foto: Muslim.or.id
Oleh: Ismidar Abdurrahman As Sanusi
بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
MENCELA MAKANAN
Mungkin kita pernah mendengar orang berkata bila mereka pulang dari hajatan (walimah) kadang mereka berungkap "Makanan hajatan tadi rasanya asin benar", "Nasinya keras", dan ungkapan lainnya yang menunjukkan adanya pencelaan atas makanan yang dimakan bahkan sempat menyalahkan tukang masak "Itu karena pemasaknya tidak ahli". Bentuk pencelaan makanan tersebut Banyak terjadi baik dari individu maupun kelompok. Berdasarkan Literatur Klasik Syafi'iyah dan lainnya ada menyebutkan bahwa Mencela makanan Orang lain hukumnya Makruh karena ada unsur menyakiti, tapi kalau makanan sendiri atau Pemasak makanan tidak dimakruhkan. Jadi, perbuatan Mencela makanan termasuk perbuatan yang dibenci tapi tidak haram, hendaknya dijauhi kalau terasa makanan yang dimakan lain rasanya atau lainnya sebaiknya diam saja tanpa mencela. Ini dari segi mencela makanan, kalau sampai menyebut nama seseorang atau sekelompok orang termasuk Ghibah dan Ghibah itu termasuk dosa dan haram hukumnya.
(فرع) ويكره ذم طعام غيره لا طعام نفسه ولا ذم صانعه
“(Cabang Bahasan) Dimakruhkan Mencela makanan orang lain, (tapi) tidak (makruh mencela) makanan dirinya (pribadi) dan tidak (Makruh mencela) pembuatnya (Pemasak)”
[Tarsyihul Mustafidiin Halaman 327]
ويكره ذم الطعام إذا كان الطعام لغيره، لما فيه من الإيذاء، فإن كان له فلا.
“Dimakruhkan mencela makanan bila makanan orang lain sebab menimbulkan persepsi menyakiti sedangkan Makanan milik sendiri tidak dimakruhkan”
[Al Fiqh Al Islami Wa Adillatuhu IV/2623]
وَلَا يَجُوزُ لَهُ ذَمُّ الطَّعَامِ وَلَا لِصَاحِبِ الطَّعَامِ اسْتِحْسَانُهُ وَمَدْحُهُ وَلَا تَقْوِيمُهُ؛ لِأَنَّهُ دَنَاءَةٌ كَذَا قَالَ. وَالْقَوْلُ بِالْكَرَاهَةِ أَوْلَى؛ لِأَنَّ فِي الصَّحِيحَيْنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: «مَا عَابَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - طَعَامًا قَطُّ كَانَ إذَا اشْتَهَى طَعَامًا أَكَلَهُ، وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ» . وَتَرْجَمَ عَلَيْهِ أَبُو دَاوُد بَابٌ فِي كَرَاهِيَةِ ذَمِّ الطَّعَامِ قَالَ ابْنُ هُبَيْرَةَ هَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ لَا يُسْتَحَبُّ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ الطَّعَامِ إلَّا مَا يَشْتَهِيهِ، لَا يُجَاهِدُ نَفْسَهُ عَلَى تَنَاوُلِ مَا لَا يُرِيدُهُ فَإِنَّهُ مِنْ أَضَرِّ شَيْءٍ بِالْبَدَنِ، وَقَدْ جَاءَ فِي صِفَةِ أَهْلِ الْجَنَّةِ {وَلَحْمِ طَيْرٍ مِمَّا يَشْتَهُونَ} [الواقعة: 21] . قَالَ: وَفِيهِ أَيْضًا رَدٌّ عَلَى مَنْ يَزْعُمُ أَنَّ تَنَاوُلَ مَا لَا يُشْتَهَى مَكْرُوهٌ.
“Tidak diperbolehkan bagi seseorang mencela makanan dan tidak pula bagi pemilik makanan untuk memuji-muji dan mengkoreksi makanan tersebut, karena itu adalah perbuatan yang hina. Namun, pendapat yang lebih tepat adalah bahwa hal tersebut dimakruhkan.
Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah mencela makanan sama sekali. Jika beliau menginginkannya, beliau akan memakannya, dan jika tidak, beliau akan meninggalkannya.
Abu Dawud memberi judul bab tentang "Makruhnya Mencela Makanan". Ibn Hubairah berkata, "Hadits ini menunjukkan bahwa tidak disunnahkan makan makanan kecuali yang diinginkan, tidak perlu memaksakan diri untuk makan sesuatu yang tidak diinginkan, karena itu dapat membahayakan tubuh.
Dalam Al-Qur'an, Allah Ta'ala menggambarkan penduduk surga yang diberi makanan yang mereka inginkan, termasuk daging burung yang mereka sukai (QS Al-Waqi'ah: 21). Beliau berkata: Ini juga menunjukkan bahwa tidak tepat pendapat yang mengatakan bahwa makan makanan yang tidak diinginkan adalah makruh”.
[Al Adaab As Syar'iyyah Li Ibn Muflih Al Hambali III/210]
Wallahu A'lamu Bis Shawaab