعْتِضَادِ هَهُنَا مَوْجُوْدٌ فَاِنَّهُ رُوِيَ مِثْلُهُ عَنْ مُجَاهْدِ وَعَْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرِ وَهُمَا تَابِعِيَانِ اِنْ لَمْ يَكُنْ عُبَيْدٌ صَحَابِيًا.
Jka sudah jadi keputusan, atsar (amal sahabat Thawus) diatas hukumnya sama dengan hadist Marfu’ Mursal dan sanadnya sampai pada tabi’in itu shahih dan telah dijadikan hujjah yang mutlak(tanpa syarat) bagi tiga Imam (Maliki, Hanafi, Hambali). Untuk Imam as-Syafi’i ia mau berhujjah dengan hadis mursal jika dibantu atau dilengkapi dengan salah satu ketetapan yang terkait dengannya, seperti adanya hadis yang lain atau kesepakatan Shahabat. Dan, kelengkapan yang dikehendaki Imam as-Syafi’i itu ada, yaitu hadis serupa riwayat dari Mujahid dan dari ubaid bin Umair yang keduanya dari golongan tabi’in, meski mereka berdua bukan sahabat.
Lebih jauh, Imam al-Syuyuti menilai hal tersebut merupakan perbuatan sunah yang telah dilakukan secara turun temurun sejak masa sahabat. Kesunnahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku hingga sekarang (zaman imam as-Syuyuti, abad x Hijriyah) di mekah dan Madinah. Yang jelas, kebiasaan itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi Muhammad SAW sampai sekarang ini, dan tradisi itu diambil dari Ulama Salaf sejak generasi pertama (masa Sahabat Nabi Muhammad SAW).”
Selanjutnya dalam Hujjah Ahlussunnh Wal jama’ah, juz 1 hlm. 37 dikatakan:
قَوْلُهُ-كَانُوْا يُسْتَحَبُّوْنَ-مِنْ بَابِ قَوْلِ التَّابِعِي كَانُوْا يَفْعَلُوْنَ-وَفِيْهِ قَوْلَانِ لِاَهْلِ الْحَدِيْثِ وَاْلاُصُوْلِ أَحَدُهُمَا اَنَّهُ اَيْضًا مِنْ بَابِ اْلمَرْفُوْعِ وَأَنَّ مَعْنَاهُ: كَانَ النَّاسُ يَفْعَلُوْنَ فِى عَهْدِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَعْلَمُ بِهِ وَيُقِرُّ عَلَيْهِ.
(Kata-kata Imam thawus) pada bab tentang kata-kata Tabi’in, mereka melaksanakannya. Dalam hal ini ada dua pendapat: pendapat ahli Hadis dan Ahli Ushul yang salah satunya termasuk hadis Marfu’ maksudnya orang-orang dizaman Nabi melaksanakan hal itu, Nabi sendiri tahu dan menyetujuinya.
Dalam kitab Nihayah al-Zain, Juz I, halaman 281 juga disebutkan:
وَالتَّصَدُّقُ عَنِ اْلمَيِّتِ بِوَجْهٍ شَرْعِيٍّ مَطْلُوْبٌ وَلَا يُتَقَيَّدُ بِكَوْنِهِ فِيْ سَبْعَةِ اَيَّامٍ اَوْ اَكْثَرَ اَوْ اَقَلَّ وَتَقْيِيْدُهُ بِبَعْضِ اْلاَيَّامِ مِنَ اْلعَوَائِدِ فَقَطْ كَمَا اَفْتَى بِذَلِكَ السَّيِّدِ اَحْمَدء دَحْلَانِ وَقَدْ جَرَتْ عَادَةُ النَّاسِ بِالتَّصَدُّقِ عَنِ اْلمَيِّتِ فِي ثَالِثٍ مِنْ مَوْتِهِ وَفِي سَابِعٍ وَفِيْ تَمَامِ اْلعِشْرِيْنَ وَفِي اْلاَرْبَعِيْنَ وَفِي الِمأَةِ وَبِذَلِكَ يُفْعَلُ كُلَّ سَنَةٍ حَوْلًا فِي اْلمَوْتِ كَمَا اَفَادَهُ شَيْخَنَا يُوْسُفُ السُنْبُلَاوِيْنِيْ.
Di anjurkan oleh syara’ shodaqoh bagi mayit,dan shodaqoh itu tidak di tentukan pada hari ke tujuh sebelumnya maupun sesudahnya.sesungguhnya pelaksanaan shodaqoh pada hari-hari tertentu itu cuma sebagai kebiasaan (adat) saja,sebagaimana fatwa Sayid Akhmad Dahlan yang mengatakan ”Sungguh telah berlaku dimasyarakat adanya kebiasaan bersedekah untuk mayit pada hari ketiga dari kematian, hari ketujuh, dua puluh, dan ketika genap empat puluh hari serta seratus hari. Setelah itu dilakukan setiap tahun pada hari kematiannya. Sebagaimana disampaikan oleh Syaikh Yusuf Al-Sumbulawini. Adapun istilah 7 “tujuh hari” dalam acara tahlil bagi orang yang sudah meninggal, hal ini sesuai dengan amal yang dicontohkan sahabat Nabi SAW. Imam Ahmad bin Hanbal RA berkata dalam kitab Al-Zuhd, sebagaimana yang dikutip oleh Imam Suyuthi dalam kitab Al-Hawi li Al-Fatawi:
حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ اْلقَاسِمِ قَالَ حَدَّثَنَا اْلأَشْجَعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ قَالَ: قَالَ طَاوُسُ: إِنَّ اْلمَوْتَ يُفْتَنُوْنَ فِي قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامِ (الحاوي للفتاوي,ج:۲,ص:۱۷۸)
“Hasyim bin Al-Qasim meriwayatkan kepada kami, ia berkata, “Al-Asyja’i meriwayatkan kepada kami dari Sufyan, ia berkata, “Imam Thawus berkata, “Orang yang meninggal dunia diuji selama tujuh hari di dalam kubur mereka, maka kemudian para kalangan salaf mensunnahkan bersedekah makanan untuk orang yang meninggal dunia selama tujuh hari itu” (Al-Hawi li Al-Fatawi, juz II, hal 178)
Imam Al-Suyuthi berkata:
أَنَّ سُنَّةَ اْلإِطْعَامِ سَبْعَةَ أَيَّامٍ بَلَغَنِي أَنَّهَا مُسْتَمِرَّةٌ إِلَى اءلآنَ بِمَكَّةَ وَاْلمَدِيْنَةَ فَالظَّاهِرُ أَنَّهَا لمَ ْتَتْرُكْ مِنْ عَهْدِ الصَّحَابَةِ إِلَى اْلآنَ وَأَنَّهُمْ أَخَذُوْهَا خَلَفًا عَنْ سَلَفٍ إِلَى الصَّدْرِ اْلأَوَّلِ (الحاوي للفتاوي,ج:۲,ص:۱۹۴)
"Kebiasaan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan kebiasaan yang tetap berlaku hingga sekarang (zaman imam Suyuthi, sekitar abad IX Hijriah) di Makkah dan Madinah. Yang jelas, kebiasaan itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi SAW sampai sekarang ini, dan tradisi itu diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama (masa sahabat SAW)” (Al-Hawi li Al-Fatawi, juz II, hal 194)
وَأَمَّا مَا يَصْنَعُهُ أَقَارِبُ الْمَيِّتِ مِنْ الطَّعَامِ وَجَمْعِ النَّاسِ عَلَيْهِ فَإِنْ كَانَ لِقِرَاءَةِ قُرْآنٍ وَنَحْوِهَا مِمَّا يُرْجَى خَيْرُهُ لِلْمَيِّتِ فَلَا بَأْسَ بِهِ ، وَأَمَّا لِغَيْرِ ذَلِكَ فَيُكْرَهُ ، وَلَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ الْأَكْلُ مِنْهُ إلَّا أَنْ يَكُونَ الَّذِي صَنَعَهُ مِنْ الْوَرَثَةِ بَالِغًا رَشِيدًا فَلَا حَرَجَ فِي الْأَكْلِ مِنْهُ ، وَأَمَّا لَوْ كَانَ الْمَيِّتُ أَوْصَى بِفِعْلِهِ عِنْدَ مَوْتِهِ فَإِنَّهُ يَكُونُ فِي ثُلُثِهِ وَيَجِبُ تَنْفِيذُهُ عَمَلًا بِفَرْضِهِ
Adapun menghidangkan makanan yang dilakukan oleh kerabat mayit dan mengumpulkan orang-orang dalam acara tersebut, jika dengan maksud untuk membaca al Quran dan sebagainya yang mana diharapkan kebaikannya bagi si mayit, maka hal itu tidak apa-apa.
Namun jika tujuannya bukan untuk hal tersebut, maka hukumnya makruh, dan tidak seyogyanya bagi seseorang untuk memakan hidangan tersebut...dst.
al-Fawakih ad-Dawaany I/285
قَالَ طَاوُسَ: إنَّ الْمَوْتَى يُفْتِنُوْنَ فِي قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ تَلْكَ اْلأيّاَمِ إلَى أنْ قَالَ عَنْ عُبَيْدِ ابْنِ عُمَيْرِ قَالَ: يُفْتِنُ رَجُلانِ مُؤمِنٌ وَمُنَافِقٌ فَأمَّا الْمُؤمِنُ فَيُفْتِنُ سَبْعًا وَأمَّا الْمُناَفِقُ فَيُفْتِنُ أرْبَعِيْنَ صَبَاحًا
Imam Thawus berkata: Seorang yang mati akan beroleh ujian dari Allah dalam kuburnya selama 7 hari. Untuk itu, sebaiknya mereka (yang masih hidup) mengadakan jamuan makan (sedekah) untuknya selama hari-hari tersebut. Sahabat Ubaid ibn Umair berkata: “Seorang mukmin dan seorang munafiq sama-sama akan mengalami ujian dalam kubur. Bagi seorang mukmin akan beroleh ujian selam 7 hari, sedang seorang munafiq selama 40 hari di waktu pagi.”
Al-Hawi li al-Fataawa as-Suyuthy II/178
ان سنة الاطعام سبعة أيام بلغنى أنهامستمر الى الأن بمكة و المدينة فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة الى الأن و انهم أخذوها خلفا عن سلف الى الصدر الأول
“Sesungguhnya, kesunnahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku sampai sekarang (yaitu masa Imam Suyuthi abad ke-9 H) di Mekkah dan Madinah. Yang jelas kebiasaan tersebut tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat sampai sekarang, dan tradisi tersebut diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama, yaitu sahabat.”
Al-Haawi li Al-Ftaawi li as-Suyuthy II/194
ااَلْعَادَةُ اْلجَارِيَةُ فِي بَعْضِ اْلبُلْدَانِ مِنَ اْلإِجْتِمَاعِ فِي اْلمَسْجِدِ لِتِلاَوَةِ اْلقُرْأَنِ عَلَى اْلأَمْوَاتِ.وَكَذَالِكَ فِي اْلبُيُوْتِ وَسَا ئِرِ اْلإِجْتِمَاعَاتِ الَّتِي لَمْ تَرِدْ فِي الشَّرِيْعَةِ ,لاَشَكَّ إِنْ كَانَتْ خَالِيَةً عَنْ مَعْصِيَةٍ سَلِيْمَةٍ مِنَ اْلمُنْكَرَاتِ فَهِيَ جَائِزَةٌ لِاَءنَّ اْلإِجْتِمَاعَ لَيْسَ بِمُحَرَّمٍ بِنَفْسِهِ لاَسِيَمَا إِذَا كَا نَ لِتَحْصِيْلِ طَاعَةٍ كَالتِّلاَوَةِ وَنَحْوِهَا وَلاَ يُقْدَحُ فِي ذَلِكَ كَوْنُ تِلْكَ التِّلاَوَةِ مَجْعُوْلَةً لِلْمَيِّتِ فَقَدْ وَرَدَ جِنْسُ التِّلاَوَةِ مِنَ اْلجَمَاعَةِ اْلمُجْتَمِعِيْنَ كَمَافِي حَدِيْثِ إِقْرَؤُوْا “يَس” عَلَى مَوْتَاكُمْ وَهُوَ حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ وَلاَ فَرَقَ بَيْنَ تِلاَوَةِ “يس” مِنَ اْلجَمَاعَةِ الحَاضِرِيْنَ عِنْدَ اْلمَيِّتِ أَوْ عَلَى قَبْرِهِ وَبَيْنَ تِلاَوَةِ جَمِيْعِ اْلقُرْآنِ أَوْ بَعْضِهِ لِمَيِّتٍ فِي مَسْجِدِهِ أَوْ بَيْتِهِ ( الرسائل السلفية: ۴۶)
“Kebiasaan di sebagian negara mengenai perkumpulan atau pertemuan di Masjid, rumah, di atas kubur, untuk membaca Al-Qur’an yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia, tidak diragukan lagi hukumnya boleh (jaiz) jika didalamnya tidak terdapat kemaksiatan dan kemungkaran, meskipun tidak ada penjelasan (secara dzahir) dari syari’at. Kegiatan melaksanakan perkumpulan itu pada dasarnya bukanlah sesuatu yang haram (muharram fi nafsih), apalagi jika di dalamnya diisi dengan kegiatan yang dapat menghasilkan ibadah seperti membaca Al-Qur’an atau lainnya. Dan tidaklah tercela menghadiahkan pahala membaca Al-Qur’an atau lainnya kepada orang yang telah meninggal dunia. Bahkan ada beberapa jenis bacaan yang didasarkan pada hadits shahih seperti إقرؤوا “يس” على موتاكم (bacalah surat Yasin kepada orang mati di antara kamu). Tidak ada bedanya apakah pembacaan Surat Yasin tersebut dilakukan bersama-sama di dekat mayit atau di atas kuburannya, dan membaca Al-Qur’an secara keseluruhan atau sebagian, baik dilakukan di Masjid atau di rumah.”
Al-Rasa’il Al-Salafiyah Hal 46
=====================
Orang-orang yang tidak setuju dengan ritual TAHILAN mendasarkan argumennya dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lainnya dari Shahabat Jarir ibn Abdillah al Bajali, beliau berkata:
كُنَّا نَعُدُّ الْاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَهُمُ الطَّعَامَ مِنَ النِّيَاحَةِ
“Kami menilai berkumpulnya banyak orang di rumah keluarga mayit, demikian pula aktivitas keluarga mayit membuatkan makanan adalah bagian dari niyahah (meratapi jenazah)”.
Validkah riwayat tersebut ?
Berikut matan dan sanadnya sebagaimana dalam Sunan Ibn Majah:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى قَالَ حَدَّثَنَا سَعِيْدُ بْنُ مَنْصُوْرٍ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ ح وَحَدَّثَنَا شُجَاعُ بْنُ مَخْلَدٍ أَبُوْ الْفَضْلِ قَالَ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ عَنْ إِسْمَاعِيْلَ بْنِ أَبِىْ خَالِدٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِىْ حَازِمٍ عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِىِّ قَالَ كُنَّا نَرَى الْاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ.
Sumber:
Sunan Ibn Maajah 5/176 hadits nomor 1680
Link Kitab:
http://islamport.com/d/1/mtn/1/49/1588.html
Keterangan:
Dalam hadits diatas ada rawi yang bernama:
هشيم Husyaim (bin Basyiir)
Siapakah beliau ?
Ibnu Sa'ad dalam kitab Ath Thabaqat juz 7 halaman 313 berkata:
كَانَ ثِقَةً كَثِيْرَ الْحَدِيْثِ ثَبَتًا يُدَلِّسُ كَثِيْرًا ، فَمَا قَالَ فِيْ حَدِيْثِهِ أَخْبَرَنَا فَهُوَ حُجَّةٌ وَمَا لَمَ ُيْقل فِيْهِ أَخْبَرَنَا فَلَيْسَ بِشَيْءٍ
Dia (Husyaim) adalah tsiqat (terpercaya), tsabat (jujur) Dia banyak mentadlis. Jika yang ia katakan dalam haditsnya "AKHBARANAA" maka ia merupakah hujjah, jika tidak, maka itu bukan apa-apa."
Sumber: اَلْكِتَابُ : اَلطَّبَقَاتُ الْكُبْرَى اَلْمُؤَلِّفُ : مُحَمَّدُ بْنُ سَعْدِ بْنِ منيْعٍ أَبُوْ عَبْدِاللهِ الْبَصْرِيِّ الزُّهْرِيِّ الناشر : دار صادر – بيروت Link Kitab:
http://islamport.com/d/1/trj/1/60/931.html
Berikut komentar Imam Ahmad tentang riwayat tersebut diatas sebagaimana dalam kitab “MASAA`IL AL IMAM AHMAD’’ halaman 388, nomor masalah 1867 :
قَالَ أَبُوْ دَاوَدَ : ذَكَرْتُ لِأَحْمَدَ حَدِيْثَ هُشَيْمٍ عَنْ إِسْمَاعِيْلَ عَنْ قَيْسٍ عَنْ جَرِيْرٍ : ( كُنَّا نَعُدُّ الْاِجْتِمَاعَ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ لَهُمْ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ ) زَعَمُوْا أَنَّهُ سَمِعَهُ مِنْ شَرِيْكٍ . قَالَ أَحْمَدُ : وَمَا أُرَى لِهَذَا الْحَدِيْثِ أَصْلٌ
Imam Abu Dawud berkata: “ Aku menuturkan kepada Imam Ahmad hadits Husyaim dari Ismaa’il dari Qays dari Jarir:
كُنَّا نَعُدُّ الْاِجْتِمَاعَ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ لَهُمْ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ
Mereka menyangka bahwa dia mendengarnya dari Syariik, (maka) Imam Ahmad berkata: “ Aku tidak mengerti hadits ini mempunyai asal.” Sumber Kitab: Masaa`il al Imam Ahmad, Maktabah Ibn Taimiyyah, cetakan I tahun 1999 m – 1420 H
Sumber Link:
http://www.islamweb.net/hadith//display_hbook.php?indexstartno=0&hflag&pid=46523&bk_no=185&startno=211
Sumber downlad Kitab:
http://arablib.com/harf?view=book&lid=6&rand1=enJtR0FAJjFeRiQ2&rand2=MHkxViNFZUE0Q3o5
Sebagai penutup saya kutipkan fatwa dari Syeikh Bin Baz tentang makan-makan di tempat takziah:
وَقَالَ الشَّيْخُ عَبْدُالْعَزِيْزِ بْنُ بَازٍ ( ت 1420هـ) ـ رحمه الله تعالى ـ عِنْدَمَا سُئِلَ عَنْ جُلُوْسِ أَهْلِ الْمَيِّتِ لِاسْتِقْبَالِ الْمُعَزِّيْنَ وَاجْتِمَاعِهِمْ لِذَلِكَ. قَالَ ـ رحمه الله تعالى ـ:( لَا أَعْلَمُ بَأْسًا فِيْمَنْ نَزَلَتْ بِهِ مُصِيْبَةٌ بِمَوْتِ قَرِيْبٍ، أَوْ زَوْجَةِ، وَنَحْوِ ذَلِكَ أَنْ يَسْتَقْبِلَ الْمُعَزِّيْنَ فِيْ بَيْتِهِ فِي الْوَقْتِ الْمُنَاسِبِ، لِأَنَّ التَّعْزِيَةَ سُنَّةٌ، وَاسْتِقْبَالَ الْمُعَزِّيْنَ مِمَّا يُعِيْنُهُمْ عَلَى أَدَاءِ السُّنَّةِ؛ وَإِذَا أَكْرْمَهُمْ بِالْقَهْوَةِ، أَوِ الشَّايِ، أَوِ الطّيبِ، فَكُلُّ ذَلِكَ حَسَنٌ
Berkata Syeikh Abdul Aziz Ibn Baaz (wafat tahun 1420 H) ketika ditanya tentang duduknya keluarga mayit menemui orang-orang bertakziah. Beliau menjawab: “Tidak apa-apa bagi orang yang tertimpa musibah dengan kematian kerabatnya, istrinya dan sebagainya untuk menemui orang bertakziah dirumahnya pada waktu yang pantas. Karena takziah hukumnya sunnah, menemui orang bertakziah termasuk menolong mereka dalam menjalankan sunnah. Dan jika mereka disuguhi kopi, teh dan (makanan) yang enak maka itu semuanya adalah bagus.
sumber: http://www.kl28.com/knol2/?p=view&post=135121&page=2
Hadits riwayat Imam Ibnu Majah diatas juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya juz II halaman 204, hadits nomor 6905 Berikut sanad dan matannya:
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا نصر بن باب عن إسماعيل عن قيس عن جرير بن عبد الله البجلي قال : كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنيعه الطعام بعد دفنه من النياحة
Catatan:
Dalam riwayat diatas ada rawi yang bernama Nashr ibn Baab Berikut terjemahannya sebagaimana dalam kitab Taarikh Baghdaad juz XIII halaman 280 karya al Hafizh al Khathib al Baghdadi:
قال البخاري نصر بن باب كان بنيسابور يرمونه بالكذب أخبرنا البرقاني حدثنا يعقوب بن موسى الأردبيلي حدثنا احمد بن طاهر بن النجم الميانجي حدثنا سعيد بن عمرو البرذعي قال سمعت أبا زرعة يقول نصر بن باب لا ينبغي أن يحدث عنه أخبرنا العتيقي محمد بن عدي البصري في كتابه حدثنا أبو عبيد محمد بن علي قال سألت أبا داود عن نصر بن باب فوهاه جدا أخبرنا البرقاني أخبرنا احمد بن سعيد بن سعد حدثنا عبد الكريم بن احمد بن شعيب النسائي حدثنا أبي قال نصر بن باب متروك الحديث وأخبرني البرقاني حدثني محمد بن احمد بن محمد الادمي حدثنا محمد بن علي الأيادي حدثنا زكريا بن يحيى الساجي قال نصر بن باب خراساني سمعت سلمة بن شبيب يحدث عنه بمناكير وقال يحيى بن معين ليس هو بشيء
Sumber link: http://islamport.com/d/1/trj/1/108/1613.html
Dari uraian diatas jelaslah sudah bahwa amalan tahlilan yang sebagian dilakukan oleh golongan NU bukanlah tersebut perbuatan Harom apa lagi bud'ah dan perbuatan tersebut berlandaskan dalil dan para Ulama membolehkannya dan jangan terpengaruh pada ajaran yang datang setelah ulama empat Madzhab karena tidak ada sesudah ulama para madzhab yang slevel dengan mereka baik dalam ha ilmu, ibadah, akhlak dan sebagainya.
Wallahu A'lamu Bis Showaab
LINK ASAL:
https://www.facebook.com/groups/asawaja/permalink/1123059597742024/
Dokumen FB:
https://www.facebook.com/notes/diskusi-hukum-fiqih-berdasarkan-empat-madzhab/0116-amaliyah-hukum-tahlilan-menurut-perspektif-fiqih/1123609307687053/
PERTANYAAN
> Abdullah Al-Jamal
Assalamu'alaikum
Pak Kyai tolong terangkan sejelas-jelas permasalahan mengenai tahlilan yang sudah mengakar di masyarakat sejak dulu sampai sekarang dilakukan khususnya daerah saya.
Dulu orang-orang pada melakukannya dan tidak ada seorangpun yang melarangnya termasuk ustadz-ustadz, kyai, bahkan mereka ikut serta. Tapi, sekarang sudah banyak yang membid'ahkan hal tersebut. Saya mohon dijelaskan beserta dalil-dalilnya.
Atas jawabannya saya ucapkan terima kasih.
JAWABAN
> Ismidar Abdurrahman As-Sanusi
Wa'alaikumussalam
Tahlilan atau istilah lainnya selamatan kematian dari 3, hari, 7 hari, 20, 40, 100 dan sebagainya. Dimana tradisi ini sudah berlaku dari sejak dahulu hingga sekarang yang di dalamnya diisi dengan membaca dzikir-dzikir, tahlil, membaca alQuran, menghidangkan makanan untuk para undangan yang kesemuanya bertujuan untuk menghadiahkan pahalanya kepada orang yang telah meninggal.
Tradisi tahlilan tersebut bukan hanya ada di daerah saya (RIAU) tapi di tempat lain pun sudah marak dilakukan sejak dahulu hingga sekarang. Perbuatan ini dari dulu memang tidak dipermasalahkan disamping hal tersebut dengan tujuan baik yaitu dalam rangka menghadiahkan pahalanya untuk ahli mayit bahkan para ustadz dan kyai pun kalau ditempat saya ikut serta dalam acara tersebut dan ustadz pun memimpin acara selamatan tersebut dari membaca fatihah sampai berdoa. Namun sekarang saking banyaknya suatu ormas atau aliran yang berusa menyesatkan umat Islam menganggap perbuatan tersebut sebagai perbuatan bid'ah yang Harom yang sama sekali tidak dibenarkan dalam agama Islam karena menurut mereka tradisi selamatan tersebut tidak ada dalilnya dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi, para Sahabat dan Shalafus shaleh.
Sebenarnya dalam tradisi Tahlilan dalam segi hukumnya diperbolehkan bahkan hukumnya Sunnah apalagi di dalamnya dilantunkan aneka-aneka dzikir, tahlil, membaca alQuran dan kesemuanya untuk mayit. Tidak disangsikan lagi setiap amaliyyah untuk dihadiahkan untuk mayit diperbolehkan. Banyak sekali dalil dari Alquran maupun hadits yang menjadi dasar diperbolehkannya acara tahlilan tersebut jika kita mau membuka fikiran untuk menerima kebaikan. Bagi orang yang menganggapnya bid'ah sebenarnya mereka belum menguasai semua dalil, membaca satu buku menemukan satu hadits, kemudian dibuku lain ketemu hadits yang lain seakan bertentangan mereka tinggalkan yang ini, maka orang seperti ini tidak layak untuk diikuti karena plin-plan dalam memahami suatu nash, lagi pula yang memandang tradisi tahlilan ini sebagai bid'ah karena mereka menolak adanya bid'ah Hasanah, padahal tidak semua bid'ah itu sesat.
DALIL-DALIL TAHLILAN
وَ إسْتََغْفِرْ لِذَ نْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ (محمد:۱۹)
“Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan”. (Muhammad:19)
فِيْ مَعْنَي اْلَآيَةِ إِسْتَغْفِرْ لِذَ نْبِكَ أَيْ لِذًنُوْبِ أَهْلِ بَيْتِكَ ( وللمؤمنين والمؤمنات) يَعْنِيْ مِنْ غَيْرِ أَهْلِ بَيْتِكَ وَهَذَا إِكْرَامٌ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ لِهَذِهِ اْلأًمَّةِ حَيْثُ أَمَرَ نَبِيَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلمَ أَنْ يَسْتَغْفِرَلِذُنُوْبِهِمْ وَهُوَ الشَّفِيْعُ اْلمُجَابُ فِيْهِمْ(تفسير الخازن,ج: ۶,ص:۱۸۰)
“Makna ayat إستغفر لذنبكadalah mohonlah ampunan bagi dosa-dosa keluargamu dan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan,a rtinya selain keluargamu. Ini adalah penghormatan dari Allah ‘Azza wa Jalla kepada umat Muhammad, dimana Dia memerintahkan Nabi-Nya untuk memohonkan ampun bagi dosa-dosa mereka, sedangkan Nabi SAW adalah orang yang dapat memberikan syafa’at dan do’anya diterima” (Tafsir Al-Khazin, Juz VI, hal 180)
وَالَّذِيْنَ جَاؤُا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْلَنَا وَلِإحْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًا لِلَّذِيْنَ أَمَنُوْا رَبنَا إِنَّكَ رَؤوْفٌ رَحِيْمٌ ( الحسر:۱۰ )
“Dan orang-orang yang beriman, serta anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya” (QS. Al-Hasyr: 10)
يَعْنِيْ أَلْحَقْنَا إَوْلَادَهُمْ الصِّغَارَ وَاْلكِبَارَ بِإِيْمَا نِهِمْ وَاْلكِبَارُ بِإِيْمَا نِهِمْ بِأَنْفُسِهِمْ وَالصِّغَارُ بِإِيمَا نِ آبَائِهِمْ فَأِنَّ الوَلَدَ الصَّغِيْرَ يُحْكَمُ بِإِسْلَامِهِ تَبْعًا لِأَحَدِ أَبَوَيْهِ ( أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّاتِهِمْ ) يَعْنِيْ المُؤْمِنِيْنَ فِي اْلجَنَّةِ بِدَرَجَاتِ آبَائِهِمْ وَإِنْ لَمْ يَبْلُغُوْا بِاَعْمَالِهِمْ دَرَجَاتِ آبَائِهِمْ تَكْرِمَةً لِاَبَائِهِمْ لِتَقَرّ َاَعْيُنُهُمْ هَذِهِ رِوَايَةً عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ( تفسير الخازن,ج:۶, ص: ۲۵۰)
“Artinya Kami menyamakan anak-anak mereka yang kecil dan yang dewasa dengan keimanan orang tua mereka. Yang dewasa dengan keimanan mereka sendiri, sementara yang kecil dengan keimanan orang tuanya. Keislaman seorang anak yang masih kecil diikutkan pada salah satu dari kedua orang tuanya. (Kami menyamakan kepada mereka keturunan mereka) artinya menyamakan orang-orang mukmin di surga sesuai dengan derajat orang tua mereka, meskipun amal-amal mereka tidak sampai pada derajat amal orang tua mereka. Hal itu sebagai penghormatan kepada orang tua mereka agar mereka senang. Keterangan ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA.” (Tafsir Al-Khazin, Juz VI, hal 250)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلاَءِ أَخْبَرَنَا ابْنُ إِدْرِيسَ أَخْبَرَنَا عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ رَجُلٍ مِنْ اْلأَنْصَارِ قَالَخَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَنَازَةٍ فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوصِي الْحَافِرَ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيْهِ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَةٍ فَجَاءَ وَجِيءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ ثُمَّ وَضَعَ الْقَوْمُ فَأَكَلُوا فَنَظَرَ آبَاؤُنَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلُوكُ لُقْمَةً فِي فَمِهِ ثُمَّ قَالَ أَجِدُ لَحْمَ شَاةٍ أُخِذَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ أَهْلِهَا فَأَرْسَلَتْ الْمَرْأَةُ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أَرْسَلْتُ إِلَى الْبَقِيعِ يَشْتَرِي لِي شَاةً فَلَمْ أَجِدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى جَارٍ لِي قَدْ اشْتَرَى شَاةً أَنْ أَرْسِلْ إِلَيَّ بِهَا بِثَمَنِهَا فَلَمْ يُوجَدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى امْرَأَتِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيَّ بِهَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَطْعِمِيهِ اْلأُسَارَى
“Muhammad bin al-‘Ala’ menceritakan dari (Abdullah) bin Idris dari ‘Ashim bin Kulaib dari ayahnya (Kulaib) dari seorang laki-laki Anshar (shahabat), berkata: ‘Aku keluar bersama Rasulallah berta’ziyah ke salah satu jenazah. Selanjutnya aku melihat Rasulallah di atas kubur berpesan kepada penggali kubur (dengan berkata): ‘Lebarkanlah bagian arah kedua kaki dan lebarkan pula bagian arah kepala!’ Setelah Rasulallah hendak kembali pulang, tiba-tiba seseorang yang menjadi pesuruh wanita (istri mayit) menemui beliau, mengundangnya (untuk datang ke rumah wanita tersebut). Lalu Rasulallah pun datang dan diberi hidangan suguhan makanan. Kemudian Rasulallah pun mengambil makanan tersebut yang juga diikuti oleh para shahabat lain dan memakannya. Ayah-ayah kami melihat Rasulallah mengunyah sesuap makanan di mulut beliau, kemudian Rasulallah berkata: ’Aku merasa menemukan daging kambing yang diambil dengan tanpa izin pemiliknya?!’ Kemudian wanita itu berkata: ’Wahai Rasulallah, sesungguhnya aku telah menyuruh untuk membeli kambing di Baqi,[1] tapi tidak menemukannya, kemudian aku mengutus untuk membeli dari tetangga laki-laki kami dengan uang seharga (kambing tersebut) untuk dikirimkan kepada saya, tapi dia tidak ada dan kemudian saya mengutus untuk membeli dari istrinya dengan uang seharga kambing tersebut lalu oleh dia dikirimkan kepada saya.’ Rasulallah kemudian menjawab: ’Berikanlah makanan ini kepada para tawanan!’”
(HR.Abu Dawud)
قَالَ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ لَهُ حَدَّثَنَا هَاشِمٌ بْنُ اْلقَاسِمِ قَالَ ثَنَا اْلأَشْجَعِي عَنْ سُفْيَانَ قَالَ قَالَ طَاوُوسُ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعِمُوا عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامَ
قَالَ الْحَافِظُ أَبُو نُعَيْمٍ فِي الْحِلْيَةِ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ بْنِ مَالِكٍ ثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ أَحْمَدَ ابْنُ حَنْبَلَ ثَنَا أُبَيُّ ثَنَا هَاشِمٌ بْنُ الْقَاسِمِ ثَنَا اْلأَشْجَعِي عَنْ سُفْيَانَ قَالَ قاَلَ طَاوُوسُ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامَ
ذِكْرُ الرِّوَايَةِ الْمُسْنَدَةِ عَنْ عُبَيْدٍ بْنِ عُمَيْرٍ: قاَلَ ابْنُ جُرَيْجٍ فِي مَصَنَّفِهِ عَنِ الْحَارِثِ ابْنِ أَبِي الْحَارِثِ عَنْ عُبَيْدٍ بْنِ عُمَيْرٍ قَالَ يُفْتَنُ رَجُلاَنِ مُؤْمِنٌ وَمُنَافِقٌ فَأَمَّا الْمُؤْمِنُ فَيُفْتَنُ سَبْعًا
“Imam Ahmad dalam az-Zuhd berkata: ‘Hasyim bin Qasim bercerita kepadaku dari al-Asyja‘i dari Sufyan dari Thawus, dia berkata: Sesungguhnya mayit di dalam kuburnya terfitnah (ditanyai Malaikat Munkar dan Nakir) selama 7 hari. Dan mereka menganjurkan supaya membuat (walimahan) dengan memberi makan (orang-orang), (yang pahalanya dihadiahkan) untuk si mayit tersebut di hari-hari tersebut
(HR.Ahmad)
Dalam kitab al-Hawi li-Al-Fatawi li as-syuyuti, Juz II, hlm 183
قَالَ طَاوُسِ: اِنَّ اْلمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِىْ قُبُوْرِهِمْ سَْعًا فَكَانُوْا يُسْتَحَبُّوْنَ أَنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ تِلْكَ اْلاَيَّامِ-اِلَى اَنْ قَالَ-عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرِ قَالَ: يُفْتَنُ رَجُلَانِ مُؤْمِنٍ وَمُنَافِقٍ فَأَمَّا اْلمُؤْمِنُ فَيُفْتَنُ سَبْعًا وَاَمَّا الْمُنَافِقُ يُفْتَنُ اَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا.
Imam Thawus berkata : seorang yang mati akan beroleh ujian dari Alloh dalam kuburnya selama tujuh hari. Untuk itu, sebaiknya mereka (yang masih hidup) mengadakan sebuah jamuan makan (sedekah) untuknya selama hari-hari tersebut. Sampai kata-kata: dari sahabat Ubaid Ibn Umair, dia berkata: seorang mu’min dan seorang munafiq sama-sama akan mengalami ujian dalam kubur. Bagi seorang mu’min akan beroleh ujian selama 7 hari, sedang seorang munafik selama 40 hari diwaktu pagi.
Dalil diatas adalah sebuah atsar yang menurut Imam As-Syuyuty derajatnya sama dengan hadis marfu’ Mursal maka dapat dijadikan hujjah makna penjelasannya:
اِنَّ أَثَرَ طَاوُسَ حُكْمُهُ حُكْمُ اْلحَدِيْثِ الْمَرْفُوْعِ اْلمُرْسَلِ وَاِسْنَادُهُ اِلَى التَّابِعِى صَحِيْحٌ كَانَ حُجَّةً عِنْدَ اْلاَئِمَّةِ الثَّلَاثَةِ اَبِي حَنِيْفَةَ وَمَالِكٍ وَاَحْمَدَ مُطْلَقًا مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ وَاَمَّا عِنْدَ الشَّافِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَاِنَّهُ يَحْتَجُ بِاْلمُرْسَلِ اِذَا اعْتَضَدَ بِاَحَدِ أُمُوْرٍ مُقَرَّرَةٍ فِى مَحَلِهَا فِيْهَا مَجِيْئِ آخَرَ اَوْ صَحَابِيِّ يُوَافِقُهُ وَالْاِعْتِضَادِ هَهُنَا مَوْجُوْدٌ فَاِنَّهُ رُوِيَ مِثْلُهُ عَنْ مُجَاهْدِ وَعَْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرِ وَهُمَا تَابِعِيَانِ اِنْ لَمْ يَكُنْ عُبَيْدٌ صَحَابِيًا.
Jka sudah jadi keputusan, atsar (amal sahabat Thawus) diatas hukumnya sama dengan hadist Marfu’ Mursal dan sanadnya sampai pada tabi’in itu shahih dan telah dijadikan hujjah yang mutlak(tanpa syarat) bagi tiga Imam (Maliki, Hanafi, Hambali). Untuk Imam as-Syafi’i ia mau berhujjah dengan hadis mursal jika dibantu atau dilengkapi dengan salah satu ketetapan yang terkait dengannya, seperti adanya hadis yang lain atau kesepakatan Shahabat. Dan, kelengkapan yang dikehendaki Imam as-Syafi’i itu ada, yaitu hadis serupa riwayat dari Mujahid dan dari ubaid bin Umair yang keduanya dari golongan tabi’in, meski mereka berdua bukan sahabat.
Lebih jauh, Imam al-Syuyuti menilai hal tersebut merupakan perbuatan sunah yang telah dilakukan secara turun temurun sejak masa sahabat. Kesunnahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku hingga sekarang (zaman imam as-Syuyuti, abad x Hijriyah) di mekah dan Madinah. Yang jelas, kebiasaan itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi Muhammad SAW sampai sekarang ini, dan tradisi itu diambil dari Ulama Salaf sejak generasi pertama (masa Sahabat Nabi Muhammad SAW).”
Selanjutnya dalam Hujjah Ahlussunnh Wal jama’ah, juz 1 hlm. 37 dikatakan:
قَوْلُهُ-كَانُوْا يُسْتَحَبُّوْنَ-مِنْ بَابِ قَوْلِ التَّابِعِي كَانُوْا يَفْعَلُوْنَ-وَفِيْهِ قَوْلَانِ لِاَهْلِ الْحَدِيْثِ وَاْلاُصُوْلِ أَحَدُهُمَا اَنَّهُ اَيْضًا مِنْ بَابِ اْلمَرْفُوْعِ وَأَنَّ مَعْنَاهُ: كَانَ النَّاسُ يَفْعَلُوْنَ فِى عَهْدِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَعْلَمُ بِهِ وَيُقِرُّ عَلَيْهِ.
(Kata-kata Imam thawus) pada bab tentang kata-kata Tabi’in, mereka melaksanakannya. Dalam hal ini ada dua pendapat: pendapat ahli Hadis dan Ahli Ushul yang salah satunya termasuk hadis Marfu’ maksudnya orang-orang dizaman Nabi melaksanakan hal itu, Nabi sendiri tahu dan menyetujuinya.
Dalam kitab Nihayah al-Zain, Juz I, halaman 281 juga disebutkan:
وَالتَّصَدُّقُ عَنِ اْلمَيِّتِ بِوَجْهٍ شَرْعِيٍّ مَطْلُوْبٌ وَلَا يُتَقَيَّدُ بِكَوْنِهِ فِيْ سَبْعَةِ اَيَّامٍ اَوْ اَكْثَرَ اَوْ اَقَلَّ وَتَقْيِيْدُهُ بِبَعْضِ اْلاَيَّامِ مِنَ اْلعَوَائِدِ فَقَطْ كَمَا اَفْتَى بِذَلِكَ السَّيِّدِ اَحْمَدء دَحْلَانِ وَقَدْ جَرَتْ عَادَةُ النَّاسِ بِالتَّصَدُّقِ عَنِ اْلمَيِّتِ فِي ثَالِثٍ مِنْ مَوْتِهِ وَفِي سَابِعٍ وَفِيْ تَمَامِ اْلعِشْرِيْنَ وَفِي اْلاَرْبَعِيْنَ وَفِي الِمأَةِ وَبِذَلِكَ يُفْعَلُ كُلَّ سَنَةٍ حَوْلًا فِي اْلمَوْتِ كَمَا اَفَادَهُ شَيْخَنَا يُوْسُفُ السُنْبُلَاوِيْنِيْ.
Di anjurkan oleh syara’ shodaqoh bagi mayit,dan shodaqoh itu tidak di tentukan pada hari ke tujuh sebelumnya maupun sesudahnya.sesungguhnya pelaksanaan shodaqoh pada hari-hari tertentu itu cuma sebagai kebiasaan (adat) saja,sebagaimana fatwa Sayid Akhmad Dahlan yang mengatakan ”Sungguh telah berlaku dimasyarakat adanya kebiasaan bersedekah untuk mayit pada hari ketiga dari kematian, hari ketujuh, dua puluh, dan ketika genap empat puluh hari serta seratus hari. Setelah itu dilakukan setiap tahun pada hari kematiannya. Sebagaimana disampaikan oleh Syaikh Yusuf Al-Sumbulawini. Adapun istilah 7 “tujuh hari” dalam acara tahlil bagi orang yang sudah meninggal, hal ini sesuai dengan amal yang dicontohkan sahabat Nabi SAW. Imam Ahmad bin Hanbal RA berkata dalam kitab Al-Zuhd, sebagaimana yang dikutip oleh Imam Suyuthi dalam kitab Al-Hawi li Al-Fatawi:
حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ اْلقَاسِمِ قَالَ حَدَّثَنَا اْلأَشْجَعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ قَالَ: قَالَ طَاوُسُ: إِنَّ اْلمَوْتَ يُفْتَنُوْنَ فِي قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامِ (الحاوي للفتاوي,ج:۲,ص:۱۷۸)
“Hasyim bin Al-Qasim meriwayatkan kepada kami, ia berkata, “Al-Asyja’i meriwayatkan kepada kami dari Sufyan, ia berkata, “Imam Thawus berkata, “Orang yang meninggal dunia diuji selama tujuh hari di dalam kubur mereka, maka kemudian para kalangan salaf mensunnahkan bersedekah makanan untuk orang yang meninggal dunia selama tujuh hari itu” (Al-Hawi li Al-Fatawi, juz II, hal 178)
Imam Al-Suyuthi berkata:
أَنَّ سُنَّةَ اْلإِطْعَامِ سَبْعَةَ أَيَّامٍ بَلَغَنِي أَنَّهَا مُسْتَمِرَّةٌ إِلَى اءلآنَ بِمَكَّةَ وَاْلمَدِيْنَةَ فَالظَّاهِرُ أَنَّهَا لمَ ْتَتْرُكْ مِنْ عَهْدِ الصَّحَابَةِ إِلَى اْلآنَ وَأَنَّهُمْ أَخَذُوْهَا خَلَفًا عَنْ سَلَفٍ إِلَى الصَّدْرِ اْلأَوَّلِ (الحاوي للفتاوي,ج:۲,ص:۱۹۴)
"Kebiasaan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan kebiasaan yang tetap berlaku hingga sekarang (zaman imam Suyuthi, sekitar abad IX Hijriah) di Makkah dan Madinah. Yang jelas, kebiasaan itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi SAW sampai sekarang ini, dan tradisi itu diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama (masa sahabat SAW)” (Al-Hawi li Al-Fatawi, juz II, hal 194)
وَأَمَّا مَا يَصْنَعُهُ أَقَارِبُ الْمَيِّتِ مِنْ الطَّعَامِ وَجَمْعِ النَّاسِ عَلَيْهِ فَإِنْ كَانَ لِقِرَاءَةِ قُرْآنٍ وَنَحْوِهَا مِمَّا يُرْجَى خَيْرُهُ لِلْمَيِّتِ فَلَا بَأْسَ بِهِ ، وَأَمَّا لِغَيْرِ ذَلِكَ فَيُكْرَهُ ، وَلَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ الْأَكْلُ مِنْهُ إلَّا أَنْ يَكُونَ الَّذِي صَنَعَهُ مِنْ الْوَرَثَةِ بَالِغًا رَشِيدًا فَلَا حَرَجَ فِي الْأَكْلِ مِنْهُ ، وَأَمَّا لَوْ كَانَ الْمَيِّتُ أَوْصَى بِفِعْلِهِ عِنْدَ مَوْتِهِ فَإِنَّهُ يَكُونُ فِي ثُلُثِهِ وَيَجِبُ تَنْفِيذُهُ عَمَلًا بِفَرْضِهِ
Adapun menghidangkan makanan yang dilakukan oleh kerabat mayit dan mengumpulkan orang-orang dalam acara tersebut, jika dengan maksud untuk membaca al Quran dan sebagainya yang mana diharapkan kebaikannya bagi si mayit, maka hal itu tidak apa-apa.
Namun jika tujuannya bukan untuk hal tersebut, maka hukumnya makruh, dan tidak seyogyanya bagi seseorang untuk memakan hidangan tersebut...dst.
al-Fawakih ad-Dawaany I/285
قَالَ طَاوُسَ: إنَّ الْمَوْتَى يُفْتِنُوْنَ فِي قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ تَلْكَ اْلأيّاَمِ إلَى أنْ قَالَ عَنْ عُبَيْدِ ابْنِ عُمَيْرِ قَالَ: يُفْتِنُ رَجُلانِ مُؤمِنٌ وَمُنَافِقٌ فَأمَّا الْمُؤمِنُ فَيُفْتِنُ سَبْعًا وَأمَّا الْمُناَفِقُ فَيُفْتِنُ أرْبَعِيْنَ صَبَاحًا
Imam Thawus berkata: Seorang yang mati akan beroleh ujian dari Allah dalam kuburnya selama 7 hari. Untuk itu, sebaiknya mereka (yang masih hidup) mengadakan jamuan makan (sedekah) untuknya selama hari-hari tersebut. Sahabat Ubaid ibn Umair berkata: “Seorang mukmin dan seorang munafiq sama-sama akan mengalami ujian dalam kubur. Bagi seorang mukmin akan beroleh ujian selam 7 hari, sedang seorang munafiq selama 40 hari di waktu pagi.”
Al-Hawi li al-Fataawa as-Suyuthy II/178
ان سنة الاطعام سبعة أيام بلغنى أنهامستمر الى الأن بمكة و المدينة فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة الى الأن و انهم أخذوها خلفا عن سلف الى الصدر الأول
“Sesungguhnya, kesunnahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku sampai sekarang (yaitu masa Imam Suyuthi abad ke-9 H) di Mekkah dan Madinah. Yang jelas kebiasaan tersebut tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat sampai sekarang, dan tradisi tersebut diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama, yaitu sahabat.”
Al-Haawi li Al-Ftaawi li as-Suyuthy II/194
ااَلْعَادَةُ اْلجَارِيَةُ فِي بَعْضِ اْلبُلْدَانِ مِنَ اْلإِجْتِمَاعِ فِي اْلمَسْجِدِ لِتِلاَوَةِ اْلقُرْأَنِ عَلَى اْلأَمْوَاتِ.وَكَذَالِكَ فِي اْلبُيُوْتِ وَسَا ئِرِ اْلإِجْتِمَاعَاتِ الَّتِي لَمْ تَرِدْ فِي الشَّرِيْعَةِ ,لاَشَكَّ إِنْ كَانَتْ خَالِيَةً عَنْ مَعْصِيَةٍ سَلِيْمَةٍ مِنَ اْلمُنْكَرَاتِ فَهِيَ جَائِزَةٌ لِاَءنَّ اْلإِجْتِمَاعَ لَيْسَ بِمُحَرَّمٍ بِنَفْسِهِ لاَسِيَمَا إِذَا كَا نَ لِتَحْصِيْلِ طَاعَةٍ كَالتِّلاَوَةِ وَنَحْوِهَا وَلاَ يُقْدَحُ فِي ذَلِكَ كَوْنُ تِلْكَ التِّلاَوَةِ مَجْعُوْلَةً لِلْمَيِّتِ فَقَدْ وَرَدَ جِنْسُ التِّلاَوَةِ مِنَ اْلجَمَاعَةِ اْلمُجْتَمِعِيْنَ كَمَافِي حَدِيْثِ إِقْرَؤُوْا “يَس” عَلَى مَوْتَاكُمْ وَهُوَ حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ وَلاَ فَرَقَ بَيْنَ تِلاَوَةِ “يس” مِنَ اْلجَمَاعَةِ الحَاضِرِيْنَ عِنْدَ اْلمَيِّتِ أَوْ عَلَى قَبْرِهِ وَبَيْنَ تِلاَوَةِ جَمِيْعِ اْلقُرْآنِ أَوْ بَعْضِهِ لِمَيِّتٍ فِي مَسْجِدِهِ أَوْ بَيْتِهِ ( الرسائل السلفية: ۴۶)
“Kebiasaan di sebagian negara mengenai perkumpulan atau pertemuan di Masjid, rumah, di atas kubur, untuk membaca Al-Qur’an yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia, tidak diragukan lagi hukumnya boleh (jaiz) jika didalamnya tidak terdapat kemaksiatan dan kemungkaran, meskipun tidak ada penjelasan (secara dzahir) dari syari’at. Kegiatan melaksanakan perkumpulan itu pada dasarnya bukanlah sesuatu yang haram (muharram fi nafsih), apalagi jika di dalamnya diisi dengan kegiatan yang dapat menghasilkan ibadah seperti membaca Al-Qur’an atau lainnya. Dan tidaklah tercela menghadiahkan pahala membaca Al-Qur’an atau lainnya kepada orang yang telah meninggal dunia. Bahkan ada beberapa jenis bacaan yang didasarkan pada hadits shahih seperti إقرؤوا “يس” على موتاكم (bacalah surat Yasin kepada orang mati di antara kamu). Tidak ada bedanya apakah pembacaan Surat Yasin tersebut dilakukan bersama-sama di dekat mayit atau di atas kuburannya, dan membaca Al-Qur’an secara keseluruhan atau sebagian, baik dilakukan di Masjid atau di rumah.”
Al-Rasa’il Al-Salafiyah Hal 46
=====================
Orang-orang yang tidak setuju dengan ritual TAHILAN mendasarkan argumennya dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lainnya dari Shahabat Jarir ibn Abdillah al Bajali, beliau berkata:
كُنَّا نَعُدُّ الْاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَهُمُ الطَّعَامَ مِنَ النِّيَاحَةِ
“Kami menilai berkumpulnya banyak orang di rumah keluarga mayit, demikian pula aktivitas keluarga mayit membuatkan makanan adalah bagian dari niyahah (meratapi jenazah)”.
Validkah riwayat tersebut ?
Berikut matan dan sanadnya sebagaimana dalam Sunan Ibn Majah:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى قَالَ حَدَّثَنَا سَعِيْدُ بْنُ مَنْصُوْرٍ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ ح وَحَدَّثَنَا شُجَاعُ بْنُ مَخْلَدٍ أَبُوْ الْفَضْلِ قَالَ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ عَنْ إِسْمَاعِيْلَ بْنِ أَبِىْ خَالِدٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِىْ حَازِمٍ عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِىِّ قَالَ كُنَّا نَرَى الْاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ.
Sumber:
Sunan Ibn Maajah 5/176 hadits nomor 1680
Link Kitab:
http://islamport.com/d/1/mtn/1/49/1588.html
Keterangan:
Dalam hadits diatas ada rawi yang bernama:
هشيم Husyaim (bin Basyiir)
Siapakah beliau ?
Ibnu Sa'ad dalam kitab Ath Thabaqat juz 7 halaman 313 berkata:
كَانَ ثِقَةً كَثِيْرَ الْحَدِيْثِ ثَبَتًا يُدَلِّسُ كَثِيْرًا ، فَمَا قَالَ فِيْ حَدِيْثِهِ أَخْبَرَنَا فَهُوَ حُجَّةٌ وَمَا لَمَ ُيْقل فِيْهِ أَخْبَرَنَا فَلَيْسَ بِشَيْءٍ
Dia (Husyaim) adalah tsiqat (terpercaya), tsabat (jujur) Dia banyak mentadlis. Jika yang ia katakan dalam haditsnya "AKHBARANAA" maka ia merupakah hujjah, jika tidak, maka itu bukan apa-apa."
Sumber: اَلْكِتَابُ : اَلطَّبَقَاتُ الْكُبْرَى اَلْمُؤَلِّفُ : مُحَمَّدُ بْنُ سَعْدِ بْنِ منيْعٍ أَبُوْ عَبْدِاللهِ الْبَصْرِيِّ الزُّهْرِيِّ الناشر : دار صادر – بيروت Link Kitab:
http://islamport.com/d/1/trj/1/60/931.html
Berikut komentar Imam Ahmad tentang riwayat tersebut diatas sebagaimana dalam kitab “MASAA`IL AL IMAM AHMAD’’ halaman 388, nomor masalah 1867 :
قَالَ أَبُوْ دَاوَدَ : ذَكَرْتُ لِأَحْمَدَ حَدِيْثَ هُشَيْمٍ عَنْ إِسْمَاعِيْلَ عَنْ قَيْسٍ عَنْ جَرِيْرٍ : ( كُنَّا نَعُدُّ الْاِجْتِمَاعَ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ لَهُمْ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ ) زَعَمُوْا أَنَّهُ سَمِعَهُ مِنْ شَرِيْكٍ . قَالَ أَحْمَدُ : وَمَا أُرَى لِهَذَا الْحَدِيْثِ أَصْلٌ
Imam Abu Dawud berkata: “ Aku menuturkan kepada Imam Ahmad hadits Husyaim dari Ismaa’il dari Qays dari Jarir:
كُنَّا نَعُدُّ الْاِجْتِمَاعَ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ لَهُمْ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ
Mereka menyangka bahwa dia mendengarnya dari Syariik, (maka) Imam Ahmad berkata: “ Aku tidak mengerti hadits ini mempunyai asal.” Sumber Kitab: Masaa`il al Imam Ahmad, Maktabah Ibn Taimiyyah, cetakan I tahun 1999 m – 1420 H
Sumber Link:
http://www.islamweb.net/hadith//display_hbook.php?indexstartno=0&hflag&pid=46523&bk_no=185&startno=211
Sumber downlad Kitab:
http://arablib.com/harf?view=book&lid=6&rand1=enJtR0FAJjFeRiQ2&rand2=MHkxViNFZUE0Q3o5
Sebagai penutup saya kutipkan fatwa dari Syeikh Bin Baz tentang makan-makan di tempat takziah:
وَقَالَ الشَّيْخُ عَبْدُالْعَزِيْزِ بْنُ بَازٍ ( ت 1420هـ) ـ رحمه الله تعالى ـ عِنْدَمَا سُئِلَ عَنْ جُلُوْسِ أَهْلِ الْمَيِّتِ لِاسْتِقْبَالِ الْمُعَزِّيْنَ وَاجْتِمَاعِهِمْ لِذَلِكَ. قَالَ ـ رحمه الله تعالى ـ:( لَا أَعْلَمُ بَأْسًا فِيْمَنْ نَزَلَتْ بِهِ مُصِيْبَةٌ بِمَوْتِ قَرِيْبٍ، أَوْ زَوْجَةِ، وَنَحْوِ ذَلِكَ أَنْ يَسْتَقْبِلَ الْمُعَزِّيْنَ فِيْ بَيْتِهِ فِي الْوَقْتِ الْمُنَاسِبِ، لِأَنَّ التَّعْزِيَةَ سُنَّةٌ، وَاسْتِقْبَالَ الْمُعَزِّيْنَ مِمَّا يُعِيْنُهُمْ عَلَى أَدَاءِ السُّنَّةِ؛ وَإِذَا أَكْرْمَهُمْ بِالْقَهْوَةِ، أَوِ الشَّايِ، أَوِ الطّيبِ، فَكُلُّ ذَلِكَ حَسَنٌ
Berkata Syeikh Abdul Aziz Ibn Baaz (wafat tahun 1420 H) ketika ditanya tentang duduknya keluarga mayit menemui orang-orang bertakziah. Beliau menjawab: “Tidak apa-apa bagi orang yang tertimpa musibah dengan kematian kerabatnya, istrinya dan sebagainya untuk menemui orang bertakziah dirumahnya pada waktu yang pantas. Karena takziah hukumnya sunnah, menemui orang bertakziah termasuk menolong mereka dalam menjalankan sunnah. Dan jika mereka disuguhi kopi, teh dan (makanan) yang enak maka itu semuanya adalah bagus.
sumber: http://www.kl28.com/knol2/?p=view&post=135121&page=2
Hadits riwayat Imam Ibnu Majah diatas juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya juz II halaman 204, hadits nomor 6905 Berikut sanad dan matannya:
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا نصر بن باب عن إسماعيل عن قيس عن جرير بن عبد الله البجلي قال : كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنيعه الطعام بعد دفنه من النياحة
Catatan:
Dalam riwayat diatas ada rawi yang bernama Nashr ibn Baab Berikut terjemahannya sebagaimana dalam kitab Taarikh Baghdaad juz XIII halaman 280 karya al Hafizh al Khathib al Baghdadi:
قال البخاري نصر بن باب كان بنيسابور يرمونه بالكذب أخبرنا البرقاني حدثنا يعقوب بن موسى الأردبيلي حدثنا احمد بن طاهر بن النجم الميانجي حدثنا سعيد بن عمرو البرذعي قال سمعت أبا زرعة يقول نصر بن باب لا ينبغي أن يحدث عنه أخبرنا العتيقي محمد بن عدي البصري في كتابه حدثنا أبو عبيد محمد بن علي قال سألت أبا داود عن نصر بن باب فوهاه جدا أخبرنا البرقاني أخبرنا احمد بن سعيد بن سعد حدثنا عبد الكريم بن احمد بن شعيب النسائي حدثنا أبي قال نصر بن باب متروك الحديث وأخبرني البرقاني حدثني محمد بن احمد بن محمد الادمي حدثنا محمد بن علي الأيادي حدثنا زكريا بن يحيى الساجي قال نصر بن باب خراساني سمعت سلمة بن شبيب يحدث عنه بمناكير وقال يحيى بن معين ليس هو بشيء
Sumber link: http://islamport.com/d/1/trj/1/108/1613.html
Dari uraian diatas jelaslah sudah bahwa amalan tahlilan yang sebagian dilakukan oleh golongan NU bukanlah tersebut perbuatan Harom apa lagi bud'ah dan perbuatan tersebut berlandaskan dalil dan para Ulama membolehkannya dan jangan terpengaruh pada ajaran yang datang setelah ulama empat Madzhab karena tidak ada sesudah ulama para madzhab yang slevel dengan mereka baik dalam ha ilmu, ibadah, akhlak dan sebagainya.
Wallahu A'lamu Bis Showaab
LINK ASAL:
https://www.facebook.com/groups/asawaja/permalink/1123059597742024/
Dokumen FB:
https://www.facebook.com/notes/diskusi-hukum-fiqih-berdasarkan-empat-madzhab/0116-amaliyah-hukum-tahlilan-menurut-perspektif-fiqih/1123609307687053/