Oleh: Ismidar Abdurrahman As-Sanusi
بِسْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــمِ
*RISALAH QURBAN (2) : HUKUM BERQURBAN DENGAN HEWAN YANG BUNTING (HAMIL)*
Diantara syarat hewan yang bisa dijadikan sebagai hewan qurban agar hewan itu tidak cacat. Namun demikian, dimasyarakat sudah sering terjadi mereka berqurban dengan hewan yang bunting (baca: Hamil 🤰) apakah sah dijadikan hewan qurban?
Untuk menjawab persoalan itu, saya menyarankan sebelum beramal tuntutlah dulu ilmunya, mau berqurban tuntut dulu ilmu dan tanyakan dulu kepada ahlinya, jangan asal berbuat tanpa ilmu.
Dari kalangan Syafi'iyah permasalahan berqurban dengan hewan yang bunting terjadi perselisihan pendapat. Namun pendapat yang Mu'tamad tidak mengabsahkan karena kehamilan menyebabkan mengurangi dagingnya sedangkan batasan A'ib pada hewan qurban terletak pada dagingnya.
Meski demikian, ada sebagian Ulama Syafi'iyah berpendapat sah berqurban dengan hewan yang bunting, inilah pendapat Ibnu Rif'ah. Alasan beliau berkurangnya daging sebab janin ditambah dengan janin, keadaannya seperti hewan yang terpotong kulit telur testisnya. Namun, Ulama lain menyanggah pendapat beliau ini seperti dikemukakan Syeikh Bakri Syata Dimyati, Syeikh Khothiib as Syarbini, Imam Romli dan lainnya bahwa janin terkadang tidak sampai batas dimakan seperti gumpalan daging, dan karena bertambahnya daging tidak dapat menambal kecacacatan dengan dalil binatang pincang yang gemuk.
Oleh karena itu, berqurban dengan hewan yang bunting pendapat lebih kuat dan layak dijadikan pegangan tidak mengabsahkan. Namun, bagi yang sudah terlanjur sah dengan mengikuti pendapat sebagian ulama Syafi'iyah seperti pendapat Ibnu Rif'ah.
Dasar keterangan hukum:
(قوله: والمعتمد عدم إجزاء التضحية بالحامل) أي لأن الحمل ينقص لحمها.
وضابط العيب هو ما نقص لحما.
(وقوله: خلافا لما صححه ابن الرفعة) أي من الإجزاء، معللا له بأن ما حصل بها من نقص اللحم ينجبر بالجنين، فهو كالخصي ورد بأن الجنين قد لا يبلغ حد الأكل كالمضغة وبأن زيادة اللحم لا تجبر عيبا، بدليل العرجاء السمينة.
“(Keterangan Pengarang "Pendapat yang Mu'tamad tidak boleh dan tidak sah berqurban dengan hewan yang bunting") artinya, karena kehamilan mengurangi dagingnya, sedangkan batasan A'ib (cacat) hewan qurban adalah berkurang dagingnya.
(Keterangan Pengarang : "Berbeda dengan pendapat yang Dishahihkan Ibnu Rif'ah") artinya yang membolehkan dan memandang sah berqurban dengan hewan yang bunting. Alasan beliau bahwa berkurangnya daging ditambah dengan janin seperti kulit telur testisnya, pendapat beliau disanggah bahwa janin tidak sampai batasan dimakan layaknya seperti gumpalan daging dan karena bertambahnya daging tidak bisa menutupi kecacatan hewan tersebut dengan dalil binatang pincang yang gemuk (meskipun gemuk cacatnya nampak sebab pincang)”
[I'aanah at Thoolibiin II/332, Cet. Nurul Ilmi Surabaya]
[مسألة] لا تجوز التضحية بحامل على المعتمد لأن الحمل ينقص لحمهاو زيادة اللحم بالجنين لا تجبر عيبا، بدليل العرجاء السمينة
“[Masalah) Tidak boleh berqurban dengan hewan yang bunting berpijak pada pendapat yang Mu'tamad karena kehamilan menyebabkan mengurangi dagingnya sedangkan bertambah daging dengan sebab janin tidak bisa kehamilan menambal kecacatan berkurang dagingnya dengan dalil hewan pincang yang gemuk”
[Istmid Al-'Ain Hamisy Bughyah Halaman 77, Cet. Al Haromain]
(مسألة ب) اعتمد ابن حجر في الفتح عدم جواز التضحية بالحامل وإن زاد به اللحم لأنه عيب واعتمد ابو مخرمة جوازه إن لم يؤثر الحمل نقصا في لحمها ومال اليه في القلائد قال والظاهر المنع بظهور النقص وإن لم يفش وبه أخذ السمهودى وهو وجيه
“Pendapat yang dipedomani oleh Ibn Hajar dalam kitab Al Fath (Al Jawaad) tidak boleh berqurban dengan hewan yang bunting meskipun menambah dagingnya karena kecacatan. Sedangkan pendapat yang dipedomani oleh Abu Makhramah boleh jika tidak mengurangi dagingnya dan dalam kitab Al Qoloid beliau cenderung dengan pendapat tersebut, beliau berkata, 'Yang Dzohir dilarang (berqurban dengan hewan yang bunting) dengan nampak pengurangan (pada dagingnya) meskipun. Dengan pendapat tersebut As Samhudiy mengikuti jejak beliau dan itulah pendapat yang layak dikedepankan”
[Bughyah al Mustarsyidiin Halaman 258, Cet. Al Haromain]
تَنْبِيْهٌ أَفْهَمَ كَلَامُهُ عَدَمَ إِجْزَاءِ التَّضْحِيَةِ بِالْحَامِلِ؛ لِأَنَّ الْحَمْلَ يُهَزِّلُهَا وَهُوَ الْأَصَحُّ كَمَا نَقَلَهُ الْمُصَنِّفُ فِي مَجْمُوْعِهِ عَنِ الْأَصْحَابِ. قَالَ الأَذْرَعِيُّ وَبِهِ جَزَمَ الشَّيْخُ أَبُوْ حَامِدٍ وَأَتْبَاعُهُ وَغَيْرُهُمْ، وَفِي بُيُوْعِ الرَّوْضَةِ وَصَدَاقِهَا مَا يُوَافِقُهُ، وَقَوْلُ ابْنِ الرِّفْعَةِ الْمَشْهُوْرُ أَنَّهَا تُجْزِئُ؛ لِأَنَّ مَا حَصَلَ بِهَا مِنْ نَقْصِ اللَّحْمِ يَنْجَبِرُ بِالْجَنِيْنِ، فَهُوَ كَالْخَصِيِّ، مَرْدُوْدٌ بِأَنَّ الْجَنِيْنَ قَدْ لَا يَبْلُغُ حَدَّ الْأَكْلِ كَالْمُضْغَةِ، وَلِأَنَّ زِيَادَةَ اللَّحْمِ لَا تَجْبُرُ عَيْبًا بِدَلِيلِ الْعَرْجَاءِ السَّمِيْنَةِ.
“Peringatan: Ucapan al-Nawawi memberi pemahaman tidak mencukupinya berkurban dengan binatang hamil, karena kehamilan membuatnya kurus. Ini adalah pendapat al-Ashah (yang kuat) seperti yang dikutip sang pengarang dalam kitab al-Majmu' dari Ashab. Al-Imam al-Adzra'i berkata; ini adalah pendapat yang mantap dipakai Syekh Abu Hamid, para pengikutnya dan ulama-ulama lain. Dalam bab jual beli dan maskawin di kitab al-Raudlah terdapat keterangan senada. Adapun pendapat Imam Ibnu Rif'ah; pendapat yang masyhur bahwa binatang hamil mencukupi karena kekurangan dagingnya ditambal dengan janin, sehingga seperti binatang yang terpotong kulit telur testisnya; ditolak dengan argumen bahwa janin terkadang tidak sampai batas dimakan seperti gumpalan daging, dan karena bertambahnya daging tidak dapat menambal kecacacatan dengan dalil binatang pincang yang gemuk”
[Mughni al Muhtaaj VI/128, Cet. Al Maktabah As Syamilah Apk]
ولا يجوز التضحية بحامل على المعتمد؛ لأن الحمل ينقص لحمها، وزيادة اللحم بالجنين لا يجبر عيباً كعرجاء سمينة
[“Dan tidak diperbolehkan berqurban dengan hewan yang bunting Berpijak pada pendapat yang Mu'tamad karena kehamilan mengurangi dagingnya sedangkan bertambah daging dengan sebab janin tidak bisa menambal kecacatan seperti hewan pincang yang gemuk”
[Busyrol Kariim Halaman 698, Cet. Al Maktabah As Syamilah Apk]
[الْأُضْحِيَّة بِالْحَامِلِ]
(سُئِلَ) هَلْ تُجْزِئُ الْأُضْحِيَّةُ بِالْحَامِلِ أَوْ لَا؟
(فَأَجَابَ) بِأَنَّهُ لَا تُجْزِئُ التَّضْحِيَةُ بِهَا؛ لِأَنَّ الْحَمْلَ يُهْزِلُهَا؛ وَلِأَنَّ لَحْمَهَا رَدِيءٌ، وَإِنْ قَالَ ابْنُ الرِّفْعَةِ: الْمَشْهُورُ بِأَنَّهَا تُجْزِي؛ لِأَنَّ مَا حَصَلَ بِهَا مِنْ نَقْصِ اللَّحْمِ يُجْبَرُ بِالْجَنِينِ فَهُوَ كَالْخَصِيِّ فَقَدْ رُدَّ بِأَنَّ الْجَنِينَ قَدْ لَا يَبْلُغُ حَدَّ الْأَكْلِ كَالْمُضْغَةِ بِأَنَّ زِيَادَةَ اللَّحْمِ لَا تَجْبُرُ عَيْبًا بِدَلِيلِ الْعَرْجَاءِ السَّمِينَةِ.
[Fatawa Ar Romli IV/69, Cet. Al Maktabah As Syamilah Apk]
Wallahu A'lamu Bis Showaab