1264. JUAL BELI YANG DILAKUKAN ANAK KECIL

Sumber gambar: Konsultasi Syari'ah


Pertanyaan:
Assalamu'alaikum wr wb..

mau tanya pda para ustadz ustadzah.. 
apa hukum nya jual beli pda ank ank yg blm tamyiz..

mksih.. wassalamu'alaikum🙏😊
[Shobahul Khoir]

Jawaban:
Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh

Pendapat yang ditetapkan dalam Madzhab Syafi'i tidak sah transaksi yang dilakukan anak kecil baik dia sudah mumayyiz atau belum, baik untuk dirinya maupun orang lain. Meskipun demikian, sebagian Ulama memasukkan transaksi anak kecil pada masalah Bai'Mu'athoh yaitu jual beli tanpa ijab qobul asal barang yang dibelinya termasuk remeh. Sebagian Ulama seperti Syeikh Taqiyuddin Al Husni memberikan tafsilan yakni bila saling Ridha maka jual beli tersebut sah, bahkan sebagian Ulama selain Syafi'iyah mengabsahkan jual beli anak kecil Meskipun tanpa izin walinya dan walaupun dengan jumlah yang banyak.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa transaksi semacam menjual atau membeli yang dilakukan oleh anak kecil menurut pendapat Madzhab Syafi'i tidak sah baik anak kecil sudah mumayyiz atau belum, kendatipun ada pendapat yang mengabsahkan dengan disamakan dengan Bai'Mu'athoh asal yang dibeli barang remeh atau sudah berlaku adat saling Ridha, bahkan anak kecil membeli sesuatu sudah berlaku sejak dulu karenanya hendaknya sah meskipun dengan mengikuti pendapat selain Syafi'iyah. Kalaupun bisa hendaknya jual beli dilakukan oleh orang dewasa untuk mencegah terjadinya hal yang tidak diinginkan.

وَأَمَّا) الصَّبِيُّ فَلَا يَصِحُّ بَيْعُهُ وَلَا شِرَاؤُهُ وَلَا إجَارَتُهُ وَسَائِرُ عُقُودِهِ لَا لِنَفْسِهِ وَلَا لِغَيْرِهِ سواء بَاعَ بِغَبْنٍ أَوْ بِغِبْطَةٍ وَسَوَاءٌ كَانَ مُمَيِّزًا أو غيره وسواء بِإِذْنِ الْوَلِيِّ أَوْ بِغَيْرِ إذْنِهِ
“Adapun anak kecil maka tidak sah, memenuhi kebutuhan, Ijarah dan transaksi lainnya, tidak untuk dirinya maupun orang lain, baik dia sudah mumayyiz atau selainnya, baik dengan izin wali atau dengan izinnya”
[Al Majmuu' Syarh al Muhadzdzab IX/156]

فَرْعٌ)
فِي مَذَاهِبِ الْعُلَمَاءِ فِي بَيْعِ الصَّبِيِّ الْمُمَيِّزِ
* قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَنَا أَنَّهُ لَا يَصِحُّ سَوَاءٌ أَذِنَ لَهُ الْوَلِيُّ أَمْ لَا وَبِهِ قَالَ أَبُو ثَوْرٍ
* وَقَالَ الثَّوْرِيُّ وَأَبُو حَنِيفَةَ وأحمد واسحق يَصِحُّ بَيْعُهُ وَشِرَاؤُهُ بِإِذْنِ وَلِيِّهِ
* وَعَنْ أَبِي حَنِيفَةَ رِوَايَةٌ أَنَّهُ يَجُوزُ بِغَيْرِ إذْنِهِ وَيَقِفُ عَلَى إجَازَةِ الْوَلِيِّ قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ وَأَجَازَ أحمد واسحق بيعه وشراءه في الشئ الْيَسِيرِ يَعْنِي بِلَا إذْنٍ
* دَلِيلُنَا مَا ذَكَرَهُ المصنف

“(CABANG)
Madzhab-Madzab Ulama tentang jual beli anak kecil yang mumayyiz.

Telah kami tuturkan bahwa Madzhab kami tidak sah , baik dengan izin wali atau tidak, berpendapat pula Abu Tsur. Sedangkan Tsauriy, Abu Hanifah, Ahmad dan Ishaq mengabsahkannya dengan izin wali. Dari Abu Hanifah berdasarkan riwayat darinya boleh tanpa izin walinya dan terhenti atas Ijarah wali. Berkata Ibn Mundzir : Ahmad dan Ishaq membolehkan jual-beli anak pada sesuatu yang tergolong sedikit yakni tanpa izin. Dalil kami Sebagaimana dikemukakan pengarang”
[Al Majmuu' Syarh al Muhadzdzab IX/158]

[فائدة]: قال في القلائد: نقل أبو فضل في شرح القواعد عن الجوزي الإجماع على جواز إرسال الصبي لقضاء الحوائج الحقيرة وشرائها ونقل في المجموع صحة بيعه وشرائه الشيء اليسير عن أحمد وإسحاق بغير إذن وليه وبإذنه حتى في الكثير عنهما، وعن الثوري وأبي حنيفة، وعنه رواية ولو بغير إذنه
“(Faidah): Dalam Kitab Al Qolaaid: Abu Fadhal telah menukil dalam kitab Syarah al-Qawa’id, dari Al-Jauzi: Ijma’ ulama menyatakan bolehnya mengutus anak kecil (shabî) untuk memenuhi beberapa kebutuhan dan membeli perkara yang remeh. Abu Fadlal juga menukil dari Kitab al Majmu’ tentang sah jual belinya anak kecil, termasuk membeli sesuatu dengan jumlah sedikit. Imam Ahmad dan Ishaq menambahi: baik tanpa seidzin wali maupun dengan idzinnya sehingga banyak jumlahnya. Dinukil dari Al-Tsaury dan Abu Hanifah ada sebuah riwayat: meskipun tanpa seizin wali”
[Bughyah al Mustarsyidiin Halaman 203, Daar al Fikr]

وَمِمَّا عَمت بِهِ الْبلوى بعثان الصغار لشراء الْحَوَائِج وأطردت فِيهِ الْعَادة فِي سَائِر الْبِلَاد وَقد تَدْعُو الضَّرُورَة إِلَى ذَلِك فَيَنْبَغِي إِلْحَاق ذَلِك بالمعاطاة إِذا كَانَ الحكم دائراً مَعَ الْعرف مَعَ أَن الْمُعْتَبر فِي ذَلِك التَّرَاضِي ليخرج بالصيغة عَن أكل مَال الْغَيْر بِالْبَاطِلِ فَإِنَّهَا دَالَّة على الرِّضَا فَإِذا وجد الْمَعْنى الَّذِي اشْترطت الصِّيغَة لأَجله فَيَنْبَغِي أَن يكون هُوَ الْمُعْتَمد بِشَرْط أَن يكون الْمَأْخُوذ يعدل الثّمن وَقد كَانَت المغيبات يبْعَثْنَ الْجَوَارِي والغلمان فِي زمن عمر بن الْخطاب رَضِي الله عَنهُ لشراء الْحَوَائِج فَلَا يُنكره وَكَذَا فِي زمن غَيره من السّلف وَالْخلف وَالله أعلم
“Termasuk dari fakta kejadian umum (balwa) yang berlaku di masyarakat adalah disuruhnya anak kecil untuk membeli beberapa kebutuhan. Adat ini sudah berlaku di semua negara dan seperti sudah berjalan pasti karena kebutuhan (dlarurat). Oleh karenanya, sepatutnya dalam menyikapi hal ini perlu menyamakan hukum masalah ini dengan jual beli mu’athah. Hal ini ditengarai ketika ada indikasi bahwa hukum berjalan beriringan dengan adat kebiasaan setempat yang mana hal yang diarusutamakan adalah unsur saling ridha dalam jual beli. (Mengapa demikian?) Agar supaya keharusan jual beli disertai dengan shighat menjadi terkecualikan dari alasan memakan harta orang lain dengan jalan bathil. Karena sesungguhnya inti dari shighat adalah menunjukkan keridhaan. Sehingga, jika sudah ditemukan maksud dari disyaratkannya shighat karenanya (yakni: saling ridha), maka alangkah baiknya jika pendapat yang paling ditekankan adalah maksud (mencari ridha itu), dengan catatan: jika barang yang diambil anak kecil adalah sebanding dengan harganya.”
[Kifaayah al Akhyaar Halaman 233]

Wallahu A'lamu Bis Showaab

(Dijawab oleh: Ismidar Abdurrahman As-Sanusi)

Link Diskusi:

Komentari

Lebih baru Lebih lama