1031. HUKUM MENGERJAKAN SHALAT SUNAH SETELAH SHALAT WITIR




Pertanyaan:
Mau tanya apakah boleh sholat lagi setelah sholat witir?
[Aji Prastyo]

Jawaban:
.
Boleh, tapi kalau witir dulu kemudian tahajjud atau shalat sunat lain maka witirnya tidak diulang kalau mengulang witirnya tidak sah.


فَإِنْ أَوْتَرَ ثَمَّ تَهَجَّدَ) أَوْ عَكَسَ لَمْ يَتَهَجَّدْ أَصْلًا (لَمْ يُعِدْهُ) أَيْ لَمْ يُنْدَبْ أَيْ يُشْرَعْ لَهُ إعَادَتُهُ، فَإِنْ أَعَادَهُ بِنِيَّةِ الْوِتْرِ فَالْقِيَاسُ بُطْلَانُهُ مِنْ الْعَالِمِ بِالنَّهْيِ الْآتِي وَإِلَّا وَقَعَ لَهُ نَفْلًا مُطْلَقًا وَذَلِكَ لِلْخَبَرِ الصَّحِيحِ «لَا وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ» وَلَا يُكْرَهُ تَهَجُّدٌ وَلَا غَيْرُهُ بَعْدَ وِتْرٍ لَكِنْ يَنْبَغِي تَأْخِيرُهُ عَنْهُ
_________
(قَوْلُهُ: لَكِنْ يَنْبَغِي تَأْخِيرُهُ) أَيْ الْوِتْرِ (عَنْهُ) أَيْ عَمَّا ذُكِرَ مِنْ التَّهَجُّدِ وَغَيْرِهِ
Bila mana mengerjakan witir dulu baru tahajjud tidak diulang witirnya, artinya tidak sunah mengulanginya, maka jika mengulanginya dengan niat witir batal shalatnya bila mengetahui larangannya bila tidak tahu menjadi shalat sunah mutlak, hal ini berdasarkan hadits yang Shahih “Tidak ada dua witir dalam satu malam “, tidak dimakruhkan melakukan tahajjud dan selainnya sesudah witir namun sebaiknya mengakhirkannya darinya
(Ucapan Mushonnif: namun sebaiknya mengakhirkannya) artinya witir (darinya) yang dikemukakan yaitu tahajjud dan selainnya.
[Tuhfah Al Muhtaaj Wa Hawaasyi as Syarwani Wa Al 'Ubaadiy II/229-230]



فَإِنْ أَوْتَرَ ثُمَّ تَهَجَّدَ) وَكَذَا إنْ لَمْ يَتَهَجَّدْ (لَمْ يُعِدْهُ) أَيْ الْوِتْرَ ثَانِيًا: أَيْ لَا يُسَنُّ لَهُ إعَادَتُهُ لِخَبَرِ «لَا وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ» وَالْأَصْلُ فِي الصَّلَاةِ إذَا لَمْ تَكُنْ مَطْلُوبَةً عَدَمُ الِانْعِقَادِ فَلَوْ أَوْتَرَ ثَانِيًا لَمْ يَصِحَّ وِتْرُهُ 
Bila mana witir dulu kemudian baru tahajjud demikian pula bila tidak melakukan tahajjud (tidak diulang) artinya witir yang kedua artinya tidak disunahkan mengulanginya berdasarkan hadits “Tidak ada dua witir dalam satu malam “ , pada asalnya shalat yang tidak dituntut dilakukan tidak sah bila dilakukan maka jikalau melakukan witir yang kedua tidak sah witirnya.
[Mughni al Muhtaaj I/453]



قَوْلُهُ أَيْضًا وَلَا يُعَادُ نَدْبًا) أَيْ: لَا تُطْلَبُ إعَادَتُهُ فَإِنْ أَعَادَهُ بِنِيَّةِ الْوِتْرِ عَامِدًا عَالِمًا حَرُمَ عَلَيْهِ ذَلِكَ وَلَمْ يَنْعَقِدْ كَمَا أَفْتَى بِهِ الْوَالِدُ - رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى - نَعَمْ إنْ أَعَادَهُ جَاهِلًا أَوْ نَاسِيًا وَقَعَ نَفْلًا مُطْلَقًا كَإِحْرَامِهِ بِالظُّهْرِ قَبْلَ الزَّوَالِ غَالِطًا اهـ شَرْحُ م ر.
(Ucapan Mushonnif: Dan tidak sunan mengulang) artinya tidak dituntut mengulanginya, andaikan mengulanginya dengan niat witir secara sengaja lagi mengetahui keharamannya tidak sah seperti difatwakan Al Waalid - Rahimahullahu Ta'ala -, Memang! Jika mengulanginya karena tidak tahu atau lupa menjadi sunah mutlak seperti ihram Dzuhur sebelum tergelincir matahari karena keliru, demikian penjelasan Imam Romli.
[Hasyiyah al Jamal ala Syarh al Manhaj I/484]

Wallahu A'lamu Bis Showaab

(Dijawab oleh : Ismidar Abdurrahman As-Sanusi)

Komentari

Lebih baru Lebih lama