Pertanyaan:
Aman Aman
Assalamualaikum wr wb
Bolehkah bermakmum pd sholat sunat apapun itu jenis sholat sunatnya, salam santun 🙏
Jawaban:
Ismidar Abdurrahman As-Sanusi
Walaikumsalam
Menurut Madzhab Syafi'i orang shalat fardhu bermakmum orang shalat sunah dan sebaliknya (orang shalat sunah bermakmum pada imam shalat fardhu) boleh dan sah, kalau berbeda jumlah raka'at misalnya imam salam sedangkan ia masih ada raka'at yang kurang maka cukup berdiri dan meneruskan shalat yang masih kurang tersebut.
يجوز للمفترض أن يأتم بالمتنفل، مثل: أن يصلي العشاء خلف من يصلي التراويح، فإذا سلم الإمام قام المأموم، فأتم صلاته.
ويجوز للمتنفل أن يأتم بالمفترض، كمن نوى أربع ركعات تطوعًا خلف من يصلي العشاء، ويجوز للمفترض أن يأتم بالمفترض في صلاة أخرى، كمن يصلي الظهر خلف من يصلي العصر، هذا مذهبنا، وبه قال عطاء، وطاوس، والأوزاعي، وأحمد، وإسحاق.
Diperbolehkan orang shalat fardhu bermakmum pada imam shalat sunah, contoh: Shalat Isya' dibelakang orang shalat tarawih, bila imam salam makmum berdiri menyempurnakan shalatnya. Boleh pula orang shalat sunah bermakmum pada imam shalat fardhu seperti shalat empat raka'at sunah dibelakang orang yang shalat isya' dan diperbolehkan juga orang yang Shalat fardhu bermakmum pada imam shalat fardhu lain (tidak sama) seperti shalat Dzuhur dibelakang shalat ashar, inilah Madzhab kami,, 'Atho', Thowus, Al Auza'i, Ahmad dan Ishaq.
[Al Bayaan II/410]
Walllahu A'lamu Bis Showaab
Wasrip Abdullah
semoga Allah SWT menambahkan pemahaman dan amaliah agama yang baik kepada kita semua. Dalam masalah ini ada beberapa hal yang penting diperhatikan. Pertama, kita memantapkan diri bahwa shalat demikian sah, sehingga tidak perlu memberitahukan kepadanya perihal shalat kita. Ini mengikuti Mazhab Syafiiyah yang membolehkan kita melaksanakan shalat fardhu dengan bermakmum kepada orang yang shalat sunnah. Demikian sebaliknya, orang yang shalat fardhu tertentu juga sah untuk bermakmum kepada orang yang shalat fardhu lainnya (seperti orang shalat zuhur kepada orang shalat ashar). Imam As-Syirazi dalam Kitabnya Al-Muhadzdzab menerangkan sebagai berikut: وَيَجُوْزُ أَنْ يَأْتَمَّ الْمُفْتَرِضُ بِالْمُتَنَفِّلِ، وَالْمُفْتَرِضُ بِمُفْتَرِضٍ فِيْ صَلَاةٍ أُخْرَى؛} لِمَا رَوَى جَابِرُ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ مُعَاذًا رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ يُصَلِّيْ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ﷺ اَلْعِشَاءَ الْأَخِرَةَ ثُمَّ يَأْتِيْ قَوْمَهُ فِيْ بَنِيْ سَلِمَةَ فَيُصَلِّيْ بِهِمْ هِيَ لَهُ تَطَوُّعٌ وَلَهُمْ فَرِيْضَةُ الْعِشَاءِ {وَلِأَنَّ اْلِاقْتِدَاءَ يَقَعُ فِي الْأَفْعَالِ الظَّاهِرَةِ، وَذَلِكَ يَكُوْنُ مَعَ اخْتِلَافِ النِّيَّةِ... Artinya, “Boleh seorang yang shalat fardhu bermakmum kepada orang yang shalat sunnah, dan orang yang shalat fardhu bermakmum kepada orang yang shalat fardhu dalam shalat yang lain berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah RA bahwa Mu’adz RA melakukan shalat Isya’ di waktu akhir bersama Rasulullah SAW, kemudian ia mendatangi kaumnya di Bani Salimah lantas menjadi imam shalat bersama mereka, shalat itu baginya (hukumnya) merupakan shalat sunnah, sementara bagi mereka merupakan shalat Isya’ fardhu; di samping itu karena bermakmum tersebut terjadi dalam perbuatan-perbuatan yang zahir, padahal perkara itu berbeda niatnya... (Lihat Imam As-Syirazi, Al-Muhadzdzab dalam An-Nawawi, Al-Majmu’, [Jeddah, Maktabah Al-Irsyad: tanpa catatan tahun], juz IV, halaman 167). Kedua, niat imamah, yakni niat menjadi imam dalam shalat ini agar mendapatkan fadhilah shalat jamaah. Niat imamah dalam shalat berjamaah hukumnya sunnah, kecuali dalam shalat Jumat hukumnya wajib. يَنْبَغِي لِلْإِمَامِ أَنْ يَنْوِيَ الْإِمَامَةَ فَإِنْ لَمْ يَنْوِهَا صَحَّتْ صَلَاتُهُ وَصَلَاةُ الْمَأْمُومِينَ وَالصَّوَابُ : أَنَّ نِيَّةَ الْإِمَامَةِ لَا تَجِبُ، وَلَا تُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ الِاقْتِدَاءِ وَبِهِ قَطَعَ جَمَاهِيْرُ أَصْحَابِنَا، وَسَوَاءٌ اقْتَدَى بِهِ رِجَالٌ أَمْ نِسَاءٌ ، لَكِنْ يَحْصُلُ فَضِيلَةُ الْجَمَاعَةِ لِلْمَأْمُوْمَيْنِ، وَفِيْ حُصُوْلِهَا لِلْإِمَامِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ Artinya, “Seyogianya imam niat menjadi imam, jika ia tidak niat menjadi imam, maka sah shalatnya dan shalatnya makmum. Yang benar adalah bahwa niat imamah tidaklah wajib, dan niat imamah tidaklah disyaratkan untuk keabsahan bermakmum, pendapat ini telah ditetapkan oleh Jumhur madzhab Syafiiyah, tidak disyaratkan niat imamah tersebut, baik makmumnya para pria, maupun makmumnya para wanita, meskipun demikian mereka tetap mendapatkan fadhilah berjamaah. Tetapi mengenai imam mendapatkan fadhilah jamaahnya atau tidak, ada tiga pendapat, (tidak mendapat fadhilah jamaah, mendapat fadhilah jamaah, mendapat fadhilah jamaah jika tahu dan lalu pasang niat imamah), (Lihat An-Nawawi, Al-Majmu’ [Jedah, Maktabah Al-Irsyad: tanpa catatan tahun], juz IV, halaman 98). Ketiga, bacaan shalatnya. Perhatikan ketentuan mengenai bacaan surat Al-Fatihah dan surat setelahnya dibaca jahar (keras, nyaring) atau sirr (tidak keras, tidak nyaring), sebagai berikut: وَأَمَّا نَوَافِلُ النَّهَارِ فَيُسَنُّ فِيْهَا الْإِسْرَارُ بِلَا خِلَافٍ، وَأَمَّا نَوَافِلُ اللَّيْلِ غَيْرَ التَّرَاوِيْحِ فَقَالَ صَاحِبُ التَّتِمَّةِ: يُجْهَرُ فِيْهَا، وَقَالَ الْقَاضِيْ حُسَيْنٌ وَصَاحِبُ التَّهْذِيْبِ: يُتَوَسَّطُ بَيْنَ الْجَهْرِ وَالْإِسْرَارِ، وَأَمَّا السُّنَنُ الرَّاتِبَةُ مَعَ الْفَرَائِضِ : فَيُسَرُّ بِهَا كُلِّهَا بِاتِّفَاقِ أَصْحَابِنَا . وَنَقَلَ الْقَاضِيْ عِيَاضٌ فِي شَرْحِ مُسْلِمٍ عَنْ بَعْضِ السَّلَفِ الْجَهْرَ فِي سُنَّةِ الصُّبْحِ، وَعَنِ الْجُمْهُوْرِ الْإِسْرَارَ كَمَذْهَبِنَا Artinya, “Adapun dalam shalat sunnah siang hari, maka disunnahkan dibaca sirr tanpa ada khilaf (perbedaan pendapat). Adapun shalat sunnah malam hari selain shalat Tarawih, maka penulis kitab at-Tatimmah mengatakan: dibaca jahar (keras, nyaring); tetapi Al-Qadhi Husain dan penulis Kitab At-Tahdzib berkata bahwa bacaan dilakukan secara sedang antara jahar (keras, nyaring) dan sirr (tidak keras, tidak nyaring). Sementara shalat-shalat sunnah rawatib yang mengiringi shalat fardhu: maka dilakukan dengan bacaan sirr, berdasarkan kesepakatan para kolega kami (madzhab Syafiiyah). Al-Qadhi ‘Iyadh dalam Syarah Shahih Muslim mengutip pendapat sebagian ulama salaf mengenai menjaharkan bacaan dalam shalat sunnah rawatib subuh, dan pendapat mayoritas ulama bahwa bacaan dalam shalat sunnah subuh tetap sirr (tidak nyaring), sama seperti pendapat madzhab kami (Syafiiyah),” (Lihat An-Nawawi, al-Majmu’, [Jedah, Maktabah Al-Irsyad: tanpa catatan tahun], juz III,
Ismidar Abdurrahman As-Sanusi
Sedikit koreksi jawaban saudara Safri Al Makassari yang mengatakan bermakmum pada imam shalat sunah tidak dapat keutamaan jamaah sungguh dibantah oleh Imam Romli yang mengatakan bermakmum pada imam shalat sunah dihukumi makruh tapi tetap mendapatkan keutamaan jama'ah.
Adapun menanggapi pertanyaan Sohibul Status Aman Aman yaitu beliau menanyakan tentang bermakmum orang yang shalat Qodho maka jawabannya boleh tapi makruh dan tetap mendapatkan keutamaan jama'ah.
قَالَ شَيْخُنَا م ر: وَمَعَ الْكَرَاهَةِ تَحْصُلُ فَضِيلَةُ الْجَمَاعَةِ كَفَرْضٍ خَلْفَ نَفْلٍ وَعَكْسِهِ، وَمُؤَدَّاةٍ خَلْفَ مَقْضِيَّةٍ وَعَكْسِهِ وَفِيهِ نَظَرٌ اهـ.
Berkata Guru kami Muhammad Romli "Beserta makruh yang mendapatkan keutamaan jama'ah seperti shalat fardhu dibelakang shalat sunah dan sebaliknya, shalat ada' dibelakang shalat Qodho dan sebaliknya, dan dalam masalah tersebut ada pemikiran.
[Hasyiyah Bujairimi ala al Khotib II/123]
Walllahu A'lamu Bis Showaab
Link Diskusi: