Pertanyaan:
Assalamu'alaikum 🙏
Mohon maaf mohon penjelasannya
Mengenai bagaimana hukum nya bila seorang istri yg sedang nifas sedangkan suami menginginkan untuk bersegama kalo menolak kita takut berdosa sedangkan kalo kita bersegama kita sedang nifas bagai mana hukum fiqih nya
[Annisa Humairah]
Jawaban:
Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh
Pada dasarnya seorang istri wajib mentaati perintah suami termasuk diantaranya bila suami menginginkan kikuk² 😂 maka istri harus melayaninya, bahkan bila tidak melayani tergolong nusyuz (durhaka) yang menyebabkan nafkah istri menjadi gugur atas suaminya. Dasar tidak boleh istri menolak ajakan suaminya untuk kikuk² dijelaskan Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam dalam sabdanya:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ اِمْرَأَتَهُ إِلىَ فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ.
Jika seorang lelaki mengajak istrinya ke tempat tidurnya kemudian ia enggan dan menolaknya hingga suaminya tidur dalam keadaan marah kepadanya, maka malaikat melaknat istri tersebut sampai pagi hari.
Sungguh pun demikian, itu semua tidak mutlak, istri bisa dikatakan nusyuz disebabkan tidak mau melayani suaminya kalau istri dalam keadaan udzur seperti sakit dan haid, dalam dua keadaan ini istri boleh menolak, namun sekarang, apakah bersetubuh dalam keadaan nifas sama halnya bersetubuh dalam keadaan haid? Para Ulama sudah sepakat bahwa hukum orang nifas berhukum haid termasuk diantaranya permasalahan bersetubuh, oleh karena itu, kalau suami menginginkan kikuk² sementara istri dalam keadaan nifas maka istri berhak menolak bahkan perintah suami itu dikategorikan maksiat artinya menentang hukum syariat yang pada dasarnya tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah.
Dengan demikian, istri menolak ajakan suaminya saat dia dalam keadaan nifas itu boleh bahkan wajib karena perintah Allah lebih didahulukan dari perintah Manusia.
وَتَسْقُطُ ) النَّفَقَةُ ( بِنُشُوزٍ ) أَيْ خُرُوجٍ عَنْ طَاعَةِ الزَّوْجِ . ( وَلَوْ بِمَنْعِ لَمْسٍ بِلَا عُذْرٍ ) أَيْ تَسْقُطُ نَفَقَةُ كُلَّ يَوْمٍ بِالنُّشُوزِ بِلَا عُذْرٍ فِي كُلِّهِ ، وَكَذَا فِي بَعْضِهِ فِي الْأَصَحِّ وَنُشُوزُ الْمَجْنُونَةِ وَالْمُرَاهِقَةِ كَالْعَاقِلَةِ الْبَالِغَةِ ، ( وَعَبَالَةِ زَوْجٍ ) أَيْ كِبَرِ آلَتِهِ بِحَيْثُ لَا تَحْمِلُهَا الزَّوْجَةُ ، ( أَوْ مَرَضٍ ) بِهَا ( يَضُرُّ مَعَهُ الْوَطْءُ عُذْرٌ ) فِي النُّشُوزِ عَنْ الْوَطْءِ .
Dan nafkah seorang istri menjadi gugur (tidak wajib) bagi suami akibat NUSYUZ (tidak patuhnya istri pada perintah suami) meskipun akibat menolak disentuh tanpa adanya udzur syari, atau terlalu besarnya kemaluan suami sekira istri tidak mampu menanggungnya, atau sebab sakit yang membuatnya riskan menjalani senggama. [ Hasyiyah al-Qolyuuby IV/79 ].
وَهَذَا الَّذِي ذَكَرْنَاهُ مِنْ أَنَّ النُّفَسَاءَ لَهَا حُكْمُ الْحَائِضِ لا خلاف فيه ونقل ابن جريج إجْمَاعَ الْمُسْلِمِينَ عَلَيْهِ وَنَقَلَ الْمَحَامِلِيُّ اتِّفَاقَ أَصْحَابِنَا عَلَى أَنَّ حُكْمَهَا حُكْمُ الْحَائِضِ فِي كُلِّ شئ وَلَا بُدَّ مِنْ اسْتِثْنَاءِ مَا ذَكَرْتُهُ أَوَّلًا وَاَللَّهُ أَعْلَمُ
“Ini yang kami tuturkan bahwa wanita nifas berhukum haid tanpa ada khilaf dan Ibn Juraij telah menuqil Ijma' Ulama mengenai hal tersebut, Al Mahaamili menuqil kesepakatan sahabat kami bahwasanya nifas berhukum haid pada setiap hal dan tidak ada pengecualian sama sekali”
[Al Majmuu' Syarh al Muhadzdzab II/520]
اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى حُرْمَةِ وَطْءِ النُّفَسَاءِ فِي الْفَرْجِ، وَأَنَّ حُكْمَ دَمِ النِّفَاسِ (4) فِي حَظْرِ الْوَطْءِ وَفِي اقْتِضَاءِ الْغُسْل بَعْدَهُ وَوُجُوبِ الْكَفَّارَةِ - حُكْمُ الْحَيْضِ اتِّفَاقًا وَاخْتِلاَفًا (5) .
“Ulama Fiqih sudah sepakat bahwa haram menyetubuhi (istri) dalam keadaan nifas pada farji dan bahwasanya hukum darah nifas dalam permasalahan bersetubuh, memerlukan mandi sesudahnya dan wajib Kaffarah berhukum haid dengan kesepakatan dan perselisihan Ulama”
[Al Mausu'ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah XXXXIV/19]
Walllahu A'lamu Bis Showaab
[Ismidar Abdurrahman As-Sanusi]
Link Diskusi: