0542. MASA`IL SYATA : HUKUM BONCENGAN MOTOR NON MAHROM

ISMIDAR ABDURRAHMAN AS-SANUSI·2 MEI 2017

PERTANYAAN
Asassalamualaikum mau bertnya lgi akhi..
Deskripsi 
Setiap pasutri ( pasangan suami istri) tentunya ingin membahagiakan pasangnnya dengan cara apapun. Sia sich yang tidak ingin jalan-jalan dan refresing kettempat wisata dngn wnita yng menjadi damba'an hati dan menjadi belahan jiwa? Sehingga kedua pasngn tersebut brngkat dngn memakai mutor salibg bercandaria seakan dunia milik mereka berdua yg lain hnya ngutrak.

Pertanyaan:
Bolehkan boncengan dengn calon istri yang belum resmi menjadi istrinya dengan tujuan ingin membahagiakan calon istri sebagaimana ilustrasi diatas?
Tlong di jawab+ibarotnya akhi...
[Ouf JauhAr]

JAWABAN
Wa’alaikumussalam Warohmatullohi Wabarokaatuh

Pada dasarnya calon istri, tunangan dan selainnya masih dihukumi non-mahrom, oleh karenanya segala hal yang dilarang bagi non-mahrom maka juga dilarang bagi pasangan calon istri, tunangan dsb. Sebelum menempuh pernikahan maka belum dinyatakan halal secara syar’i. Oleh karena itu hukum boncengan Ria sebagaimana dalam diskripsi tidak dibenarkan (tidak diperbolehkan) kecuali tidak terdapat ketentuan-ketentuan dibawah ini:
• Tidak terjadi ikhtilath (persinggungan badan)
• Tidak terjadi kholwah (berkumpulnya laki-laki dan wanita di tempat sepi yang menurut kebiasaan umum sulit terhindar dari perbuatan yang diharamkan)
• Tidak melihat aurat selain dalam kondisi dan batas-batas yang diperbolehkan syara’
• Tidak terjadi persentuhan kulit 

Bila masih menimbulkan fitnah dan syahwat serta terdapat perincian diatas maka diperbolehkan. Ketentuan diatas bukan hanya berlaku boncengan motor saja tetapi semua hal yang dilarang non-mahrom juga dilarang bagi pasangan yang belum menempuh akad pernikahan seperti: Berjalan-jalan berdua, duduk berdua, berpegangan tangan, dan sebagainya. Hal ini sesuai dengan hadits:

لِأَنْ يُطْعَنَ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمَخِيْطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لَا تَحِلُّ لَهُ

Sesungguhnya andai kepala seseorang kalian ditusuk dengan jarum yang terbuat dari besi itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya
(Hr.At-Thobrooni)

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّوَمَعَهاَذُو مَحْرَمٍ

“Janganlah seorang laki-laki itu berkhalwat (menyendiri) dengan seorang wanita kecuali ada mahram yang menyertai wanita tersebut.” (HR. Bukhari & Muslim)

أَلاَ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ باِمْرَأَةٍ إِلاَّكاَنَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ

“Ingatlah, bahwa tidaklah seorang laki-laki itu berkhalwat dengan seorang wanita kecuali yang ketiganya adalah setan.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan Al-Hakim. Al-Hakim kemudian menyatakan bahwa hadist ini shahih berdasarkan syarat Al-Bukhari dan Muslim. Pendapat ini disepakati pula oleh Adz-Dzahabi)
Wallahu A’lamu Bis Showaab

Dasar Pengambilan:
@ Ismidar Abdurrahman As-Sanusi @

“إرداف التعريف” 1 – الإرداف مصدر أردف وأردفه أركبه خلفه ولا يخرج استعمال الفقهاء عن هذا المعنى “الحكم الإجمالي” 2 – يجوز إرداف الرجل للرجل والمرأة للمرأة إذا لم يؤد إلى فساد أو إثارة شهوة لإرداف الرسول للفضل بن العباس ويجوز إرداف الرجل لامرأته والمرأة لزوجها لإرداف الرسول لزوجته صفية رضي الله عنها وإرداف الرجل للمرأة ذات الرحم المحرم جائز مع أمن الشهوة وأما إرداف المرأة للرجل الأجنبي والرجل للمرأة الأجنبية فهو ممنوع سدا للذرائع واتقاء للشهوة المحرمة

“Definisi IRDAAF (BONCENGAN)” kata IRDAAF adalah mashdar dari lafadz ARDAFA, ARDAFAHU yang bermakna menaikkan/membonceng seseorang di belakanya dan istilah ini tidak digunakan di kalangan Ulama Ahli Fiqh

HUKUM secara GLOBAL
Diperbolehkan seorang pria membonceng pria lain, wanita membonceng wanita lain bila memang tidak menimbulkan bahaya atau menimbulkan syahwat karena Rasulullah pernah membonceng sahabat fadhl Bin Abas, boleh juga suami membonceng istrinya, istri membonceng membonceng suaminya karena Rasulullahpernah membonceng istrinya Shofiyyah Ra.
Seorang pria membonceng wanita mahramnya hukumnya boleh dengan syarat aman dari gejolak nafsu, sedang seorang wanita membonceng pria yang bukan mahramnya dan seorang pria membonceng wanita yang juga bukan mahramnya hukumnya di larang untuk menghindari hal-hal yang menjadi perantara dan timbulnya syahwat yang di haramkan. 
Al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah III/91

Masalah ketentuan syarat-syarat yang lain yang telah di sebutkan diatas bisa di lihat di : Syarh Muslim vol. XIV hal. 164-166, I’ânah at-Thâlibîn vol. I hal. 272, Al-Mausû’ah, alFiqhiyyah vol. II hal. 290-291
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
MUSYAWIRIN: MEMBERS GROUF ¤ KAJIAN KITAB SALAFIYAH | TANYA & JAWAB ¤
MUSOHHIH, PERUMUS SEKALIGUS EDITOR:  Ismidar Abdurrahman As-Sanusi  

Link Mudzakaroh:

Komentari

Lebih baru Lebih lama