ISMIDAR ABDURRAHMAN AS-SANUSI·5 MARET 2017
OLEH : Ismidar Abdurrahman As-Sanusi (Admin)
HUKUM ONANI/MASTURBASI DALAM PANDANGAN EMPAT MADZHAB
Onani/Masturbasi yang dalam bahasa fiqh-nya lebih dikenal dengan istilah al-Istimna`, adalah mengeluarkan air mani tanpa melakukan persetubuhan, baik dilakukan secara haram seperti dengan menggunakan tangannya sendiri ataupun tidak haram seperti dengan menggunakan tangan istrinya. Istimna` ini lebih khusus dari pada istilah Imna` dan Inzal (keluarnya mani) karena terkadang ia bisa dihasilkan dalam keadaan tidak terjaga dan tanpa ada upaya mengeluarkan air mani, sedangkan Istimna` adalah usaha untuk mengeluarkan air mani yang pelakunya mesti dalam keadaan terjaga dengan menggunakan media perantara apa saja. Adapun media perantara untuk melakukan Istimna` adakalanya dengan menggunakan tangan, dengan cara memandang, berfikir (membayangkan/berkhayal), atau dengan cara persentuhan dengan selain area farj (daerah kemaluan) seperti persetubuhan pada selain vagina, dengan menggunakan kedua paha, berpelukan, ciuman, atau dengan selainnya.
Dan hukumnya menurut mayoritas ulama dari empat madzhab (Syafi'iyyah, Malikiyyah, Hanafiyyah dan Hanabilah) adalah haram dengan berdasarkan firman Allah sebagai berikut :
والذين هم لفروجهم حافظون * إلا على أزواجهم أو ما ملكت أيمانهم فإنهم غير ملومين * فمن ابتغى وراء ذلك فأولئك هم العادون
Artinya : "dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas". (QS. al-Mu`minun : 5-7)
Karena perbuatan tersebut disinyalir berkemungkinan menarik pelaku untuk tidak menikah dan memutus benih untuk dapat beranak-pinak, sehingga mayoritas ulama menisbahkan pelaku onani/masturbasi sebagai orang yang telah melampaui batas sebagaimana disinggung dalam ayat tersebut sehubungan menikah adalah sunnah baginya untuk dapat mempunyai keturunan dan menjaganya dari perbuatan yang dilarang syari'at. Akan tetapi perbuatan onani ini tergolong dosa kecil, sehingga barangsiapa yang melakukan onani/masturbasi hendaknya ia dicegah (diberi peringatan ) agar tidak melakukannya lagi, dan apabila mengulanginya maka dia layak untuk di-ta'zir (dikenai sangsi).
Pendapat Ulama Lintas Madzhab Tentang Onani/Masturbasi
- Malikiyyah
Dalam madzhab ini onani hukumnya haram, baik dilakukan karena khawatir dengan melakukan zina ataupun tidak, akan tetapi apabila perbuatan zina hanya bisa ditahan/ditolak dengan cara ber-onani maka onani-lah yang lebih didahulukan untuk dilakukan karena ia merupakan perbuatan dosa yang paling ringan dibanding zina. Syech Muhammad bin Yusuf al-Mawwaq mengutip pendapat dari Ibn Abbas yang mengatakan, bahwa perbuatan onani/masturbasi itu masih lebih baik dari pada zina, dan demikian juga menurut Aby al-Sya'sy, Mujahid, dan al-Hasan. (refr. Syarh Mukhtashar Khalil Lil-Kharsyiy dan al-Taaj Wa al-Iklil Li-Mukhtashar
Khalil)
- Hanafiyyah
Pada dasarnya dalam madzhab ini juga mengharamkan praktik onani/masturbasi yang dilakukan atas dasar untuk membangkitkan syahwat, artinya onani yang dilakukan karena memang ingin bersenang-senang dengan cara ber-onani maka hukumnya haram. Namun apabila onani itu dilakukan semata-mata untuk meredam syahwat yang sedang bergejolak sedangkan pelaku onani/masturbasi tidak mempunyai seorang istri ataupun budak perempuan, maka harapan dalam madzhab ini semoga tidak ada bencana yang melanda terhadap pelaku onani (semoga pelaku tidak dikenai sangsi dosa oleh Allah) sebagaimana dikatakan oleh Abu al-Laits. Dan bahkan apabila ber-onani merupakan satu-satunya jalan atau solusi baginya agar selamat dari perbuatan zina maka ber-onani/masturbasi menjadi wajib baginya karena ia merupakan perbuatan dosa yang paling ringan dari pada zina sebagaimana dinyatakan oleh Syech Muhammad Amin 'Abidin. (refr. Hasyiyah Radd al-Muhtar 'Ala al-Durr al-Mukhtar dan al-Bahr al-Ra`iq Syarh Kanz al-Daqa`iq)
- Syafi'iyyah
Rekomendasi dari madzhab kami ini adalah haram secara mutlak melakukan onani/masturbasi, meskipun dengan alasan karena khawatir dengan perbuatan zina sebagaimana keterangan dari madzhab Malikiyyah, hanya saja madzhab kami tidak memberikan opsi hukum terkait sebuah kemungkinan yang tak dapat diatasi kecuali dengan cara ber-onani sebagaimana solusi hukum dari madzhab Malikiyyah dan Hanafiyyah. Bahkan Imam al-Mawardiy menganggap fasid (pernyataan tidak benar) pendapat sebagian ulama fiqh kawasan Bashrah yang membolehkan praktik onani dalam keadaan safar (melakukan perjalanan) sebagaimana diceritakan oleh Imam al-Syafi'iy, maka onani/masturbasi serupa dengan perbuatan bersenang-senang dengan seorang wanita yang tidak halal tanpa memasuki area terlarangnya (farj/vagina) sehingga pelakunya layak untuk di-ta'zir (dikenai sangsi) seperti perbuatan liwath (homosexuil) sebagaimana dinyatakan oleh Syech Abu Ishaq al-Syairaziy. Namun dalam Bab Haidh ulama kalangan madzhab kami memberikan opsi hukum ketika seorang suami dilema antara menyetubuhi istrinya yang sedang haidh dan melakukan onani, sehingga secara analogi hukum (qiyas) BOLEH melakukan onani demi tercegah dari perbuatan zina seperti pernyataan yang dilansir oleh Syech Ibnu Qasim al-'Abbadiy atas rekom Ibnu Hajar, dan menurut al-Barmawiy sebagaimana dikutip oleh Syech Abdul Hamid al-Syarwaniy atas kutipan al-Bujairamiy, bahwa mendahulukan melakukan onani merupakan pendapat yang lebih mendekati kebenaran karena menyetubuhi istri yang sedang haidh adalah larangan yang telah disepakati semua ulama, sementara onani/masturbasi merupakan perbuatan yang masih diperselisihkan hukumnya di antara ulama. (Nah, bila kenyataan hukum demikian adanya seharusnya madzhab kami memberikan opsi hukum sebagaimana madzhab lain, andai seseorang melakukannya semata-mata demi dirinya agar tidak melakukan zina sehubungan dia tidak mempunyai istri dan tidak mempunyai biaya untuk melakukan pernikahan serta merupakan satu-satunya cara, sudah sepantasnya melakukan onani adalah solusi terbaik, sebab bagaimanapun juga zina itu lebih besar dosanya dari pada onani, sesuai qa`idah fiqh "إذا تعارضت مفسدتان روعي أعظمهما بارتكاب أخفهما" , artinya apabila dua kerusakan saling berhadapan maka yang lebih besar dari keduanya mestilah dijaga dengan cara melakukan yang paling ringan di antara keduanya, meskipun toh perbuatan tersebut tetap berdosa dalam keadaan seperti ini - red. editor). (refr. al-Hawiy al-Kabir, al-Muhaddzab Fiy Fiqh al-Imam al-Imam al-Syafi'iy, I'anah al-Thalibin dan Hawasyiy al-Syarwaniy Wa Ibn Qasim al-'Abbadiy)
- Hanabilah
Menurut pendapat yang lebih shahih dalam madzhab Imam Ahmad bin Hanbal ini bahwa onani/masturbasi hukumnya haram karena perbuatan ini merupakan perbuatan pemutusan benih beranak-pinak sebagaimana perbuatan liwath (homosexuil) dan pelakunya mesti di-ta'zir karena onani merupakan perbuatan maksiat. Hanya saja dalam madzhab ini membolehkan melakukan onani jika dikhawatirkan akan berbuat zina, namun mayoritas ulama kalangan madzhab ini tetap mengharamkannya meskipun terdapat kekhawatiran dengan melakukan zina. Dan demikian juga BOLEH melakukan onani apabila akan sakit atau berdampak negatif terhadap badan jika tidak ber-onani, karena air mani merupakan fudhlah (ampas; turahan - jawa) yang terkandung di dalam badan, sehingga sewaktu-waktu dibutuhkan untuk dikeluarkan maka boleh-boleh saja dikeluarkan sebagaimana melakukan al-fashd dan al-Hujamah (cantuk bekam dan cantuk cutat - jawa). Dengan demikian dapat diketahui bahwa kebolehan ber-onani/masturbasi dalam madzhab ini hanya ketika ada hajat saja atau dalam keadaan darurat seperti khawatir berbuat zina, sehubungan pelaku tidak mempunyai biaya untuk melangsungkan pernikahan, dan apabila tidak demikian maka hukumnya tetap haram. (refr. al-Kafiy Fiy Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal, Syarh Muntaha al-Iradat Lil-Buhuthiy, Taisir al-'Allam Syarh 'Umdah al-Ahkam dan Tafsir al-Alusiy)
Dari keterangan-keterangan ulama tersebut dapatlah ditarik benang merahnya bahwa tak satupun ada ulama yang membolehkan perbuatan onani/masturbasi dalam keadaan ikhtiyar. Sedangkan apabila dalam keadaan terdapat hajat atau darurat maka ulama berbeda pendapat sebagaimana rincian terlampir di atas dari masing-masing madzhab.
Wallahu Subhanah wa ta'ala A'lam
Dasar Pengambilan Hukum:
الموسوعة الفقهية الكويتية ج 5 ص 106-107 | الموسوعة الشاملة
استمناءٌ ؛ التعريف : - 1 - الاستمناء : مصدر استمنى ، أي طلب خروج المنيّ. واصطلاحاً : إخراج المنيّ بغير جماعٍ ، محرّماً كان ، كإخراجه بيده استدعاءً للشّهوة ، أو غير محرّمٍ كإخراجه بيد زوجته. - 2 - وهو أخصّ من الإمناء والإنزال ، فقد يحصلان في غير اليقظة ودون طلبٍ ، أمّا الاستمناء فلا بدّ فيه من استدعاء المنيّ في يقظة المستمني بوسيلةٍ ما. ويكون الاستمناء من الرّجل ومن المرأة. ويقع الاستمناء ولو مع وجود الحائل. جاء في ابن عابدين : لو استمنى بكفّه بحائلٍ يمنع الحرارة يأثم أيضاً. وفي الشّروانيّ على التّحفة : إن قصد بضمّ امرأةٍ الإنزال - ولو مع الحائل - يكون استمناءً مبطلاً للصّوم. بل صرّح الشّافعيّة والمالكيّة بأنّ الاستمناء يحصل بالنّظر. -- إلى أن قال -- وسائل الاستمناء : - 3 - يكون الاستمناء باليد ، أو غيرها من أنواع المباشرة ، أو بالنّظر ، أو بالفكر. -- إلى أن قال -- الاستمناء بالمباشرة فيما دون الفرج : - 5 - الاستمناء بالمباشرة فيما دون الفرج يشمل كلّ استمتاعٍ - غير النّظر والفكر - من وطءٍ في غير الفرج ، أو تبطينٍ ، أو تفخيذٍ ، أو لمسٍ ، أو تقبيلٍ. إهـ
شرح مختصر خليل للخرشي - فصل حرم بالإحرام على امرأة لبس قفاز | المرجع الأكبر
اعْلَمْ أَنَّ اسْتِمْنَاءَ الشَّخْصِ بِيَدِهِ حَرَامٌ، خَشِيَ الزِّنَا أَمْ لَا، لَكِنْ إنْ لَمْ يَنْدَفِعْ عَنْهُ الزِّنَا إلا بِهِ قَدَّمَهُ عَلَيْهِ ارْتِكَابًا لِأَخَفِّ الْمَفْسَدَتَيْنِ، وَفِي اسْتِمْنَائِهِ بِيَدِ زَوْجَتِهِ خِلَافٌ، وَالرَّاجِحُ الْجَوَازُ وَهُوَ مَا دَخَلَ تَحْتَ قَوْلِ الْمُصَنِّفِ وَتَمَتُّعٌ بِغَيْرِ دُبُرٍ، وَلَوْ أُكْرِهَ عَلَى الزِّنَا بِمَحْرَمٍ أَوْ أَجْنَبِيَّةٍ قَدَّمَ الْأَجْنَبِيَّةَ، لِأَنَّهَا تُبَاحُ فِي الْجُمْلَةِ، وَلَوْ أُكْرِهَ عَلَيْهِ فِي رَمَضَانَ أَوْ غَيْرِهِ وَفِي لَيْلَةِ الْجُمُعَةِ أَوْ غَيْرِهَا قَدَّمَ الْغَيْرَ. إهـ
التاج والإكليل لمختصر خليل ج 8 ص 392 | المرجع الأكبر
وقال ابن عباس في الاستمناء للرجل والمرأة أي وهو خير من الزنا. ونحوه لأبي الشعث ومجاهد والحسن وللمرأة أن تبالغ في الاستنجاء. قاله اللخمي. إهـ
حاشية رد المحتار على الدر المختار ج 2 ص 438 | المرجع الأكبر
قوله: (ولو خاف الزنى الخ) الظاهر أنه غير قيد، بل لو تعين الخلاص من الزنى به وجب لأنه أخفّ. وعبارة «الفَتْح»: فإن غلبته الشَّهْوة ففعل إرادة تسكينها به فالرجاء أن لا يعاقب اهـ. زاد في «معراج الدِّراية» وعن أحمد والشَّافعي في القديم الترخص فيه، وفي الجديد يحرم، ويجوز أَنْ يَسْتَمْني زوجته وخادمته اهـ. وسيذكر الشَّارح في «الحدود» عن «الجوهرة» أنه يكره، ولعل المراد به كراهة التنزيه، فلا ينافي قول «المِعْراج». تأمل. وفي «السِّراج»: إن أراد بذلك تَسْكين الشهوة المفرطة الشاغلة للقلب وكان عزباً لا زوجة له ولا أمة، أو كان إلاَّ أنه لا يقدر على الوصول إليها لعذر قال أبو الليث: أرجو أن لا وبال عليه، وأما إذا فعله لاسْتحلاب الشَّهْوة فهو آثم اهـ.
بقي هنا شيء، وهو أنَّ علةَ الإِثْم هل هي كون ذلك اسْتمتاعاً بالجزء كما يفيد الحديث وتقييدهم كونه بالكفِّ ويلحق به ما لو أدخل ذكره بين فخذيه مثلاً حتى أمنى، أم هي سفح الماء وتهييج الشَّهْوة في غير محلها بغير عذر كما يفيده قوله: وأما إذا فعله لاستجلاب الشَّهْوة الخ؟ لم أر من صرح بشيء من ذلك، والظاهر الأخير لأن فعله بيد زوجته ونحوها فيه سفح الماء لكن بالاستمتاع بجزء مباح، كما لو أنزل بتفخيذ أو تبطين بخلاف ما إذا كان بكفه ونحوه، وعلى هذا فلو أدخل ذكره في حائط أو نحو حتى أمنى أو استمنى بكفه بحائل يمنع الحرارة يأثم أيضاً، ويدل أيضاً على ما قلنا في «الزَّيلعي » حيث استدل على عدم حله بالكف بقوله تعالى: {وَٱلَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَـٰفِظُونَ} الآية. وقال: فلم يبح الاستمتاع إلا بهما: أي بالزوجة والأمة. إهـ
حاشية رد المحتار على الدر المختار ج 4 ص 192 | المرجع الأكبر
قوله: (الاسْتِمْناء حرام) أي بالكفِّ إذا كان لاسْتجلاب الشَّهوة، أما إذا غلبته الشَّهوة وليس له زوجة ولا أمة ففعل ذلك لتسكينها فالرجاء أنَّه لا وبال عليه كما قاله أبو اللَّيث ، ويجب لو خاف الزِّنا. إهـ
البحر الرائق شرح كنز الدقائق ج 2 ص 293 | المرجع الأكبر
وهل يحل الاستمناء بالكف خارج رمضان؟ إن أراد الشهوة لا يحل لقوله عليه السلام «ناكح اليد ملعون» وإن أراد تسكين الشهوة يرجى أن لا يكون عليه وبال. كذا في الولوالجية. وظاهره أنه في رمضان لا يحل مطلقاً. إهـ
الحاوي الكبير في الفقه الشافعي ج 11 ص 440 | المرجع الأكبر
فصـل فأما الاستمناء باليد وهو استدعاء المني باليد فهو محظور ، وقد حكى الشافعي عن بعض الفقهاء إباحته، وأباحه قوم في السفر دون الحظر، وهو خطأ لقوله تعالى:{وَٱلَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَـٰفِظُونَ * إِلا عَلَىٰۤ أَزْوَٰجِهِمْ} (المؤمنون: 5، 6) الآية فحظر ما سوء الزوجات وملك اليمين، وجعل مبتغى ما عداه عادياً متعدياً، لقوله:{فَمَنِ ٱبْتَغَىٰ وَرَآءَ ذَٰلِكَ فَأُو۵لَـٰۤﯩـِٕكَ هُمُ ٱلْعَادُونَ} (المؤمنون: 7). وروي عن النبيّ صلى الله عليه وسلّم أنه قال: «لعن الله الناكح يده» ، ولأنه ذريعة إلى ترك النكاح، وانقطاع النسل فاقتضى أن يكون محرماً كاللواط. إهـ
الحاوي الكبير في الفقه الشافعي ج 21 ص 255 | المرجع الأكبر
والحال الرابعة: الاستمناء بالكف، وهو حرام. وذهب بعض فقهاء البصرة إلى إباحته في السفر دون الحضر، لأنه يمنع من الفجور، ويبعث على غض الطرف. وهذا فاسد لقوله تعالى: {وَٱلَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَـٰفِظُونَ * إِلا عَلَىٰۤ أَزْوَٰجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَـٰنُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ * فَمَنِ ٱبْتَغَىٰ وَرَآءَ ذَٰلِكَ فَأُو۵لَـٰۤﯩـِٕكَ هُمُ ٱلْعَادُونَ} . فصار المستمنى منسوباً إلى العدوان، ولأن النكاح مندوب إليه لأجل التناسل والتكاثر. قال النبي صلى الله عليه وسلّم «تَنَاكَحُوا تَكَاثَرُوا فَإِنِّي أَبَاهِي بِكُمُ الأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى بِالسَّقّطِ». وقال عمر رضي الله عنه: لولا الاستيلاء لما تزوجت. والاستمناء بعيد عن الناكح، ويمنع من التناسل فكان محظوراً لكنه من صغائر المعاصي، فينهى عنه الفاعل، وإن عاد بعد النهي عزر، ولا يعتبر فيه شهود الزنا، ويقبل فيه شاهدين، وإن استحق فيه التعزير بعد النهي، ولا يجب في القذف به حد ولا تعزير إن لم يعزر الفاعل. إهـ
المهذب في فقه الإمام الشافعي ج 2 ص 345 | المرجع الأكبر
فصل: وَيَحْرُمُ الاِسْتِمْنَاءُ، لِقَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ : {وَٱلَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَـٰفِظُونَ * إِلا عَلَىٰۤ أَزْوَٰجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَـٰنُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ} وَلأَنَّهَا مُبَاشَرَةٌ تُفْضِى إلَى قَطْعِ النَّسْلِ، فَحَرُمَ كَاللِّوَاطِ. فَإنْ فَعَلَ، عُزِّرَ، وَلَمْ يُحَدَّ؛ لأَنَّهَا مُبَاشَرَةٌ مُحَرَّمَةٌ مِنْ غَيْرِ إيلاَجٍ، فَأَشْبَهَتْ مُبَاشَرَةَ الأَجْنَبِيَّةِ فِيمَا دُونَ الفَرْجِ، وَبِالَّلهِ التَّوْفِيقُ. إهـ
إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين ج 3 ص 341-342 | المرجع الأكبر
(قوله: أو استمناء بيدها) أي ولو باستمناء بيدها فإِنه جائز. (وقوله لا بيده) أي لا يجوز الاستمناء بيده، أي ولا بيد غيره غير حليلته، ففي بعض الأحاديث «لعن الله من نكح يده، وإن الله أهلك أمة كانوا يعبثون بفروجهم». (وقوله وإن خاف الزنا) غاية لقوله لا بيده، أي لا يجوز بيده وإن خاف الزنا. (وقوله خلافاً لأحمد) أي فإِنه أجازه بيده بشرط خوف الزنا وبشرط فقد مهر حرّة وثمن أمة. (قوله: ولا افتضاض بأصبع) ظاهر صنيعه أنه معطوف على قوله لا بيده، وهو لا يصح: إذ يصير التقدير ولا يجوز استمناء بافتضاض، ولا معنى له. فيتعين جعله فاعلاً لفعل مقدر: أي ولا يجوز افتضاض: أي إزالة البكارة بأصبعه. وفي البجيرمي ما نصه: قال سم ولا يجوز إزالة بكارتها بأصبعه أو نحوها، إذ لو جاز ذلك لم يكن عجزه عن إزالتها مثبتاً للخيار لقدرته على إزالتها بذلك. إهـ
حواشي الشرواني وابن قاسم العبادي على تحفة المحتاج بشرح المنهاج ج 1 ص 639-640 | المرجع الأكبر
فرع: لو خاف الزنا إن لم يطأ الحائض أي بأن تعين وطؤها لدفعه جاز، بل ينبغي وجوبه، وقياس ذلك حل استمنائه بيده تعين لدفع الزنا سم على حج، وينبغي أن مثل ذلك ما لو تعارض عليه وطؤها والاستمناء بيده فيقدم الوطء لأنه من جنس ما يباح له فعله، وبقي ما لو دار الحال بين وطء زوجته في دبرها بأن تعين طريقاً كان انسد قبلها وبين الزنا، والأقرب تقديم الأول لأن له الاستمتاع بها في الجملة، ولأنه لا حد عليه بذلك، وما لو تعارض وطؤها في الدبر والاستمناء بيد نفسه في دفع الزنا، والأقرب أيضاً تقديم الوطء في الدبر لما تقدم، وينبغي كفر من اعتقد حل الوطء في الدبر لأنه مجمع على تحريمه ومعلوم من الدين بالضرورة. اهـ زاد البجيرمي: والمعتمد أنه يقدم الاستمناء بيده على وطء زوجته في دبرها. اهـ أقول: ولو قيل بتقديم الاستمناء بيده على وطء الحائض أيضاً لم يبعد، إذ تحريم الثاني مجمع عليه بخلاف الأول، ثم رأيت في البجيرمي ما نصه: قال البرماوي: وهو أي تقديم الاستمناء بيده الأقرب لأن الوطء في الحيض متفق على أنه كبيرة، بخلاف الاستمناء فإن فيه خلافاً. اهـ لأن الإمام أحمد قال بجوازه عند هجيان الشهوة وعند الشافعي صغيرة. إهـ
الكافي في فقه الإمام أحمد بن حنبل ج 4 ص 210 | المرجع الأكبر
ويحرم الاستمناء باليد، لأنها مباشرة تفضي الى قطع النسل، فحرمت كاللواط، ولا حد فيه، لأنّه لا إيلاج فيه. فإن خشي الزنى، أبيح له، لأنه يروى عن جماعة من الصحابة. إهـ
شرح منتهى الإرادات للبهوتي ج 3 ص 366 | المرجع الأكبر
(وَمَنْ اسْتَمْنَى مِنْ رَجُلٍ أَوْ امْرَأَةٍ لِغَيْرِ حَاجَةٍ حَرُمَ) فِعْلُهُ ذَلِكَ (وَعُزِّرَ) عَلَيْهِ لِأَنَّهُ مَعْصِيَةٌ (وَإِنْ فَعَلَهُ خَوْفًا مِنْ الزِّنَا) أَوْ اللِّوَاطِ (فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ) كَمَا لَوْ فَعَلَهُ خَوْفًا عَلَى بَدَنِهِ بَلْ أَوْلَى (فَلَا يُبَاحُ) الِاسْتِمْنَاءُ لِرَجُلٍ بِيَدِهِ (إلا إذَا لَمْ يَقْدِرْ عَلَى نِكَاحٍ وَلَوْ لِأَمَةٍ) لِأَنَّهُ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى ذَلِكَ لَا ضَرُورَةَ إلَيْهِ وَقِيَاسُهُ الْمَرْأَةُ فَلَا يُبَاحُ لَهَا إلا إذَا لَمْ يَرْغَبْ أَحَدٌ فِي نِكَاحِهَا (وَلَوْ اُضْطُرَّ إلَى جِمَاعٍ وَلَيْسَ مَنْ يُبَاحُ وَطْؤُهَا) مِنْ زَوْجَةٍ أَوْ أَمَةٍ (حُرِّمَ الْوَطْءُ) بِخِلَافِ أَكْلِهِ فِي الْمَخْمَصَةِ مَا لَا يُبَاحُ فِي غَيْرِهَا لِأَنَّ الْحَيَاةَ لَا تَبْقَى مَعَ عَدَمِ الْأَكْلِ بِخِلَافِ الْوَطْءِ فَإِبَاحَةُ الْفَرْجِ بِالْعَقْدِ دُونَ الضَّرُورَةِ وَإِبَاحَةُ الْمَيْتَةِ بِالضَّرُورَةِ دُونَ الْعَقْدِ. إهـ
تيسير العلام شرح عمدة الأحكام ج 2 ص 977 | المرجع الأكبر
الثالثة: الاستمناء باليد حرام عند جمهور العلماء، وهو أصح القولين في مذهب أحمد، وفي القول الآخر هو مكروه غير محرم، وأكثرهم لا يبيحونه لخوف العنت... ونقل عن طائفة من الصحابة والتابعين أنهم رخصوا فيه للضرورة، مثل أن يخشى الزنا، فلا يعصم منه إلا به، ومثل إن لم يفعله أن يمرض، وهذا قول أحمد وغيره، وأما بدون الضرورة فما علمت أحدا أرخص فيه. والله أعلم. إهـ
تفسير الألوسي ج 81 ص 81 | المرجع الأكبر
وكذا اختلف في استمناء الرجل بيده ويسمى الخضخضة وجلد عميرة فجمهور الأئمة على تحريمه وهو عندهم داخل فيما وراء ذلك، وكان أحمد بن حنبل يجيزه لأن المني فضلة في البدن فجاز إخراجها عند الحاجة كالفصد والحجامة، وقال ابن الهمام: يحرم فإن غلبته الشهوة ففعل إرادة تسكينها به فالرجاء أن لا يعاقب. إهـ
الأم للشافعي ج 5 ص 137 - 138 | المرجع الأكبر
بابُ الاستمناءِ قالَ الله ـ عزَّ وجلَّ ـ: {وَٱلَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَـٰفِظُونَ * إِلا عَلَىٰۤ أَزْوَٰجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَـٰنُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ} قرأ إلى: {ٱلْعَادُونَ} [المؤمنون: 4 ـ 7].قالَ الشافعي ـ رضيَ الله عنهُ ـ: فكانَ بيِّناً في ذكرِ حفظهمْ لفروجهمْ إلاَّ على أزواجهمْ أوْ ما ملكَتْ أيمانهمْ، تحريمُ ما سوى الأزواجِ وما ملكتِ الأيمانُ، وبيِّنٌ أنَّ الأزواجَ وملكَ اليمينِ منَ الآدمياتِ دونَ البهائمِ، ثمّ أكَّدَها فقالَ ـ عزَّ وجلَّ ـ: {فَمَنِ ٱبْتَغَىٰ وَرَآءَ ذَٰلِكَ فَأُو۵لَـٰۤﯩـِٕكَ هُمُ ٱلْعَادُونَ} [المؤمنون: 7] فلا يحلُّ العملُ بالذكرِ إلاَّ في الزوجةِ أو في ملكِ اليمينِ، ولا يحلُّ الاستمناءُ، والله تعالى أعلمُ.
Link Asal**^^
https://www.facebook.com/groups/asawaja/permalink/1255479174500065/
Dokumen FB:
https://www.facebook.com/notes/diskusi-hukum-fiqih-berdasarkan-empat-madzhab/0253-hukum-onani-dalam-pandangan-empat-madzhab/1255500611164588/
OLEH : Ismidar Abdurrahman As-Sanusi (Admin)
HUKUM ONANI/MASTURBASI DALAM PANDANGAN EMPAT MADZHAB
Onani/Masturbasi yang dalam bahasa fiqh-nya lebih dikenal dengan istilah al-Istimna`, adalah mengeluarkan air mani tanpa melakukan persetubuhan, baik dilakukan secara haram seperti dengan menggunakan tangannya sendiri ataupun tidak haram seperti dengan menggunakan tangan istrinya. Istimna` ini lebih khusus dari pada istilah Imna` dan Inzal (keluarnya mani) karena terkadang ia bisa dihasilkan dalam keadaan tidak terjaga dan tanpa ada upaya mengeluarkan air mani, sedangkan Istimna` adalah usaha untuk mengeluarkan air mani yang pelakunya mesti dalam keadaan terjaga dengan menggunakan media perantara apa saja. Adapun media perantara untuk melakukan Istimna` adakalanya dengan menggunakan tangan, dengan cara memandang, berfikir (membayangkan/berkhayal), atau dengan cara persentuhan dengan selain area farj (daerah kemaluan) seperti persetubuhan pada selain vagina, dengan menggunakan kedua paha, berpelukan, ciuman, atau dengan selainnya.
Dan hukumnya menurut mayoritas ulama dari empat madzhab (Syafi'iyyah, Malikiyyah, Hanafiyyah dan Hanabilah) adalah haram dengan berdasarkan firman Allah sebagai berikut :
والذين هم لفروجهم حافظون * إلا على أزواجهم أو ما ملكت أيمانهم فإنهم غير ملومين * فمن ابتغى وراء ذلك فأولئك هم العادون
Artinya : "dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas". (QS. al-Mu`minun : 5-7)
Karena perbuatan tersebut disinyalir berkemungkinan menarik pelaku untuk tidak menikah dan memutus benih untuk dapat beranak-pinak, sehingga mayoritas ulama menisbahkan pelaku onani/masturbasi sebagai orang yang telah melampaui batas sebagaimana disinggung dalam ayat tersebut sehubungan menikah adalah sunnah baginya untuk dapat mempunyai keturunan dan menjaganya dari perbuatan yang dilarang syari'at. Akan tetapi perbuatan onani ini tergolong dosa kecil, sehingga barangsiapa yang melakukan onani/masturbasi hendaknya ia dicegah (diberi peringatan ) agar tidak melakukannya lagi, dan apabila mengulanginya maka dia layak untuk di-ta'zir (dikenai sangsi).
Pendapat Ulama Lintas Madzhab Tentang Onani/Masturbasi
- Malikiyyah
Dalam madzhab ini onani hukumnya haram, baik dilakukan karena khawatir dengan melakukan zina ataupun tidak, akan tetapi apabila perbuatan zina hanya bisa ditahan/ditolak dengan cara ber-onani maka onani-lah yang lebih didahulukan untuk dilakukan karena ia merupakan perbuatan dosa yang paling ringan dibanding zina. Syech Muhammad bin Yusuf al-Mawwaq mengutip pendapat dari Ibn Abbas yang mengatakan, bahwa perbuatan onani/masturbasi itu masih lebih baik dari pada zina, dan demikian juga menurut Aby al-Sya'sy, Mujahid, dan al-Hasan. (refr. Syarh Mukhtashar Khalil Lil-Kharsyiy dan al-Taaj Wa al-Iklil Li-Mukhtashar
Khalil)
- Hanafiyyah
Pada dasarnya dalam madzhab ini juga mengharamkan praktik onani/masturbasi yang dilakukan atas dasar untuk membangkitkan syahwat, artinya onani yang dilakukan karena memang ingin bersenang-senang dengan cara ber-onani maka hukumnya haram. Namun apabila onani itu dilakukan semata-mata untuk meredam syahwat yang sedang bergejolak sedangkan pelaku onani/masturbasi tidak mempunyai seorang istri ataupun budak perempuan, maka harapan dalam madzhab ini semoga tidak ada bencana yang melanda terhadap pelaku onani (semoga pelaku tidak dikenai sangsi dosa oleh Allah) sebagaimana dikatakan oleh Abu al-Laits. Dan bahkan apabila ber-onani merupakan satu-satunya jalan atau solusi baginya agar selamat dari perbuatan zina maka ber-onani/masturbasi menjadi wajib baginya karena ia merupakan perbuatan dosa yang paling ringan dari pada zina sebagaimana dinyatakan oleh Syech Muhammad Amin 'Abidin. (refr. Hasyiyah Radd al-Muhtar 'Ala al-Durr al-Mukhtar dan al-Bahr al-Ra`iq Syarh Kanz al-Daqa`iq)
- Syafi'iyyah
Rekomendasi dari madzhab kami ini adalah haram secara mutlak melakukan onani/masturbasi, meskipun dengan alasan karena khawatir dengan perbuatan zina sebagaimana keterangan dari madzhab Malikiyyah, hanya saja madzhab kami tidak memberikan opsi hukum terkait sebuah kemungkinan yang tak dapat diatasi kecuali dengan cara ber-onani sebagaimana solusi hukum dari madzhab Malikiyyah dan Hanafiyyah. Bahkan Imam al-Mawardiy menganggap fasid (pernyataan tidak benar) pendapat sebagian ulama fiqh kawasan Bashrah yang membolehkan praktik onani dalam keadaan safar (melakukan perjalanan) sebagaimana diceritakan oleh Imam al-Syafi'iy, maka onani/masturbasi serupa dengan perbuatan bersenang-senang dengan seorang wanita yang tidak halal tanpa memasuki area terlarangnya (farj/vagina) sehingga pelakunya layak untuk di-ta'zir (dikenai sangsi) seperti perbuatan liwath (homosexuil) sebagaimana dinyatakan oleh Syech Abu Ishaq al-Syairaziy. Namun dalam Bab Haidh ulama kalangan madzhab kami memberikan opsi hukum ketika seorang suami dilema antara menyetubuhi istrinya yang sedang haidh dan melakukan onani, sehingga secara analogi hukum (qiyas) BOLEH melakukan onani demi tercegah dari perbuatan zina seperti pernyataan yang dilansir oleh Syech Ibnu Qasim al-'Abbadiy atas rekom Ibnu Hajar, dan menurut al-Barmawiy sebagaimana dikutip oleh Syech Abdul Hamid al-Syarwaniy atas kutipan al-Bujairamiy, bahwa mendahulukan melakukan onani merupakan pendapat yang lebih mendekati kebenaran karena menyetubuhi istri yang sedang haidh adalah larangan yang telah disepakati semua ulama, sementara onani/masturbasi merupakan perbuatan yang masih diperselisihkan hukumnya di antara ulama. (Nah, bila kenyataan hukum demikian adanya seharusnya madzhab kami memberikan opsi hukum sebagaimana madzhab lain, andai seseorang melakukannya semata-mata demi dirinya agar tidak melakukan zina sehubungan dia tidak mempunyai istri dan tidak mempunyai biaya untuk melakukan pernikahan serta merupakan satu-satunya cara, sudah sepantasnya melakukan onani adalah solusi terbaik, sebab bagaimanapun juga zina itu lebih besar dosanya dari pada onani, sesuai qa`idah fiqh "إذا تعارضت مفسدتان روعي أعظمهما بارتكاب أخفهما" , artinya apabila dua kerusakan saling berhadapan maka yang lebih besar dari keduanya mestilah dijaga dengan cara melakukan yang paling ringan di antara keduanya, meskipun toh perbuatan tersebut tetap berdosa dalam keadaan seperti ini - red. editor). (refr. al-Hawiy al-Kabir, al-Muhaddzab Fiy Fiqh al-Imam al-Imam al-Syafi'iy, I'anah al-Thalibin dan Hawasyiy al-Syarwaniy Wa Ibn Qasim al-'Abbadiy)
- Hanabilah
Menurut pendapat yang lebih shahih dalam madzhab Imam Ahmad bin Hanbal ini bahwa onani/masturbasi hukumnya haram karena perbuatan ini merupakan perbuatan pemutusan benih beranak-pinak sebagaimana perbuatan liwath (homosexuil) dan pelakunya mesti di-ta'zir karena onani merupakan perbuatan maksiat. Hanya saja dalam madzhab ini membolehkan melakukan onani jika dikhawatirkan akan berbuat zina, namun mayoritas ulama kalangan madzhab ini tetap mengharamkannya meskipun terdapat kekhawatiran dengan melakukan zina. Dan demikian juga BOLEH melakukan onani apabila akan sakit atau berdampak negatif terhadap badan jika tidak ber-onani, karena air mani merupakan fudhlah (ampas; turahan - jawa) yang terkandung di dalam badan, sehingga sewaktu-waktu dibutuhkan untuk dikeluarkan maka boleh-boleh saja dikeluarkan sebagaimana melakukan al-fashd dan al-Hujamah (cantuk bekam dan cantuk cutat - jawa). Dengan demikian dapat diketahui bahwa kebolehan ber-onani/masturbasi dalam madzhab ini hanya ketika ada hajat saja atau dalam keadaan darurat seperti khawatir berbuat zina, sehubungan pelaku tidak mempunyai biaya untuk melangsungkan pernikahan, dan apabila tidak demikian maka hukumnya tetap haram. (refr. al-Kafiy Fiy Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal, Syarh Muntaha al-Iradat Lil-Buhuthiy, Taisir al-'Allam Syarh 'Umdah al-Ahkam dan Tafsir al-Alusiy)
Dari keterangan-keterangan ulama tersebut dapatlah ditarik benang merahnya bahwa tak satupun ada ulama yang membolehkan perbuatan onani/masturbasi dalam keadaan ikhtiyar. Sedangkan apabila dalam keadaan terdapat hajat atau darurat maka ulama berbeda pendapat sebagaimana rincian terlampir di atas dari masing-masing madzhab.
Wallahu Subhanah wa ta'ala A'lam
Dasar Pengambilan Hukum:
الموسوعة الفقهية الكويتية ج 5 ص 106-107 | الموسوعة الشاملة
استمناءٌ ؛ التعريف : - 1 - الاستمناء : مصدر استمنى ، أي طلب خروج المنيّ. واصطلاحاً : إخراج المنيّ بغير جماعٍ ، محرّماً كان ، كإخراجه بيده استدعاءً للشّهوة ، أو غير محرّمٍ كإخراجه بيد زوجته. - 2 - وهو أخصّ من الإمناء والإنزال ، فقد يحصلان في غير اليقظة ودون طلبٍ ، أمّا الاستمناء فلا بدّ فيه من استدعاء المنيّ في يقظة المستمني بوسيلةٍ ما. ويكون الاستمناء من الرّجل ومن المرأة. ويقع الاستمناء ولو مع وجود الحائل. جاء في ابن عابدين : لو استمنى بكفّه بحائلٍ يمنع الحرارة يأثم أيضاً. وفي الشّروانيّ على التّحفة : إن قصد بضمّ امرأةٍ الإنزال - ولو مع الحائل - يكون استمناءً مبطلاً للصّوم. بل صرّح الشّافعيّة والمالكيّة بأنّ الاستمناء يحصل بالنّظر. -- إلى أن قال -- وسائل الاستمناء : - 3 - يكون الاستمناء باليد ، أو غيرها من أنواع المباشرة ، أو بالنّظر ، أو بالفكر. -- إلى أن قال -- الاستمناء بالمباشرة فيما دون الفرج : - 5 - الاستمناء بالمباشرة فيما دون الفرج يشمل كلّ استمتاعٍ - غير النّظر والفكر - من وطءٍ في غير الفرج ، أو تبطينٍ ، أو تفخيذٍ ، أو لمسٍ ، أو تقبيلٍ. إهـ
شرح مختصر خليل للخرشي - فصل حرم بالإحرام على امرأة لبس قفاز | المرجع الأكبر
اعْلَمْ أَنَّ اسْتِمْنَاءَ الشَّخْصِ بِيَدِهِ حَرَامٌ، خَشِيَ الزِّنَا أَمْ لَا، لَكِنْ إنْ لَمْ يَنْدَفِعْ عَنْهُ الزِّنَا إلا بِهِ قَدَّمَهُ عَلَيْهِ ارْتِكَابًا لِأَخَفِّ الْمَفْسَدَتَيْنِ، وَفِي اسْتِمْنَائِهِ بِيَدِ زَوْجَتِهِ خِلَافٌ، وَالرَّاجِحُ الْجَوَازُ وَهُوَ مَا دَخَلَ تَحْتَ قَوْلِ الْمُصَنِّفِ وَتَمَتُّعٌ بِغَيْرِ دُبُرٍ، وَلَوْ أُكْرِهَ عَلَى الزِّنَا بِمَحْرَمٍ أَوْ أَجْنَبِيَّةٍ قَدَّمَ الْأَجْنَبِيَّةَ، لِأَنَّهَا تُبَاحُ فِي الْجُمْلَةِ، وَلَوْ أُكْرِهَ عَلَيْهِ فِي رَمَضَانَ أَوْ غَيْرِهِ وَفِي لَيْلَةِ الْجُمُعَةِ أَوْ غَيْرِهَا قَدَّمَ الْغَيْرَ. إهـ
التاج والإكليل لمختصر خليل ج 8 ص 392 | المرجع الأكبر
وقال ابن عباس في الاستمناء للرجل والمرأة أي وهو خير من الزنا. ونحوه لأبي الشعث ومجاهد والحسن وللمرأة أن تبالغ في الاستنجاء. قاله اللخمي. إهـ
حاشية رد المحتار على الدر المختار ج 2 ص 438 | المرجع الأكبر
قوله: (ولو خاف الزنى الخ) الظاهر أنه غير قيد، بل لو تعين الخلاص من الزنى به وجب لأنه أخفّ. وعبارة «الفَتْح»: فإن غلبته الشَّهْوة ففعل إرادة تسكينها به فالرجاء أن لا يعاقب اهـ. زاد في «معراج الدِّراية» وعن أحمد والشَّافعي في القديم الترخص فيه، وفي الجديد يحرم، ويجوز أَنْ يَسْتَمْني زوجته وخادمته اهـ. وسيذكر الشَّارح في «الحدود» عن «الجوهرة» أنه يكره، ولعل المراد به كراهة التنزيه، فلا ينافي قول «المِعْراج». تأمل. وفي «السِّراج»: إن أراد بذلك تَسْكين الشهوة المفرطة الشاغلة للقلب وكان عزباً لا زوجة له ولا أمة، أو كان إلاَّ أنه لا يقدر على الوصول إليها لعذر قال أبو الليث: أرجو أن لا وبال عليه، وأما إذا فعله لاسْتحلاب الشَّهْوة فهو آثم اهـ.
بقي هنا شيء، وهو أنَّ علةَ الإِثْم هل هي كون ذلك اسْتمتاعاً بالجزء كما يفيد الحديث وتقييدهم كونه بالكفِّ ويلحق به ما لو أدخل ذكره بين فخذيه مثلاً حتى أمنى، أم هي سفح الماء وتهييج الشَّهْوة في غير محلها بغير عذر كما يفيده قوله: وأما إذا فعله لاستجلاب الشَّهْوة الخ؟ لم أر من صرح بشيء من ذلك، والظاهر الأخير لأن فعله بيد زوجته ونحوها فيه سفح الماء لكن بالاستمتاع بجزء مباح، كما لو أنزل بتفخيذ أو تبطين بخلاف ما إذا كان بكفه ونحوه، وعلى هذا فلو أدخل ذكره في حائط أو نحو حتى أمنى أو استمنى بكفه بحائل يمنع الحرارة يأثم أيضاً، ويدل أيضاً على ما قلنا في «الزَّيلعي » حيث استدل على عدم حله بالكف بقوله تعالى: {وَٱلَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَـٰفِظُونَ} الآية. وقال: فلم يبح الاستمتاع إلا بهما: أي بالزوجة والأمة. إهـ
حاشية رد المحتار على الدر المختار ج 4 ص 192 | المرجع الأكبر
قوله: (الاسْتِمْناء حرام) أي بالكفِّ إذا كان لاسْتجلاب الشَّهوة، أما إذا غلبته الشَّهوة وليس له زوجة ولا أمة ففعل ذلك لتسكينها فالرجاء أنَّه لا وبال عليه كما قاله أبو اللَّيث ، ويجب لو خاف الزِّنا. إهـ
البحر الرائق شرح كنز الدقائق ج 2 ص 293 | المرجع الأكبر
وهل يحل الاستمناء بالكف خارج رمضان؟ إن أراد الشهوة لا يحل لقوله عليه السلام «ناكح اليد ملعون» وإن أراد تسكين الشهوة يرجى أن لا يكون عليه وبال. كذا في الولوالجية. وظاهره أنه في رمضان لا يحل مطلقاً. إهـ
الحاوي الكبير في الفقه الشافعي ج 11 ص 440 | المرجع الأكبر
فصـل فأما الاستمناء باليد وهو استدعاء المني باليد فهو محظور ، وقد حكى الشافعي عن بعض الفقهاء إباحته، وأباحه قوم في السفر دون الحظر، وهو خطأ لقوله تعالى:{وَٱلَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَـٰفِظُونَ * إِلا عَلَىٰۤ أَزْوَٰجِهِمْ} (المؤمنون: 5، 6) الآية فحظر ما سوء الزوجات وملك اليمين، وجعل مبتغى ما عداه عادياً متعدياً، لقوله:{فَمَنِ ٱبْتَغَىٰ وَرَآءَ ذَٰلِكَ فَأُو۵لَـٰۤﯩـِٕكَ هُمُ ٱلْعَادُونَ} (المؤمنون: 7). وروي عن النبيّ صلى الله عليه وسلّم أنه قال: «لعن الله الناكح يده» ، ولأنه ذريعة إلى ترك النكاح، وانقطاع النسل فاقتضى أن يكون محرماً كاللواط. إهـ
الحاوي الكبير في الفقه الشافعي ج 21 ص 255 | المرجع الأكبر
والحال الرابعة: الاستمناء بالكف، وهو حرام. وذهب بعض فقهاء البصرة إلى إباحته في السفر دون الحضر، لأنه يمنع من الفجور، ويبعث على غض الطرف. وهذا فاسد لقوله تعالى: {وَٱلَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَـٰفِظُونَ * إِلا عَلَىٰۤ أَزْوَٰجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَـٰنُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ * فَمَنِ ٱبْتَغَىٰ وَرَآءَ ذَٰلِكَ فَأُو۵لَـٰۤﯩـِٕكَ هُمُ ٱلْعَادُونَ} . فصار المستمنى منسوباً إلى العدوان، ولأن النكاح مندوب إليه لأجل التناسل والتكاثر. قال النبي صلى الله عليه وسلّم «تَنَاكَحُوا تَكَاثَرُوا فَإِنِّي أَبَاهِي بِكُمُ الأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى بِالسَّقّطِ». وقال عمر رضي الله عنه: لولا الاستيلاء لما تزوجت. والاستمناء بعيد عن الناكح، ويمنع من التناسل فكان محظوراً لكنه من صغائر المعاصي، فينهى عنه الفاعل، وإن عاد بعد النهي عزر، ولا يعتبر فيه شهود الزنا، ويقبل فيه شاهدين، وإن استحق فيه التعزير بعد النهي، ولا يجب في القذف به حد ولا تعزير إن لم يعزر الفاعل. إهـ
المهذب في فقه الإمام الشافعي ج 2 ص 345 | المرجع الأكبر
فصل: وَيَحْرُمُ الاِسْتِمْنَاءُ، لِقَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ : {وَٱلَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَـٰفِظُونَ * إِلا عَلَىٰۤ أَزْوَٰجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَـٰنُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ} وَلأَنَّهَا مُبَاشَرَةٌ تُفْضِى إلَى قَطْعِ النَّسْلِ، فَحَرُمَ كَاللِّوَاطِ. فَإنْ فَعَلَ، عُزِّرَ، وَلَمْ يُحَدَّ؛ لأَنَّهَا مُبَاشَرَةٌ مُحَرَّمَةٌ مِنْ غَيْرِ إيلاَجٍ، فَأَشْبَهَتْ مُبَاشَرَةَ الأَجْنَبِيَّةِ فِيمَا دُونَ الفَرْجِ، وَبِالَّلهِ التَّوْفِيقُ. إهـ
إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين ج 3 ص 341-342 | المرجع الأكبر
(قوله: أو استمناء بيدها) أي ولو باستمناء بيدها فإِنه جائز. (وقوله لا بيده) أي لا يجوز الاستمناء بيده، أي ولا بيد غيره غير حليلته، ففي بعض الأحاديث «لعن الله من نكح يده، وإن الله أهلك أمة كانوا يعبثون بفروجهم». (وقوله وإن خاف الزنا) غاية لقوله لا بيده، أي لا يجوز بيده وإن خاف الزنا. (وقوله خلافاً لأحمد) أي فإِنه أجازه بيده بشرط خوف الزنا وبشرط فقد مهر حرّة وثمن أمة. (قوله: ولا افتضاض بأصبع) ظاهر صنيعه أنه معطوف على قوله لا بيده، وهو لا يصح: إذ يصير التقدير ولا يجوز استمناء بافتضاض، ولا معنى له. فيتعين جعله فاعلاً لفعل مقدر: أي ولا يجوز افتضاض: أي إزالة البكارة بأصبعه. وفي البجيرمي ما نصه: قال سم ولا يجوز إزالة بكارتها بأصبعه أو نحوها، إذ لو جاز ذلك لم يكن عجزه عن إزالتها مثبتاً للخيار لقدرته على إزالتها بذلك. إهـ
حواشي الشرواني وابن قاسم العبادي على تحفة المحتاج بشرح المنهاج ج 1 ص 639-640 | المرجع الأكبر
فرع: لو خاف الزنا إن لم يطأ الحائض أي بأن تعين وطؤها لدفعه جاز، بل ينبغي وجوبه، وقياس ذلك حل استمنائه بيده تعين لدفع الزنا سم على حج، وينبغي أن مثل ذلك ما لو تعارض عليه وطؤها والاستمناء بيده فيقدم الوطء لأنه من جنس ما يباح له فعله، وبقي ما لو دار الحال بين وطء زوجته في دبرها بأن تعين طريقاً كان انسد قبلها وبين الزنا، والأقرب تقديم الأول لأن له الاستمتاع بها في الجملة، ولأنه لا حد عليه بذلك، وما لو تعارض وطؤها في الدبر والاستمناء بيد نفسه في دفع الزنا، والأقرب أيضاً تقديم الوطء في الدبر لما تقدم، وينبغي كفر من اعتقد حل الوطء في الدبر لأنه مجمع على تحريمه ومعلوم من الدين بالضرورة. اهـ زاد البجيرمي: والمعتمد أنه يقدم الاستمناء بيده على وطء زوجته في دبرها. اهـ أقول: ولو قيل بتقديم الاستمناء بيده على وطء الحائض أيضاً لم يبعد، إذ تحريم الثاني مجمع عليه بخلاف الأول، ثم رأيت في البجيرمي ما نصه: قال البرماوي: وهو أي تقديم الاستمناء بيده الأقرب لأن الوطء في الحيض متفق على أنه كبيرة، بخلاف الاستمناء فإن فيه خلافاً. اهـ لأن الإمام أحمد قال بجوازه عند هجيان الشهوة وعند الشافعي صغيرة. إهـ
الكافي في فقه الإمام أحمد بن حنبل ج 4 ص 210 | المرجع الأكبر
ويحرم الاستمناء باليد، لأنها مباشرة تفضي الى قطع النسل، فحرمت كاللواط، ولا حد فيه، لأنّه لا إيلاج فيه. فإن خشي الزنى، أبيح له، لأنه يروى عن جماعة من الصحابة. إهـ
شرح منتهى الإرادات للبهوتي ج 3 ص 366 | المرجع الأكبر
(وَمَنْ اسْتَمْنَى مِنْ رَجُلٍ أَوْ امْرَأَةٍ لِغَيْرِ حَاجَةٍ حَرُمَ) فِعْلُهُ ذَلِكَ (وَعُزِّرَ) عَلَيْهِ لِأَنَّهُ مَعْصِيَةٌ (وَإِنْ فَعَلَهُ خَوْفًا مِنْ الزِّنَا) أَوْ اللِّوَاطِ (فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ) كَمَا لَوْ فَعَلَهُ خَوْفًا عَلَى بَدَنِهِ بَلْ أَوْلَى (فَلَا يُبَاحُ) الِاسْتِمْنَاءُ لِرَجُلٍ بِيَدِهِ (إلا إذَا لَمْ يَقْدِرْ عَلَى نِكَاحٍ وَلَوْ لِأَمَةٍ) لِأَنَّهُ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى ذَلِكَ لَا ضَرُورَةَ إلَيْهِ وَقِيَاسُهُ الْمَرْأَةُ فَلَا يُبَاحُ لَهَا إلا إذَا لَمْ يَرْغَبْ أَحَدٌ فِي نِكَاحِهَا (وَلَوْ اُضْطُرَّ إلَى جِمَاعٍ وَلَيْسَ مَنْ يُبَاحُ وَطْؤُهَا) مِنْ زَوْجَةٍ أَوْ أَمَةٍ (حُرِّمَ الْوَطْءُ) بِخِلَافِ أَكْلِهِ فِي الْمَخْمَصَةِ مَا لَا يُبَاحُ فِي غَيْرِهَا لِأَنَّ الْحَيَاةَ لَا تَبْقَى مَعَ عَدَمِ الْأَكْلِ بِخِلَافِ الْوَطْءِ فَإِبَاحَةُ الْفَرْجِ بِالْعَقْدِ دُونَ الضَّرُورَةِ وَإِبَاحَةُ الْمَيْتَةِ بِالضَّرُورَةِ دُونَ الْعَقْدِ. إهـ
تيسير العلام شرح عمدة الأحكام ج 2 ص 977 | المرجع الأكبر
الثالثة: الاستمناء باليد حرام عند جمهور العلماء، وهو أصح القولين في مذهب أحمد، وفي القول الآخر هو مكروه غير محرم، وأكثرهم لا يبيحونه لخوف العنت... ونقل عن طائفة من الصحابة والتابعين أنهم رخصوا فيه للضرورة، مثل أن يخشى الزنا، فلا يعصم منه إلا به، ومثل إن لم يفعله أن يمرض، وهذا قول أحمد وغيره، وأما بدون الضرورة فما علمت أحدا أرخص فيه. والله أعلم. إهـ
تفسير الألوسي ج 81 ص 81 | المرجع الأكبر
وكذا اختلف في استمناء الرجل بيده ويسمى الخضخضة وجلد عميرة فجمهور الأئمة على تحريمه وهو عندهم داخل فيما وراء ذلك، وكان أحمد بن حنبل يجيزه لأن المني فضلة في البدن فجاز إخراجها عند الحاجة كالفصد والحجامة، وقال ابن الهمام: يحرم فإن غلبته الشهوة ففعل إرادة تسكينها به فالرجاء أن لا يعاقب. إهـ
الأم للشافعي ج 5 ص 137 - 138 | المرجع الأكبر
بابُ الاستمناءِ قالَ الله ـ عزَّ وجلَّ ـ: {وَٱلَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَـٰفِظُونَ * إِلا عَلَىٰۤ أَزْوَٰجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَـٰنُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ} قرأ إلى: {ٱلْعَادُونَ} [المؤمنون: 4 ـ 7].قالَ الشافعي ـ رضيَ الله عنهُ ـ: فكانَ بيِّناً في ذكرِ حفظهمْ لفروجهمْ إلاَّ على أزواجهمْ أوْ ما ملكَتْ أيمانهمْ، تحريمُ ما سوى الأزواجِ وما ملكتِ الأيمانُ، وبيِّنٌ أنَّ الأزواجَ وملكَ اليمينِ منَ الآدمياتِ دونَ البهائمِ، ثمّ أكَّدَها فقالَ ـ عزَّ وجلَّ ـ: {فَمَنِ ٱبْتَغَىٰ وَرَآءَ ذَٰلِكَ فَأُو۵لَـٰۤﯩـِٕكَ هُمُ ٱلْعَادُونَ} [المؤمنون: 7] فلا يحلُّ العملُ بالذكرِ إلاَّ في الزوجةِ أو في ملكِ اليمينِ، ولا يحلُّ الاستمناءُ، والله تعالى أعلمُ.
Link Asal**^^
https://www.facebook.com/groups/asawaja/permalink/1255479174500065/
Dokumen FB:
https://www.facebook.com/notes/diskusi-hukum-fiqih-berdasarkan-empat-madzhab/0253-hukum-onani-dalam-pandangan-empat-madzhab/1255500611164588/