Foto: Pesantren Al Khoirot
Pertanyaan:
Afwan Ini gimana ya jawaban nya
Jawaban:
Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakaatuh
Sebenarnya pertanyaan pertama dan Kedua tidak ada perbedaan karena merujuk permasalahan yang sama. Yakni ketika membasuh sesuatu yang terkena najis semisal pakaian dengan cara turut menggunakan sabun sehingga bau najis hilang digantikan dengan bau sabun dan benda Semisal sabun maka apakah sudah dianggap suci?
Dalam permasalahan tersebut ada Khilaf Ulama Syafi'iyah; Menurut Syeikh At-Thablaawiy sudah dianggap suci asal tidak ada bau najis lagi dan walaupun masih ada bau Semisal sabun. Berbeda menurut Imam Ramli, menurutnya tidak dianggap suci karena bisa saja bau najis tertutup dengan oleh bau sabun sehingga untuk memastikan kesuciannya haruslah air bilasannya benar-benar dari warna/bau sabun serta tidak bertambah kadarnya, apabila kadar sisa sabun sulit diusahakan hilang, maka hukumnya dimaafkan (najisnya dima'fu). Jadi, merujuk pendapat Syeikh At-Thablaawiy bila bau najis sudah hilang sudah dianggap suci berbeda halnya menurut Imam Ramli, dua pendapat tersebut bisa diamalkan.
تنبيه آخر: إذا غسل ثوباً متنجساً بنحو صابون حتى زالت النجاسة طهر وإن بقي ريح الصابون، قاله الطبلاوي. وقال م ر: لا يطهر حتى تصفو الغسالة من ريح الصابون، أي: لإمكان استتار ريح النجس في ريحه.
“Peringatan yang lain : Apabila membasuh pakaian terkena najis dengan semacam sabun hingga hilang najis dianggap suci meskipun tersisa bau sabun, ini dikemukakan oleh At-Thablaawiy. Ar Ramli berkata: Tidak suci hingga air bilasannya (air bekas cucian) jernih dari bau sabun, artinya bau najis dimungkinkan tertutupi oleh bau sabun”.
[Busyral Kariim I/44]
(مسألة) لو زالت النجاسة بالاستعانة بالصابون وبقي ريح الصابون طهر قاله الطبلاوي وقال (م ر) لا تطهر حتى تصفو الغسالة
“(Masalah) Jika Najis hilang dengan bantuan sabun dan tersisa bau sabun dianggap suci, ini dikemukakan oleh At-Thablaawiy. Ar Ramli berkata: Tidak suci hingga air bilasannya (air bekas cucian) jernih dari bau sabun”
[Itsmid Al 'Ainain Fii Hamisy Bughyah Halaman 12]
(فَرْعٌ) إذَا غَسَلَ ثَوْبًا مُتَنَجِّسًا بِالصَّابُونِ حَتَّى زَالَتْ عَيْنُ النَّجَاسَةِ قَالَ م ر جَوَابًا بِالسُّؤَالِ عَلَى الْفَوْرِ يَصِيرُ لِأَثَرِ الصَّابُونِ حُكْمُ الصِّبْغِ فَلَا يَطْهُرُ حَتَّى تَصْفُوَ الْغُسَالَةُ مِنْ لَوْنِ الصَّابُونِ مَعَ عَدَمِ الزِّيَادَةِ، ثُمَّ قَالَ يَنْبَغِي أَنَّ الْمِقْدَارَ الَّذِي يَشُقُّ اسْتِقْصَاؤُهُ يَكُونُ مَعْفُوًّا عَنْهُ فَلْيُتَأَمَّلْ اهـ سم.
“(Cabang) Jika seseorang membasuh pakaian najis dengan sabun hingga bentuk najis menjadi hilang, Imam Ar-Ramli menjawab pertanyaan tersebut dengan cepat bahwa sisa sabun memiliki hukum yang sama dengan permasalahan pewarna, maka tidak suci sampai basuhan pembilasnya jernih dari warna sabun serta tidak bertambah kadarnya. Kemudian ia berkata, apabila kadar sisa sabun sulit diusahakan hilang, maka hukumnya dimaafkan”
[Hasyiyah Al Jamal Ala Syarh Al Manhaj I/193]
Wallahu A'lamu Bis Shawaab
(Dijawab oleh: Ismidar Abdurrahman As Sanusi)
Link Diskusi:

