Pertanyaan:
Assalamualaikum saudara saudaraku...maaf mau bertanya " ada seorang laki laki perjaka nikah dengan janda ...dan janda punya anak permpuan, la apakah anak perempuan tadi bersalaman dengan ayah baru nya ini apakah membatalkan wudhu ?
Mohon penjelasan kang mas ...saya dari boyolali jateng
[Ummu Azhura Azhura]
Jawaban:
Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh.
Sebenar nya titik tekan masalah batal atau tidak wudhu persentuhan antara anak tiri dan ayah tiri itu apakah keduanya mahram? Kalau mahram jelas tidak batal menurut madzhab Syafi'i kecuali syahwat sebab perkara yang membatalkan wudhu dalam Madzhab Syafi'i persentuhan yang terjadi antara non mahram kalau mahram tidak batal. Sekarang masalahnya apakah ayah tiri Mahram dengan anak tirinya?
Para Ulama menyebutkan bahwa ayah tiri Mahram dengan anak tirinya jikalau ayah tiri sudah mendukhul mamak dari anak tersebut. Kemudian Ulama berselisih pendapat apa yang dimaksud "Dukhul", yang dipilih Mayoritas Ulama ialah menjima'nya tidak cukup hanya sekedar akad nikah saja, sebab bila ayah tiri sudah menikahi mamak dari anak tirinya dan sudah diceraikan tanpa menjima'nya maka halal ayah tiri menikahi anak tirinya, hal ini semakin jelas bahwa yang dimaksud "Dukhul" adalah jima'.
Tentang status Kemahraman Ayah Tiri dengan anak tirinya diterangkan Allah Subhanahuwataala dalam firman-nya:
وَرَبَائِبكُمْ اللَّاتِي فِي حُجُوركُمْ مِنْ نِسَائِكُمْ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاح عَلَيْكُمْ
Artinya: "Anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya)"
(QS. An-Nisa': Ayat 23)
Allah Subhanahuwataala menyebutkan perempuan-perempuan yang diharamkan dinikahi termasuk anak tiri yang ibunya sudah dicampuri, ini jelas menunjukkan ayah tiri dengan anak tirinya Mahram kalau sudah campur dengan istri, di Awal sudah saya jelaskan bahwa Ulama khilaf tentang Dukhul atau campur, berikut tafsirnya:
وَأَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ الرَّجُلَ إِذَا تَزَوَّجَ الْمَرْأَةَ ثُمَّ طَلَّقَهَا أَوْ مَاتَتْ قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا حَلَّ لَهُ نِكَاحُ ابْنَتِهَا. وَاخْتَلَفُوا فِي مَعْنَى الدُّخُولِ بِالْأُمَّهَاتِ الَّذِي يَقَعُ بِهِ تَحْرِيمُ الرَّبَائِبِ، فَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ: الدُّخُولُ الْجِمَاعُ، وَهُوَ قَوْلُ طَاوُسٍ وَعَمْرُو بْنُ دِينَارٍ وَغَيْرُهُمَا. وَاتَّفَقَ مَالِكٌ وَالثَّوْرِيُّ وَأَبُو حَنِيفَةَ وَالْأَوْزَاعِيُّ وَاللَّيْثُ عَلَى أَنَّهُ إِذَا مَسَّهَا بِشَهْوَةٍ حَرُمَتْ عَلَيْهِ أُمُّهَا وَابْنَتُهَا وَحَرُمَتْ عَلَى الْأَبِ وَالِابْنِ، وَهُوَ أَحَدُ قَوْلَيِ الشَّافِعِيِّ. وَاخْتَلَفُوا فِي النَّظَرِ، فَقَالَ مَالِكٌ: إِذَا نَظَرَ إلى شعرها أو صدرها أو شي مِنْ مَحَاسِنِهَا لِلَذَّةٍ حَرُمَتْ عَلَيْهِ أُمُّهَا وَابْنَتُهَا. وَقَالَ الْكُوفِيُّونَ: إِذَا نَظَرَ إِلَى فَرْجِهَا لِلشَّهْوَةِ كَانَ بِمَنْزِلَةِ اللَّمْسِ لِلشَّهْوَةِ. وَقَالَ الثَّوْرِيُّ: [يَحْرُمُ (1) [إِذَا نَظَرَ إِلَى فَرْجِهَا مُتَعَمِّدًا أَوْ لَمَسَهَا، وَلَمْ يَذْكُرِ الشَّهْوَةَ. وَقَالَ ابْنُ أَبِي لَيْلَى: لَا تَحْرُمُ بِالنَّظَرِ حَتَّى يَلْمِسَ، وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ. وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ بِالنَّظَرِ يَقَعُ التَّحْرِيمُ أَنَّ فِيهِ نَوْعَ اسْتِمْتَاعٍ فَجَرَى مَجْرَى النِّكَاحِ، إِذِ الْأَحْكَامُ تَتَعَلَّقُ بِالْمَعَانِي لَا بِالْأَلْفَاظِ.
"Ulama sudah sepakat bahwa bila seorang laki-laki menikahi seorang wanita kemudian mentalaknya atau mati sebelum Dukhul halal menikahi anaknya, mereka berselisih pendapat tentang makna Dukhul dengan ibunya yang diharamkan atas anak tirinya, diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa beliau berkata: Dukhul adalah jima', itu juga pendapat Thawus, Amru bin Dinar dan selain mereka. Malik, Tsauri, Abu Hanifah, Auza'i dan Laits sepakat bahwa bila Menyentuh dengan syahwat haram ibu dan anaknya dan haram ayah dan anaknya, itu juga salah satu pendapat Madzhab Syafi'i. Ulama pun berselisih pendapat tentang melihat, Berkata Malik: Bila melihat rambut atau dada atau pun sesuatu yang menyebabkan kenikmatan haram baginya ibu dan anaknya. Berkata Ulama Kufah: Bila melihat farjinya karena syahwat sama halnya Menyentuh dengan syahwat
Berkata Tsauri: Diharamkan (Haram nikah) melihat farjinya dengan sengaja atau Menyentuhnya walaupun tidak syahwat. Berkata Ibn Abi Laila: Tidak diharamkan sebab melihat hingga menyentuh, itu juga salah satu pendapat Madzhab Syafi'i.
Dalil bahwa melihat berkedudukan keharaman bahwa melihat merupakan bagian dari percumbuan berlangsungnya berlangsung pula lah pernikahan bahkan hukum-hukum bertaaluq dengan makna tidak dengan lafadz".
[Al Jamii' Li Ahkaam Al Quran V/115]
وَقَوْلُهُ وَأُمَّهاتُ نِسائِكُمْ وَرَبائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ، فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُناحَ عَلَيْكُمْ، أَمَّا أَمُّ الْمَرْأَةِ فَإِنَّهَا تَحْرُمُ بِمُجَرَّدِ الْعَقْدِ عَلَى ابْنَتِهَا، سَوَاءٌ دَخَلَ بِهَا أَوْ لَمْ يَدْخُلْ، وَأَمَّا الرَّبِيبَةُ وَهِيَ بِنْتُ الْمَرْأَةِ فَلَا تَحْرُمُ بِمُجَرَّدِ الْعَقْدِ عَلَى أمها حتى يدخل، فَإِنْ طَلَّقَ الْأُمَّ قَبْلَ الدُّخُولِ بِهَا جَازَ لَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَ بِنْتَهَا، وَلِهَذَا قَالَ وَرَبائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ، فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُناحَ عَلَيْكُمْ فِي تَزْوِيجِهِنَّ، فَهَذَا خَاصٌّ بِالرَّبَائِبِ وَحْدَهُنَّ. وَقَدْ فهم بعضهم عود الضمير إلى الأمهات والربائب، فَقَالَ:
لَا تَحْرُمُ وَاحِدَةٌ مِنَ الْأُمِّ وَلَا الْبِنْتِ بِمُجَرَّدِ الْعَقْدِ عَلَى الْأُخْرَى حَتَّى يَدْخُلَ بِهَا، لِقَوْلِهِ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُناحَ عَلَيْكُمْ. إلى أن قال - وجمهور العلماء على أن الربيبة لا تحرم بالعقد على الأم بخلاف الأم، فإنها تحرم بمجرد العقد. قَالَ ابْنُ أَبِي
حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ هَارُونَ بْنِ عَزْرَةَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ عَنْ سَعِيدٍ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: إِذَا طلق الرجل المرأة قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا أَوْ مَاتَتْ لَمْ تحل له أمها، وروي أَنَّهُ قَالَ: إِنَّهَا مُبْهَمَةٌ، فَكَرِهَهَا. ثُمَّ قَالَ: وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ وَعِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ وَمَسْرُوقٍ وَطَاوُسٍ وَعِكْرِمَةَ وَعَطَاءٍ وَالْحَسَنِ وَمَكْحُولٍ وَابْنِ سِيرِينَ وَقَتَادَةَ وَالزُّهْرِيِّ نَحْوُ ذَلِكَ. وَهَذَا مَذْهَبُ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ وَالْفُقَهَاءِ السَّبْعَةِ، وَجُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ قَدِيمًا وَحَدِيثًا، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ وَالْمِنَّةُ.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ (1) : والصواب قَوْلَ مَنْ قَالَ: الْأُمُّ مِنَ الْمُبْهَمَاتِ، لِأَنَّ الله لم يشترط معهن الدخول كما اشترطه مَعَ أُمَّهَاتِ الرَّبَائِبِ، مَعَ أَنَّ ذَلِكَ أَيْضًا إِجْمَاعٌ مِنَ الْحُجَّةِ الَّتِي لَا يَجُوزُ خِلَافُهَا فِيمَا جَاءَتْ بِهِ مُتَّفِقَةً عَلَيْهِ.
"Ibu-ibu istrimu dan "Anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya)". Adapun ibu wanita (istri) haram dengan adanya akad nikah dengan anaknya (anak ibu) baik mencampurinya atau tidak mencampurinya, sedangkan anak tiri yaitu anak istri maka tidak haram dengan adanya akad nikah dengan ibunya sampai mencampurinya, bila mentalak ibu sebelum mencampurinya boleh menikahi anaknya, ini karena firman Allah: 'Anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya), ini khusus anak tiri saja.
Sebagian mereka mengambil pemahaman kembalinya dhomir kepada ibu-ibu dan anak tiri. Dikatakan tidak haram ibu dan anak dengan adanya akad nikah yang lain sampai mencampurinya berdasarkan firman Allah: tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya).
Mayoritas Ulama menetapkan bahwa anak tiri tidak haram dengan akad nikah dengan ibunya berbeda dengan ibu karenanya haram dengan adanya akad nikah. Berkata Ibn Abi Hatim: Telah menceritakan kepada kami Ja'far bin Muhammad bin Harun bin 'Azrah, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahab dari Sa'id dari Qatadah dari Ikrimah dari Ibn Abbas bahwa beliau berkata: Bila seorang laki-laki mentalak seorang wanita sebelum mencampurinya atau mati tidak dihalalkan ibunya, diriwayatkan darinya bahwa ia berkata: Mubham maka dibenci.
Kemudian ia berkata, diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, Imran bin Husain, Masruq, Thawus, Ikrimah, 'Atha', Al Hasan, Mahkul, Ibn Sirin, Qatadah dan Zuhri semisalnya. Ini adalah Madzhab Imam yang empat, Fuqaha' yang tujuh, Mayoritas Fuqaha' yang dahulu dan hadits. Bagi Allah pujian dan kekuatan. IBN Jarir berkata: Pendapat yang benar adalah pendapat yang mengatakan ibu sebagian dari Mubham karena Allah tidak mensyaratkan mencampuri sebagaimana disyaratkan beserta ibu anak tiri serta itu juga Ijma' yang merupakan hujjah yang tidak boleh menjalaninya dengan apa yang sudah disepakati.
[Tafsir Al Quran Al Azhiim II/228-219]
Dengan tafsir yang dijelaskan diatas dapat dipahami bahwa anak tiri menjadi mahram dengan ayah tirinya kalau ayah tiri sudah mencampuri ibunya, tidak sebaliknya. Jadi, ketika dinyatakan Ayah tiri dan anak tiri mahram maka konsekuensinya maka tidak batal wudhu saat bersentuhan.
Wallahu A'lamu Bis Showaab
(Dijawab oleh : Ismidar Abdurrahman As-Sanusi)
Link Diskusi: