Pertanyaan :
Jawaban:
Walaikumsalam
Sebagaimana diketahui bahwa wanita haid dan semisalnya haram membaca Alqur'an dengan niat membaca Al Qur'an atau bermaksud membaca Al Qur'an dan dzikir tapi tidak dihukumi haram kalau tanpa niat atau maksud membaca Al Qur'an dan dzikir, diperbolehkan juga ketika membaca dengan niat dzikir atau tidak bermaksud membaca Al Qur'an. Keharaman wanita haid membaca Al Qur'an tidak dibedakan baik ayat yang bisa ditemukan susunan kalimatnya seperti ayat yang mengandung doa contohnya : سبحان الذي سخر لنا هذا و ما كنا له مقرنين atau إنا لله و إنا اليه راجعون, maupun pada ayat yang tidak akan ditemukan susunan kalimatnya selain di al-Qur'an semisal surat al-Ikhlas dan ayat kursi.
Dengan demikian wanita haid dan semisalnya boleh membaca ayat kursi atau surat Al Ikhlas tanpa bermaksud membaca Al Qur'an atau membaca Al Qur'an beserta dzikir, bila memaksudkan itu semua haram. Boleh juga wanita haid membaca Al Qur'an dengan niat membenarkan bacaan yang salah, mengajar dan berdoa yang bukan niat membaca Al Qur'an dan dzikir.
تَنْبِيهٌ : يَحِلُّ لِمَنْ بِهِ حَدَثٌ أَكْبَرُ أَذْكَارُ الْقُرْآنِ وَغَيْرُهَا كَمَوَاعِظِهِ وَأَخْبَارِهِ وَأَحْكَامِهِ لَا بِقَصْدِ الْقُرْآنِ كَقَوْلِهِ عِنْدَ الرُّكُوبِ : { سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ } أَيْ مُطِيقِينَ ، وَعِنْدَ الْمُصِيبَةِ : { إنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إلَيْهِ رَاجِعُونَ } وَمَا جَرَى بِهِ لِسَانُهُ بِلَا قَصْدٍ فَإِنْ قَصَدَ الْقُرْآنَ وَحْدَهُ أَوْ مَعَ الذِّكْرِ حُرِّمَ ، وَإِنْ أَطْلَقَ فَلَا .
كَمَا نَبَّهَ عَلَيْهِ النَّوَوِيُّ فِي دَقَائِقِهِ لِعَدَمِ الْإِخْلَالِ بِحُرْمَتِهِ ؛ لِأَنَّهُ لَا يَكُونُ قُرْآنًا إلَّا بِالْقَصْدِ قَالَهُ النَّوَوِيُّ وَغَيْرُهُ ، وَظَاهِرُهُ أَنَّ ذَلِكَ جَارٍ فِيمَا يُوجَدُ نَظْمُهُ فِي غَيْرِ الْقُرْآنِ كَالْآيَتَيْنِ الْمُتَقَدِّمَتَيْنِ وَالْبَسْمَلَةِ وَالْحَمْدَلَةِ ، وَفِيمَا لَا يُوجَدُ نَظْمُهُ إلَّا فِيهِ كَسُورَةِ الْإِخْلَاصِ وَآيَةِ الْكُرْسِيِّ ، وَهُوَ كَذَلِكَ ، وَإِنْ قَالَ الزَّرْكَشِيّ : لَا شَكَّ فِي تَحْرِيمِ مَا لَا يُوجَدُ نَظْمُهُ فِي غَيْرِ الْقُرْآنِ ، وَتَبِعَهُ عَلَى ذَلِكَ بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِينَ كَمَا شَمِلَ ذَلِكَ قَوْلَ الرَّوْضَةِ ، أَمَّا إذَا قَرَأَ شَيْئًا مِنْهُ لَا عَلَى قَصْدِ الْقُرْآنِ فَيَجُوزُ .
“PERINGATAN: Diperbolehkan bagi orang yang mempunyai hadats besar untuk membaca dzikir al-Qur’an dan yang lainnya, seperti mauizhahnya, cerita, dan hukum yang ada di dalam al-Qur’an, dengan tidak diniatkan pada al-Qur’annya. Seperti perkataanya ketika naik kendaraan :
(سبحان الذي سخر لنا هذا و ما كنا له مقرنين)
dan ketika mendapat musibah dia mengucapkan :
(إنا لله و إنا اليه راجعون).
Serta pada apa yang tanpa dikehendaki terucap oleh lisannya. Namun jika dia memaksudkan al-Qur’an saja atau memaksudkan al-Qur’an beserta dzikirnya, maka diharamkan. Kemudian jika dia memutlakkannya maka tidak diharamkan, sesuai dengan peringatan an-Nawawi dalam kitab Daqaiq, sebab tidak ada unsur penghinaan pada kemuliaan al-Qur'an di sini. Memandang bahwasanya al-Qur'an tidak akan diberlakukan hukum al-Qur'an kecuali ketika dengan wujudnya niat.
Secara zahir pendapat tersebut berlaku baik pada ayat yang bisa ditemukan susunan kalimatnya di luar al-Qur'an semisal dua ayat di atas, juga basmalah dan al-fatihah. Serta pada ayat yang tidak akan ditemukan susunan kalimatnya selain di al-Qur'an semisal surat al-Ikhlas dan ayat kursi. Benarlah demikian, meski az-Zarkasyi berpendapat tidak diragukannya keharaman pada ayat yang tidak akan ditemukan susunan kalimatnya selain di al-Qur'an. Pendapat az-Zarkasyi ini dianut oleh sebagian ulama mutaakhirin.
Keterangan an-Nawawi tentang kemutlakan tersebut juga terkandung dalam kitab ar-Raudhah. Sedangkan ketika membaca al-Qur'an itu tidak diniatkan pada membaca al-Qur'annya maka diperbolehkan"
[Tuhfah Al Habib Syarh al Khotib I/358]
وَلَا فَرْقَ بَيْنَ مَا لَا يُوجَدُ نَظْمُهُ إلَّا فِيهِ كَآيَةِ الْكُرْسِيِّ وَسُورَةِ الْإِخْلَاصِ وَبَيْنَمَا يُوجَدُ فِيهِ وَفِي غَيْرِهِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ عِنْدَ الْعَلَّامَةِ م ر تَبَعًا لِوَالِدِهِ وَهُوَ الْأَقْرَبُ... قَالَ الشَّيْخُ الْخَطِيبِ أَفْتَى شَيْخُنَا الشِّهَابُ الرَّمْلِيُّ أَنَّهُ لَوْ قَرَأَ الْقُرْآنَ جَمِيعَهُ لَا بِقَصْدِ الْقُرْآنِ جَازَ وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ خِلَافًا لِشَيْخِ الْإِسْلَامِ اهـ شَوْبَرِيٌّ.
“Dan tidak ada beda antara ayat yang tidak ada pemakainnya kecuali di dalam al-Qur’an semisal ayat kursi dan surat al-ikhlash dan ayat yang biasa dipakai di selain al-qur’an (semisal hamdalah atau basmalah) menurut pendapat yang Mu’tamad (yang bisa dibuat pegangan) yang dikemukakan oleh Imam Romli mengikuti pendapat ayahnya. Pendapat inilah yang lebih dekat.
Berkata syekh Khotib : Berfatwa syekh as-Syihab al-Romli bahwasannya jika membaca al-Qur’an selururhnya tidak dengan tujuan baca al-Qur’an boleh, dan inilah pendapat yang mu’tamad”
[Hasyiyah al Jamal ala Syarh al Manhaj I/157]
مسألة ى ) يكره حمل التفسير ومسه إن زاد على القرآن وإلا حرم. وتحرم قراءة القرآن على نحو جنب بقصد القراءة ولو مع غيرها لا مع الإطلاق على الراجح ولا بقصد غير القراءة كرد غلط وتعليم وتبرك ودعاء .
“[ Masalah ] Makruh membawa dan memegang Tafsir yang jumlahnya melebihi tulisan qurannya bila tidak maka haram. Dan haram membacanya bagi semisal orang junub bila bertujuan untuk membacanya meskipun alQurannya bersama tulisan lain tapi tidak haram baginya bila memutlakkan tujuannya menurut pendapat yang kuat dan juga tidak haram tanpa adanya tujuan membacanya seperti saat membenarkan bacaan yang salah, mengajar, mencari keberkahan dan berdoa”
[Bughyah Al Mustarsyidiin Halaman 26]
Walllahu A'lamu Bis Showaab
Musyawirin: Ismidar Abdurrahman As-Sanusi
Sumber:
FB: Group Ilmu Fiqih