Foto: Republika
Pertanyaan:
Bagaimana cara perempuan agar mempunyai rasa malu dan bagaimana cara menjaga rasa malu itu ustadzah 🙏
[+6282315156405]
Jawaban:
1. Rasa Malu bisa tumbuh memang sejak lahir dan bisa juga dengan melalui tahap pembiasaan seperti sudah berusaha menanamkan rasa malu baik kepada Allah, Kepada orang lain tak terkecuali kepada diri sendiri. Bila sudah memiliki rasa Malu hendaklah rasa malu itu ditanamkan pada diri sehingga tidak mau menerobos batas syar'i karena seseorang bebas melakukan kedurhakaan dan kemaksiatan seperti tampak sekarang itu karena minimnya rasa malu dan seakan tidak menghiraukan.
2. Untuk menjaga rasa Malu yang sudah ada hendaknya dengan cara menanamkan nilai-nilai rasa Malu dalam kehidupan, karena walau bagaimanapun adanya rasa Malu Tapi tidak dipedulikan ia tidak akan bernilai tanpa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Penanaman rasa Malu dapat diaplikasikan dengan usaha, niat dan Ilmu tanpa itu sulit diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Rasa Malu adalah sifat yang mendorong seseorang melakukan kebaikan dan meninggalkan kejahatan. Untuk dapat menanamkan rasa Malu dan menjaganya terlebih dahulu harus punya ilmu gimana makna rasa Malu sehingga dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dan dijaga. Setidaknya rasa malu itu dapat dibagi pada 3 perkara:
1. Malu kepada Allah
Rasa malu kepada Allah Ta'ala, maka itu dapat diwujudkan dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menahan diri dari larangan-larangan-Nya.
Ibnu Mas'ud meriwayatkan hadits:
'Jika kamu memiliki rasa malu, maka lakukanlah apa yang kamu inginkan.'
Perkataan ini bukanlah ajakan untuk melakukan maksiat ketika rasa malu itu sedikit, sebagaimana yang disalahpahami oleh sebagian orang yang tidak mengerti makna dan konteks pembicaraan.
Maksud dari hadits ini adalah bahwa seseorang yang memiliki rasa malu yang kuat akan selalu berusaha untuk melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah dan meninggalkan apa yang dilarang oleh-Nya, sehingga dia tidak perlu diingatkan lagi tentang hal-hal yang harus dilakukan atau ditinggalkan. Rasa Malu terhadap Allah dapat diwujudkan dengan melakukan ketaatan kepadanya sehingga bila kita melalaikan perintah kepada Allah kita merasa malu karena tidak menjalankan perintahnya dan kita takut akan siksa Allah dan ketika kita akan melakukan kemaksiatan atau kejahatan kita sudah tanamkan dalam hati jika aku lakukan aku malu kepada Allah karena Allah melihat perbuatanku, sehingga ia tidak akan mau melakukan keburukan karena malu kepada Allah.
2. Malu kepada orang lain
Rasa malu di hadapan manusia dapat diwujudkan dengan menahan diri dari menyakiti orang lain dan tidak terang-terangan melakukan perbuatan yang buruk.
Telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa Beliau bersabda:
'Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, maka dia akan membuat orang lain takut kepadanya.'
Juga diriwayatkan bahwa Hudhaifah bin Al-Yaman pernah mendatangi shalat Jum'at, namun dia mendapati orang-orang telah selesai shalat.
Maka dia pun memisahkan diri dari jalan yang dilalui orang banyak dan berkata:
"Tidak ada kebaikan dalam diri seseorang yang tidak memiliki rasa malu di hadapan manusia."
Maksudnya adalah bahwa seseorang yang tidak memiliki rasa malu di hadapan manusia tidak akan peduli dengan pandangan dan penilaian orang lain terhadap dirinya, sehingga dia tidak akan menjaga diri dari perbuatan yang buruk dan tidak akan berusaha untuk berbuat baik kepada orang lain. Sehingga bila ini ditanamkan Kita bisa mengaplikasikan rasa Malu terhadap orang lain yakni bila kita melakukan perbuatan yang tidak terpuji kita malu Kalau orang lain melihat kita itu tandanya kita malu kepada orang lain.
3. Malu terhadap diri sendiri
Rasa malu seseorang terhadap dirinya sendiri, maka itu dapat diwujudkan dengan menjaga kesucian dan kehormatan diri, terutama dalam situasi sunyi.
Sebagian orang bijak berkata:
"Biarkan rasa malu kamu terhadap diri sendiri lebih banyak daripada rasa malu kamu terhadap orang lain."
Sebagian sastrawan juga berkata:
"Barangsiapa yang melakukan perbuatan dalam sunyi yang membuatnya malu jika dilakukan di depan umum, maka itu berarti dia tidak menghargai dirinya sendiri.
Maksudnya adalah bahwa seseorang yang memiliki rasa malu yang kuat terhadap dirinya sendiri akan selalu berusaha untuk menjaga diri dari perbuatan yang buruk dan tidak terpuji, bahkan dalam situasi sunyi, karena dia sadar bahwa dirinya harus dihormati dan dijaga kesuciannya.
Demikianlah cara kita memiliki rasa malu dan dapat menjaganya dalam kehidupan sehari-hari, yang tentunya itu dapat dilakukan dengan Usaha, niat dan Ilmu dan dapat pula melakukan nilai rasa malu baik kepada Allah, orang lain maupun terhadap diri kita sendiri sehingga rasa Malu itu selalu tertanam dalam jiwa dan tingkah laku kita.
Wallahu A'lam
Ibarat :
آداب الدنيا والدين للإمام الماوردي الشافعي صـــــــــ ٢٤٨-٢٥٠
وَاعْلَمْ أَنَّ الْحَيَاءَ فِي الْإِنْسَانِ قَدْ يَكُونُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
أَحَدِهَا: حَيَاؤُهُ مِنْ اللَّهِ تَعَالَى.
وَالثَّانِي: حَيَاؤُهُ مِنْ النَّاسِ.
وَالثَّالِثِ: حَيَاؤُهُ مِنْ نَفْسِهِ.
فَأَمَّا حَيَاؤُهُ مِنْ اللَّهِ تَعَالَى فَيَكُونُ بِامْتِثَالِ أَوَامِرِهِ وَالْكَفِّ عَنْ زَوَاجِرِهِ. وَرَوَى ابْنُ مَسْعُودٍ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ» .
وَلَيْسَ هَذَا الْقَوْلُ إغْرَاءً بِفِعْلِ الْمَعَاصِي عِنْدَ قِلَّةِ الْحَيَاءِ كَمَا تَوَهَّمَهُ بَعْضُ مَنْ جَهِلَ مَعَانِيَ الْكَلَامِ وَمُوَاضَعَاتِ الْخِطَابِ....
وَأَمَّا حَيَاؤُهُ مِنْ النَّاسِ فَيَكُونُ بِكَفِّ الْأَذَى وَتَرْكِ الْمُجَاهَرَةِ بِالْقَبِيحِ. وَقَدْ رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَنَّهُ قَالَ: «مَنْ اتَّقَى اللَّهَ اتَّقَى النَّاسَ» . وَرُوِيَ أَنَّ حُذَيْفَةَ بْنَ الْيَمَانِ أَتَى الْجُمُعَةَ فَوَجَدَ النَّاسَ قَدْ انْصَرَفُوا فَتَنْكَبَّ الطَّرِيقَ عَنْ النَّاسِ، وَقَالَ: لَا خَيْرَ فِيمَنْ لَا يَسْتَحِي مِنْ النَّاسِ. ......
وَأَمَّا حَيَاؤُهُ مِنْ نَفْسِهِ فَيَكُونُ بِالْعِفَّةِ وَصِيَانَةِ الْخَلَوَاتِ.
وَقَالَ بَعْضُ الْحُكَمَاءِ: لِيَكُنْ اسْتِحْيَاؤُك مِنْ نَفْسِك أَكْثَرَ مِنْ اسْتِحْيَائِك مِنْ غَيْرِك. وَقَالَ بَعْضُ الْأُدَبَاءِ: مَنْ عَمِلَ فِي السِّرِّ عَمَلًا يَسْتَحِي مِنْهُ فِي الْعَلَانِيَةِ فَلَيْسَ لِنَفْسِهِ عِنْدَهُ قَدْرٌ. وَدَعَا قَوْمٌ رَجُلًا كَانَ يَأْلَفُ عِشْرَتَهُمْ، فَلَمْ يُجِبْهُمْ، وَقَالَ: إنِّي دَخَلْت الْبَارِحَةَ فِي الْأَرْبَعِينَ وَأَنَا أَسْتَحِي مِنْ سِنِي. وَقَالَ بَعْضُ الشُّعَرَاءِ:
فَسِرِّي كَإِعْلَانِي وَتِلْكَ خَلِيقَتِي ... وَظُلْمَةُ لَيْلِي مِثْلُ ضَوْءِ نَهَارِي
وَهَذَا النَّوْعُ مِنْ الْحَيَاءِ قَدْ يَكُونُ مِنْ فَضِيلَةِ النَّفْسِ وَحُسْنِ السَّرِيرَةِ.
فَمَتَى كَمُلَ حَيَاءُ الْإِنْسَانِ مِنْ وُجُوهِهِ الثَّلَاثَةِ، فَقَدْ كَمُلَتْ فِيهِ أَسْبَابُ الْخَيْرِ، وَانْتَفَتْ عَنْهُ أَسْبَابُ الشَّرِّ، وَصَارَ بِالْفَضْلِ مَشْهُورًا، وَبِالْجَمِيلِ مَذْكُورًا.
(Dijawab oleh: Ismidar Abdurrahman As Sanusi)
Link Asal:
