1252. MASALAH MENSUCIKAN RAMBUT DAN KUKU YANG TERLEPAS SEBELUM MANDI WAJIB

Sumber gambar: Bincang Syariah



Pertanyaan:
Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh guru izin meminta penjelasan 2 pendapat terkait rambut rontok atau kuku prempuan haid ikut di sucikan ketika selesai, dan ada juga pendapat yang tidak perlu di ikut sucikan
[إعانة الطالبين Via Group WA]

Jawaban:
Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh

Entah darimana asalnya ada sebagian orang berpendapat bagi wanita haid atau umumnya hadats besar semacam orang junub bila mereka memisahkan sebagian anggota tubuh mereka semacam kuku sebelum mandi wajib maka semacam kuku itu harus ikut disucikan ketika mandi wajib.

Kalaupun alasannya berpijak pada pendapat sebagian Ulama Syafi'iyah yang menyebutkan anggota yang lepas sebelum mandi wajib minta pertanggungjawaban diakhirat kelak atau anggota itu akan kembali junub maka anggota yang terpisah itu tidak hilang janabahnya atau hukum hadats besar dengan memandikannya.

Oleh karena itu saya katakan kepada istri saya bila mau mensucikan semacam rambut itu silahkan tapi sebenarnya juga tidak ada keharusan. Lagi pula ketika mandi wajib yang wajib disampaikan air ialah tempat tumbuh rambut yang terpisah sebelum mandi, karenanya rambut yang lepas sebelum mandi tidak ada keharusan memandikannya. Inilah yang dipaparkan Syeikh Sayyid Bakri Syata Dimyati dalam I'aanah sebagai komen pernyataan Syeikh Zainuddin Al Malibari. Sungguh pun demikian, Imam Nawawi dalam kitab Roudhoh menyatakan bahwa bila orang yang mandi wajib sementara ketika mandi ia mencabut rambutnya yang belum kena air maka pendapat yang paling shahih cukup membasuh tempat tumbuh rambut itu artinya bagian kulit kepala sedangkan bagian yang lepas tidak perlu disucikan meskipun ada pendapat yang mengatakan harus disucikan.

Dari Ulasan yang diterangkan diatas tentu dapat diambil i'tibarnya bahwa berpijak pada pendapat yang paling shahih dan diterangkan sebagian Ulama Syafi'iyah seperti Syeikh Sayyid Bakri Syata Dimyati dan Syeikh Zainuddin Al Malibari tidak wajib membasuh anggota yang lepas sebelum mandi, kendatipun ada yang berpendapat harus disucikan. Terlebih bagi wanita haid dan junub berpijak pada pendapat sebagian Ulama Syafi'iyah yang menyebutkan anggota yang lepas sebelum mandi akan kembali berjunub, tetapi Kalau pun dia dihukumi junub keadaannya tidak hilang dengan memandikannya.

• Redaksi Kitab:

وَأَنْ لَا يُزِيلَ ذُو حَدَثٍ أَكْبَرَ قَبْلَهُ شَيْئًا مِنْ بَدَنِهِ وَلَوْ نَحْوَ دَمٍ قَالَ الْغَزَالِيُّ لِأَنَّ أَجْزَاءَهُ تَعُودُ إلَيْهِ فِي الْآخِرَةِ بِوَصْفِ الْجَنَابَةِ وَيُقَالُ إنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُهُ بِجَنَابَتِهَا 
 (قَوْلُهُ لِأَنَّ أَجْزَاءَهُ إلَخْ) ظَاهِرُ هَذَا الصَّنِيعِ أَنَّ الْأَجْزَاءَ الْمُنْفَصِلَةَ قَبْلَ الِاغْتِسَالِ لَا يَرْتَفِعُ جَنَابَتُهَا بِغَسْلِهَا سم عَلَى حَجّ اهـ.
“(Seharusnya) tidak menghilangkan sesuatu dari bagian tubuh bagi orang yang ada hadats besar walaupun semacam darah. Al Ghazali berkata: Karena anggota itu akan dikembalikan kepadanya di akhirat Dalam keadaan junub, dikatakan: Setiap rambut akan menuntutnya sebab janabahnya.

(Pernyataan "Karena anggota dst") Secara dzohir perbuatan ini bahwa anggota badan yang lepas sebelum mandi janabahnya tidak terangkat dengan memandikannya”
[Tuhfah al Muhtaaj Wa Hawaasyi as Syarwani I/284]

وَ ) ثاَنِيْهِمَا ( تَعْمِيْمُ ) ظَاهِرُ ( بَدَنٍ حَتىَّ ) َاْلأَظْفاَرَ وَماَ تَحْتَهاَ وَ ( الشَّعْرَ ) ظَاهِرًا وَباَطِناً وَإِنْ كَثِفَ وَماَ ظَهَرَ مِنْ نَحْوِ مَنْبَتِ شَعْرَةٍ زَالَتْ قَبْلَ غَسْلِهاَ
وقوله: من نحو منبت شعرة لعل نحو ذلك هو منبت ظفر أزيل.
(قوله: زالت) أي الشعرة.
وقوله: قبل غسلها فإن زالت بعده لا يجب غسله
“(Fardhu mandi yang) kedua adalah meratakan air pada seluruh anggota badan yang zahir (yang tampak) hingga ke kuku dan ke bagian bawah kuku, dan juga hingga ke rambut bagian luar dan dalam, yaitu tempat tumbuhnya rambut yang telah lepas sebelum mandi.

Pernyataan "Yaitu tempat tumbuhnya rambut" Barang kali semacam (tempat tumbuh rambut) itu adalah tempat tumbuh kuku yang lepas.
(Pernyataan "Yang lepas") artinya rambut.
(Pernyataan "Sebelum mandi") Bila lepas sesudah mandi tidak wajib membasuhnya (meratakan air pada tempat tumbuh rambut atau kuku)”
[I'aanah at Thoolibiin I/74, Cet. Al Haromain/ I/81 Apk]

وَلَوْ غَسَلَ بَدَنَهُ إِلَّا شَعْرَةً أَوْ شَعْرَاتٍ ثُمَّ نَتَفَهَا، قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِنْ كَانَ الْمَاءُ وَصَلَ أَصْلَهَا، أَجْزَأَهُ، وَإِلَّا لَزِمَهُ إِيصَالُهُ إِلَيْهِ. وَفِي فَتَاوَى ابْنِ الصَّبَّاغِ: يَجِبُ غَسْلُ مَا ظَهَرَ، وَهُوَ الْأَصَحُّ. وَفِي (الْبَيَانِ) وَجْهَانِ. أَحَدُهُمَا: يَجِبُ. وَالثَّانِي: لَا لِفَوَاتِ مَا يَجِبُ غَسْلُهُ، كَمَنْ تَوَضَّأَ وَتَرَكَ رِجْلَهُ فَقُطِعَتْ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
“Seandainya seseorang membasuh seluruh badannya (ketika mandi wajib) kecuali sehelai atau beberapa helai rambut (bulu), lalu ia mencabut rambut itu (sebelum dibasuh), maka Imam Mawardi berpendapat, ‘Jika air dapat sampai ke akar helai itu (yang masih tertanam dalam tubuh), maka sudah dianggap cukup dan memadai untuk memenuhi keabsahan mandi wajib. Akan tetapi jika ternyata air tidak sampai, maka ia mesti menyampaikan air ke dasar rambut (yang sudah lepas) itu.’ Sedangkan fatwa Ibn al-Shabagh menyebutkan, ‘Wajib membasuh bagian yang tampak saja.’ Pendapat ini lebih sahih. Sementara dalam kitab al-Bayan (karangan al-Imrani yang juga merupakan syarah/komentar atas kitab al-Muhadzzab Imam al-Syirazi) menyebutkan dua pendapat. Pendapat pertama, wajib hukumnya (membasuh bagian tubuh yang terlepas). Pendapat kedua, hukumnya tidak wajib. Alasannya adalah karena bagian yang mesti dan akan dibasuh itu telah hilang. Ini sama halnya dengan orang yang berwudhu, tetapi tidak sempat membasuh kakinya, lalu kaki itu diamputasi.”
[Roudhoh at Thoolibiin I/91]

Wallahu A'lamu Bis Showaab

(Dijawab oleh: Ismidar Abdurrahman As-Sanusi)

Komentari

Lebih baru Lebih lama