1456. HUKUM MENCIUM BIBIR ANAK DAN DAN SEPUTAR HUKUM MENCIUM ANAK DAN PARA MAHRAM





Pertanyaan:
Apakah bner ustadz/ ustadzah orang tua gak boleh cium bibir anak kandung sendiri walaupun dia cewek dan masih kecil kek umur 6th an??
[Bella Starla]

Jawaban:
Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh

Mencium anak kecil yang belum sampai masa dewasa hukumnya sunah , kesunahan ini berdasarkan perbuatan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam. Kesunahan ini disyaratkan yang dicium bukan auratnya, demikian pula mencium anak yang bukan anaknya dan mencium para mahramnya, terlebih kalau yang dicium pipi bukan mulut (bibir). 

Adapun kalau yang dicium mulut sebagian Ulama melarangnya seperti Sebagian Ulama kalangan Hanabilah, Sebagian Ulama membolehkan dengan penuturan mereka dengan bagian badan manapun selain bagian auratnya, pendapat ini dikutip Imam Ibn Hajar Al Asqolani dalam kitabnya Fathul Baari dari Imam Ibn Bathol yang menyebutkan itu merupakan pendapat Mayoritas Ulama, tidak dibedakan yang diciumnya masih kecil atau sudah dewasa. Sedangkan menurut Madzhab Syafi'i mencium anak kecil meskipun bukan anaknya seperti anak karib kerabatnya, temannya dan sebagainya berhukum sunah dengan dicium pipinya, bahkan boleh mencium pada mulutnya dengan syarat yang dicium belum menimbulkan gelora syahwat. Sedangkan bagi yang mencium disyaratkan menciumnya bukan dengan syahwat; tapi bila menciumnya dengan syahwat atau bermaksud berlezat-Lezatan maka dihukumi haram. Batasan anak kecil menimbulkan syahwat terjadi perselisihan pendapat dikalangan Ulama Syafi'iyah sebagaimana mereka bincang kan pada masalah wudhu dan menurut pendapat yang Shahih dibatasi menurut Urf (penilaian kebanyakan orang/umum terjadi) karena satu anak kecil dengan yang lain berbeda tahap timbul syahwat.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mencium para mahram dan khususnya anak kecil meskipun bukan anak sendiri hukumnya sunah selain pada bagian auratnya. Sedangkan mencium anak pada mulut+Bibir terjadi khilaf; Menurut Mayoritas Ulama dan Syafi'iyah boleh dengan syarat yang dicium belum sampai tahap timbul syahwat dan yang mencium tidak syahwat; bila sebaliknya hukumnya haram. Sedangkan menurut sebagian Ulama melarangnya. Pendapat ini bisa dijadikan pertimbangan terlebih zaman sekarang karena dikhawatirkan terjadi hal yang tidak diinginkan, terlebih pada zaman ini berbeda dengan zaman dulu, kalau zaman sekarang pertumbuhan anak cepat dan mereka cepat mengenal alam sekitar dan lingkungan bahkan anak kecil yang masih SD sudah pandai pacaran tentunya arah timbulnya syahwat cepat menghinggapi mereka dan juga cium bibir biasa dilakukan pasangan suami istri untuk meningkatkan syahwat makanya tidak layak diaplikasikan pada anak apalagi anaknya sudah dewasa, ada tengah cium bibir anak sambil membayangkan agenda dengan istri kan bahaya. Tapi kalau yakin ciuman itu tidak menimbulkan syahwat dan hanya dilakukan karena rasa kasih sayang tidak mengapa tapi jangan dilakukan pada khalayak umum, tapi kalau bisa dihindari maka hendaknya dihindari demi menepis alasan tersebut tadi.

قَالَ بن بَطَّالٍ يَجُوزُ تَقْبِيلُ الْوَلَدِ الصَّغِيرِ فِي كُلِّ عُضْوٍ مِنْهُ وَكَذَا الْكَبِيرُ عِنْدَ أَكْثَرِ الْعُلَمَاءِ مَا لَمْ يَكُنْ عَوْرَةً وَتَقَدَّمَ فِي مَنَاقِبِ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَامُ أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُقَبِّلُهَا وَكَذَا كَانَ أَبُو بَكْرٍ يُقَبِّلُ ابْنَتَهُ عَائِشَةَ

“Ibnu Bathol berkata: Diperbolehkan mencium anak kecil pada setiap anggota badannya, demikian pula anak yang sudah dewasa menurut kebanyakan Ulama selagi apa yang dicium bukan pada bagian auratnya dan sudah terdahulu sebutannya pada Manaqib Sayyidah Fathimah - Alaihassalam - Bahwa Baginda Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam menciumnya, demikian pula Abu Bakar mencium anaknya Sayyidah Aisyah”
[Fath Al Baari Li Ibn Hajar X/427]

ويجوز تقبيل الولد الصغير فى سائر جسده. -الى أن قال- وأما تقبيل كبار الولد وسائر الأهل فقد رخص فى ذلك العلماء. قال اشهب: سئل مالم عن الذى يقدم من سفره فتلقاه ابنته تقبله أو اخته أو أخل بيته؟ قال: لابأس بذلك. وهذا على وجه الرقة وليس على وجه اللذة، وقد كان عليه السلام يقبل ولده وبخاصة فاطمة، وكان أبو بكر يقبل عائشة، وقد فعل ذلك أكثر أصحاب النبى عليه السلام وذلك على وجه الرحمة

“Dan diperbolehkan mencium anak kecil pada seluruh bagian tubuhnya sedangkan mencium anak yang sudah besar dan ahli keluarganya yang lain maka Ulama memberi keringanan hal itu. Asyhab berkata : Ada pertanyaan tentang orang yang kembali dari bepergian, lalu ia bertemu dengan anaknya lalu menciumnya atau saudaranya perempuan dan ahli keluarganya? Beliau menjawab: Tidak mengapa. Ini dilakukan karena rasa belas kasih bukan berlezat-Lezatan dan Nabi sendiri mencium anaknya dan khususnya Fatimah, sedangkan Abu Bakar mencium Aisyah dan sudah ditunjukkan dari perbuatan kebanyakan sahabat Nabi dan itu dilakukan karena rasa kasih sayang”
[Fath Al Baari Li Ibn Bathol IX/212]

قال الإمام النووي في الأذكار: .... وأما تقبيل الرجل خد ولده الصغير وأخيه، وقبلة غير خده من أطرافه ونحوها على وجه الشفقة والرحمة واللطف ومحبة القرابة فسنة، وكذلك قبلته ولد صديقه وغيره من صغار الاطفال على هذا الوجه، وأما التقبيل بالشهوة فحرام بالاتفاق، وسواء في ذلك الوالد وغيره، بل النظر إليه بالشهوة حرام إتفاقا: على القريب والاجنبي.
اه.
“Imam Nawawi dalam kitab Al Adzkaar berkata: Adapun seorang laki-laki mencium pipi anaknya yang kecil dan saudaranya, dan mencium selain pipinya dari bagian ujungnya dan sebagainya karena rasa simpati, kasih sayang dan kelembutan cinta maka hukumnya sunah, demikian juga mencium anak temannya dan selainnya yang masih kecil karena rasa alasan tersebut. Sedangkan mencium dengan syahwat maka hukumnya haram dengan kesepakatan Ulama, bahkan melihatnya dengan syahwat hukumnya haram dengan kesepakatan Ulama bagi kerabat dan non mahram, selesai”
[I'aanah at Thoolibiin IV/219]

وَكَذَا تَقْبِيلُ الطِّفْلِ وَلَوْ وَلَدَ غَيْرِهِ شَفَقَةً سُنَّةٌ؛ «لِأَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَبَّلَ ابْنَهُ إبْرَاهِيمَ وَشَمَّهُ وَقَبَّلَ الْحَسَنَ بْنَ عَلِيٍّ وَعِنْدَهُ الْأَقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ التَّمِيمِيُّ فَقَالَ الْأَقْرَعُ إنَّ لِي عَشْرَةً مِنْ الْوَلَدِ مَا قَبَّلْت مِنْهُمْ أَحَدًا فَنَظَرَ إلَيْهِ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - ثُمَّ قَالَ مَنْ لَا يَرْحَمْ لَا يُرْحَمْ» وَقَالَتْ عَائِشَةُ «قَدِمَ أُنَاسٌ مِنْ الْأَعْرَابِ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَقَالُوا تُقَبِّلُونَ صِبْيَانَكُمْ فَقَالَ نَعَمْ قَالُوا لَكِنَّا وَاَللَّهِ مَا نُقَبِّلُ فَقَالَ أَوَ أَمْلِكُ إنْ كَانَ اللَّهُ تَعَالَى نَزَعَ مِنْكُمْ الرَّحْمَةَ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ

“Demikian pula mencium anak walaupun anak orang lain sebab rasa simpati hukumnya sunah karena Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam mencium anaknya Ibrahim dan mengendusnya, mencium Hasan bin Ali sedangkan disamping beliau ada Al Aqra' bin Habis At Tamimi sedang duduk, lalu Aqra' berkata; "Sesungguhnya aku memiliki sepuluh orang anak, namun aku tidak pernah mencium mereka sekali pun, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memandangnya dan bersabda: "Barangsiapa tidak mengasihi maka ia tidak akan dikasihi". 

Aisyah berkata: Sekelompok orang dari bangsa Arab dusun datang menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, lalu mereka bertanya kepada; 'Apakah kalian biasa mencium bayi-bayi kalian? Para sahabat menjawab; 'Ya.' Lalu mereka berkata; 'Demi Allah, kami tidak pernah menciumnya. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Saya tidak kuasa bila Allah 'azza wajalla mencabut rasa kasih sayang darimu."(HR. Bukhari)”

وَلَا بَأْسَ بِتَقْبِيلِ وَجْهِ صَبِيٍّ رَحْمَةً وَمَوَدَّةً.
قَوْلُهُ: وَلَا بَأْسَ بِتَقْبِيلِ وَجْهٍ) أَيْ فِي أَيِّ مَحَلٍّ فِيهِ وَلَوْ فِي الْفَمِ، وَقَوْلُهُ صَبِيٍّ لَا يُشْتَهَى أَوْ صَبِيَّةٍ 

“Dan tidak mengapa mencium wajah anak kecil sebab rasa kasih sayang dan cinta kasih.

(Keterangan Pengarang: "Dan tidak mengapa mencium wajah") artinya, tempat wajah walaupun pada mulut. Dan Keterangan beliau "Anak kecil" yang tidak syahwat dan anak kecil perempuan”
[Nihaayah al Muhtaaj Wa Hawasyi as Syibromalisy VIII/55]

عِبَارَةُ شَرْحِ الْإِرْشَادِ يَحْرُمُ مَسُّ سَاقٍ، أَوْ بَطْنِ مَحْرَمِهِ كَأُمِّهِ وَتَقْبِيلُهَا وَعَكْسُهُ بِلَا حَاجَةٍ وَلَا شَفَقَةٍ وَإِلَّا جَازَ وَعَلَيْهِ يُحْمَلُ قَوْلُ شَرْحِ مُسْلِمٍ يَجُوزُ بِالْإِجْمَاعِ مَسُّ الْمَحَارِمِ فِي الرَّأْسِ وَغَيْرِهِ مِمَّا لَيْسَ بِعَوْرَةٍ اهـ وَحَيْثُ جَازَ تَقْبِيلُ الْمَحْرَمِ هَلْ يَشْمَلُ تَقْبِيلَ الْفَمِ اهـ سم أَقُولُ قَضِيَّتُهُ إطْلَاقُهُمْ الشُّمُولَ
“Redaksi Syarh al Irsyaad: Haram menyentuh betis atau perut mahramnya seperti ibunya dan menciumnya dan sebaliknya Tanpa ada hajat (kebutuhan) dan rasa simpati, bila tidak demikian diperbolehkan berdasarkan pengertian pendapat Dalam kitab Syarh Muslim yang membolehkan menyentuh kepala dan selainnya para mahram berdasarkan Ijma' Ulama pada bagian yang bukan aurat, habis. Ketika boleh mencium mahram apakah sama mencium mulut? - Redaksi Ibn Qosim Al 'Ubadiy - . Aku katakan: Yang ditetapkan para Ulama menyatakan sama”
[Hawasyi as Syarwani Ala at Tuhfah VII/202]

وَأَمَّا تَقْبِيلُ خَدِّ وَلَدِهِ الصَّغِيرِ وَوَلَدِ قَرِيبِهِ وَصَدِيقِهِ وَغَيْرِهِ مِنْ صِغَارِ الْأَطْفَالِ الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى عَلَى سَبِيلِ الشَّفَقَةِ وَالرَّحْمَةِ وَاللُّطْفِ فَسُنَّةٌ وَأَمَّا التَّقْبِيلُ بِالشَّهْوَةِ فَحَرَامٌ سَوَاءٌ كَانَ فِي وَلَدِهِ أَوْ فِي غَيْرِهِ بَلْ النَّظَرُ بِالشَّهْوَةِ حَرَامٌ عَلَى الْأَجْنَبِيِّ وَالْقَرِيبِ بِالِاتِّفَاقِ وَلَا يستثني من تحريم القبلة بِشَهْوَةٍ إلَّا زَوْجَتُهُ وَجَارِيَتُهُ

“Adapun mencium pipi anaknya yang masih kecil, anak kerabatnya, temannya, dan orang lain dari anak-anak laki-laki dan perempuan atas dasar rasa simpati kasih sayang dan kelembutan maka hukumnya sunah, sedangkan mencium dengan syahwat maka hukumnya haram; baik pada anaknya maupun orang lain, bahkan melihat dengan syahwat haram bagi non mahram dan karib dan tidak ada pengecualian keharaman mencium dengan syahwat kecuali istrinya dan hambanya”
[Al Majmuu'Syarh al Muhadzdzab I/638]

وَأَمَّا تَقْبِيلُهُ خَدَّ وَلَدِهِ الصَّغِيرِ وَبِنْتِهِ الصَّغِيرَةِ وَسَائِرَ أَطْرَافِهِ عَلَى وَجْهِ الشَّفَقَةِ وَالرَّحْمَةِ وَاللُّطْفِ وَمَحَبَّةِ الْقَرَابَةِ، فَسُنَّةٌ، وَالْأَحَادِيثُ الصَّحِيحَةُ فِيهِ كَثِيرَةٌ مَشْهُورَةٌ، وَكَذَا قُبْلَةُ وَلَدِ صَدِيقِهِ وَغَيْرِهِ مِنَ الْأَطْفَالِ الَّذِينَ لَا يَشْتَهُونَ عَلَى هَذَا الْوَجْهِ، وَأَمَّا التَّقْبِيلُ بِشَهْوَةٍ فَحَرَامٌ بِالِاتِّفَاقِ، وَسَوَاءٌ فِي ذَلِكَ الْوَالِدُ وَغَيْرُهُ، بَلِ النَّظَرُ إِلَيْهِ بِالشَّهْوَةِ حَرَامٌ عَلَى الْأَجْنَبِيِّ وَالْقَرِيبِ بِالِاتِّفَاقِ

“Adapun mencium pipi anaknya laki-laki yang masih kecil dan anaknya yang perempuan yang masih kecil dan bagian wajah yang lain sebab rasa simpati, kasih sayang, kelembutan cinta dan karib kerabat maka hukumnya sunah berdasarkan hadits-hadits yang Shahih lagi Masyhur. Demikian pula mencium anak temannya dan orang lain dari anak-anak yang tidak timbul syahwat. Sedangkan mencium dengan syahwat maka hukumnya haram dengan kesepakatan Ulama, baik orang tuanya maupun orang lain, bahkan melihat kepadanya dengan syahwat hukumnya haram bagi non mahram dan Karib kerabat dengan kesepakatan Ulama (pula)”
[Roudhoh at Thoolibiin X/236]

ولا بأس بتقبيل الأطفال شفقة ورحمة ومحبة؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم قبل ابنه إبراهيم وشمه، رواه البخاري [1303] من حديث أنس.

وقبل أبو بكر خد ابنته عائشة حين أصابتها الحمي، رواه أبو داوود [5180] من حديث البراء بن عازب.
وكان ابن عمر يقبل ولده سالمًا ويقول: (اعجبوا من شيخ يقبل شيخًا).
وقبل النبي صلى الله عليه وسلم الحسن بن علي وعنده الأقرع بن حابس، فقال الأقرع: إذ لي عشرة من الولد ما قبلت أحدًا منهم! فقال صلي الله عليه وسلم: (من لا يرحم لا يرحم) متفق عليه [خ 5997 - م2318].
فإن كان التقبيل بشهوة .. فهو حرام اتفاقًا، سواء الولد وغيره.
“CAPEK NGETIKNYA 😁...”
[An Najm al Wahhaj Fii Syarh al Manhaj IX/304]

(و) ثالثها (لمس بشرة الأجنبية) يقينا وهى كل امرأة حل نكاحها والمراد بالبشرة ظاهر الجلد وفى حكمها اللسان واللثة (مع كبر) يقينا فلا تنقض صغيرة لا تشتهى لأنها ليست فى مظنة الشهوة والمرجع فى المشتهات إلى العرف على الصحيح قال الشيخ أبو حامد التى لا تشتهى من لها أربع سنين فما دونها أفاد ذلك الدميرى وقال شيخنا يوسف السنبلاوينى فإذا بلغ الولد سبع سنين فإنه ينقض باتفاق ذكرا كان أو انثى وإذا بلغ خمس سنين فلا ينقض باتفاق وأما إذا بلغ ست سنين ففيه خلاف فقيل ينقض وقيل لا وهذا يرجع إلى طباع الناس حتى الولد الذى بلغ خمس سنين فقط ينقض لمن يشتهيه ولا ينقض لغيره اهـ
[Mirqoh As Su'uud At Tashdiq Bi Syarh Sulamut Taufiq Halaman 21]

Wallahu A'lamu Bis Showaab

(Dijawab oleh: Ismidar Abdurrahman As-Sanusi)

Link Diskusi:

Komentari

Lebih baru Lebih lama