0447. HUKUM MENGKOSUMSI OBAT PENUNDA HAID SAAT HAJI DAN PUASA

ISMIDAR ABDURRAHMAN AS-SANUSI·28 DESEMBER 2016


PERTANYAAN  
assalamualaikum mau tanya,, bagaimana hukum nya wanita yg memakai piL pencegah haid ketika wanita itu pergi haji...klw bisa tampilkan ibarot nya,,,trima kasih 
[P'lek Azka]

JAWABAN
 Wa'alaikumussalam

Boleh bila tidak menimbulkan bahaya bagi dirinya dan atas izin suaminya jika sudah bersuami.

( وَيَجُوزُ شُرْبُ دَوَاءٍ مُبَاحٍ لِقَطْعِ الْحَيْضِ مَعَ أَمْنِ الضَّرَرِ نَصًّا ) كَالْعَزْلِ وَ ( قَالَ الْقَاضِي لَا يُبَاحُ إلَّا بِإِذْنِ الزَّوْجِ ) أَيْ : لِأَنَّ لَهُ حَقًّا فِي الْوَلَدِ ( وَفِعْلُ الرَّجُلِ ذَلِكَ بِهَا ) أَيْ : إسْقَاؤُهُ إيَّاهَا دَوَاءً مُبَاحًا يَقْطَعُ الْحَيْضَ ( مِنْ غَيْرِ عِلْمِهَا يَتَوَجَّهُ تَحْرِيمُهُ ) قَالَهُ فِي الْفُرُوعِ ، وَقُطِعَ بِهِ فِي الْمُنْتَهَى لِإِسْقَاطِ حَقِّهَا مِنْ النَّسْلِ الْمَقْصُودِ .
( ومثله ) أي مثل شربها دواء مباحا لقطع الحيض ( شربه كافورا ) قال في المنتهى ولرجل شرب دواء مباح يمنع الجماع

"[Diperbolehkan meminum obat yang diperbolehkan syara’ untuk memutus datangnya haid bila aman dari bahaya atas dasar nash] sebagaimana masalah 'azl
[Qadhi Ibnu Muflih berkata: tidak diperbolehkan kecuali dengan sejin suami] sebab suami memiliki hak atas mendapatkan keturunan [serta perbuatan suami akan hal itu] yakni meminumkan obat yang diperbolehkan syara' pada istri untuk memutus haid [tanpa sepengetahuan istrinya pantas dinilai haram] diungkapkan dalam kitab Furu', ditegaskan pula dalam kitab al-Muntaha sebab perbuatan itu melanggar hak istrinya untuk mendapatkan keturunan yang dikehendakinya
[Sebagaimana hal itu] yakni sebagaimana meminumkan pada istri obat yang diperbolehkan syara' untuk memutus haid [boleh juga meminum air kapur] Dijelaskan dalam kitab al-Muntaha bahwa bagi suami boleh meminum air yang diperbolehkan syara' untuk menolak keinginan persetubuhan."(Kasysyaful Qana', 1/218)

وَفِيْ فَتَاوَى الْقَمَّاطِ مَا حَاصِلُهُ جَوَازُ اسْتِعْمَالِ الدَّوَاءِ لِمَنْعِ الْحَيْضِ

"Dalam Fatawa Al Qammaath (Syeikh Muhammd ibn al Husein al Qammaath) di simpulkan diperbolehkannya menggunakan obat untuk mencegah datangnya haid." (Ghayatut Talkhis: 196)

اَلْمَالِكِيَّةُ قَالُوْا
أَمَّا أَنْ تَصُوْمَ الْحَيْضُ بِسَبَبِ دَوَاءٍ فِيْ غَيْرِ مَوْعِدِهِ فَإِنَّ الظَّاهِرَ عِنْدَهُمْ أَنَّهُ لَا يُسَمَّى حَيْضًا وَلَا تَنْقَضِيْ بِهَ عِدَّتُهَا وَهَذَا بِخِلَافِ مَا إِذَا اسْتَعْمَلَتْ دَوَاءً يَنْقَطِعُ بِهِ الْحَيْضُ فِيْ غَيْرِ وَقْتِهِ الْمُعْتَادِ فَإِنَّهُ يُعْتَبَرُ طُهْرًا وَتَنْقَضِيْ بِهِ الْعِدَّةُ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوْزُ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَمْنَعَ حَيْضَهَا أَوْ تَسْتَعْجِلُ إِنْزَالَهُ إِذَا كَانَ ذَلِكَ يَضُرُّ صِحَّتَهَا لِأَنَّ الْمُحَافَظَةَ عَلَى الصِّحَّةِ وَاجِبَةٌ

"Kalangan Malikiyyah berpendapat :
Haid adalah darah yang yang keluar dari alat kelamin wanita pada usia yang ia bisa hamil menurut kebiasaan umum.
Bila wanita menjalani puasa akibat obat yang mencegah haid hadir dalam masanya, menurut pendapat yang zhahir masa-masa tidak dikatakan haid dan tidak menghabiskan masa iddahnya, berbeda saat ia menjalani haid dan meminum obat untuk menghentikan haidnya diselain waktu kebiasaannya, maka ia dinyatakan suci namun iddahnya dapat terputus karena sesungguhnya tidak boleh bagi seorang wanita mencegah atau mempercepat keluarnya darah haid bila membahayakan kesehatannya karena menjaga kesehatan wajib hukumnya." (al-Fiqhu 'ala Madzahibil 'Arba'ah, 1/103)

أَحْكَامٌ عَامَّةٌ
أَوَّلًا - إِنْزَالُ وَرَفْعُ الْحَيْضِ بِالدَّوَاءِ
صَرَّحَ الْحَنَابِلَةُ بِأَنَّهُ يَجُوْزُ لِلْمَرْأَةِ شُرْبُ دَوَاءٍ مُبَاحٍ لِقَطْعِ الْحَيْضِ إِنْ أُمِنَ الضَّرَرُ ، وَذَلِكَ مُقَيَّدٌ بِإِذْنِ الزَّوْجِ . لأِنَّ لَهُ حَقًّا فِي الْوَلَدِ ، وَكَرِهَهُ مَالِكٌ مَخَافَةَ أَنْ تُدْخِل عَلَى نَفْسِهَا ضَرَرًا بِذَلِكَ فِي جِسْمِهَا . كَمَا صَرَّحُوا بِأَنَّهُ يَجُوْزُ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَشْرَبَ دَوَاءً مُبَاحًا لِحُصُوْل الْحَيْضِ ، إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ لَهَا غَرَضٌ مُحَرَّمٌ شَرْعًا كَفِطْرِ رَمَضَانَ فَلاَ يَجُوْزُ .
ثُمَّ إِنَّ الْمَرْأَةَ مَتَى شَرِبَتْ دَوَاءً وَارْتَفَعَ حَيْضُهَا فَإِنَّهُ يُحْكَمُ لَهَا بِالطَّهَارَةِ ، وَأَمَّا إِنْ شَرِبَتْ دَوَاءً وَنَزَل الْحَيْضُ قَبْل وَقْتِهِ فَقَدْ صَرَّحَ الْمَالِكِيَّةُ بِأَنَّ النَّازِل غَيْرُ حَيْضٍ وَأَنَّهَا طَاهِرٌ . فَلاَ تَنْقَضِي بِهِ الْعِدَّةُ ، وَلاَ تَحِل لِلأزْوَاجِ ، وَتُصَلِّيْ وَتَصُوْمُ لاِحْتِمَال كَوْنِهِ غَيْرَ حَيْضٍ ، وَتَقْضِي الصَّوْمَ دُوْنَ الصَّلاَةِ احْتِيَاطًا لاِحْتِمَال أَنَّهُ حَيْضٌ .
وَقَدْ صَرَّحَ الْحَنَفِيَّةُ بِأَنَّهُ إِذَا شَرِبَتِ الْمَرْأَةُ دَوَاءً فَنَزَل الدَّمُ فِي أَيَّامِ الْحَيْضِ فَإِنَّهُ حَيْضٌ وَتَنْقَضِيْ بِهِ الْعِدَّةُ
(1) حاشية ابن عابدين 1 / 202 ، حاشية الدسوقي 1 / 167 ، 168 ، مواهب الجليل 1 / 366 ، كشاف القناع 1 / 218

Hukum umum

Keluar dan hilangnya haid akibat obat
Kalangan Hanabilah menjelaskan :
Diperkenankan bagi wanita meminum obat yang diperbolehkan syara’ untuk memutus datangnya haid bila aman dari bahaya, itupun bila seijin suami karena suami punya hak anak atas dirinya, Imam malik memakruhkannya bila menimbulkan bahaya dalam raganya seperti diperkenankan baginya meminum obat yang diperbolehkan syara’ untuk mendapatkan masa haidnya hanya saja bila bertujuan yang diharamkan syara’ seperti agar tidak berpuasa dibulan ramadhan maka tidak diperkenankan.
Wanita yang meminum obat kemudian hilang haidnya maka dihukumi wanita suci, namun wanita yang meminum obat agar mendapatkan haidnya sebelum masanya tiba maka darah yang keluar menurut kalangan malikiyyah bukanlah darah haid dan dia tetap dikatakan suci dan tidak habis iddahnya dan tidak halal untuk dinikahi, baginya tetap wajib sholat dan puasa karena kemungkinannya bukan darah haid, boleh mengqadha puasanya bukan shalatnya karena kemungkinan yang keluar darah haid.
Kalangan Hanafiyyah menjelaskan : Wanita yang meminum obat kemudian keluar darah haid pada masa-masanya, yang keluar adalah darah haid dan menghabiskan masa iddahnya." (Haasyiyah Ibn ‘Aabidiin I/202, Haasyiyah ad-Daasuqi I/167-168, Mawaahib al-jaliil I/366, Kasysyaaf alQanaa’ I/218)
[al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, 18/327]
************************************************************
Penggunaan pil anti haid agar bisa melaksanakan Haji dan puasa - Fatwa MUI
PIL ANTI HAID
Sidang Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia tanggal 12 Januari 1979 telah mengambil keputusan : 
1. Penggunaan Pil Anti Haid untuk kesempatan ibadah haji hukumnya mubah.
2. Penggunaan Pil Anti Haid dengan maksud agar dapat mencukupi puasa Ramadhan seblum penuh, hukumnya makruh. Akan tetapi, bagi wanit yang sukar menqada puasanya pada hari lain, hukumnya mubah.
3. Penggunaan Pil Anti Haid selain dari dua hal tersebut di atas, hukumnya tergantung pada niatnya. Bila untuk perbuatan yang menjurus kepada pelanggaran hukum agama, hukumnya haram.
Jakarta, 12 Januari 1979 

KOMISI FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua 
ttd 
K.H. M. Syukri Ghozali 

Sekretaris
ttd
H. Musytari Yusuf, LA 

Musyawirin:  Ismidar Abdurrahman As-Sanusi  

Komentari

Lebih baru Lebih lama