1954. BATASAN ORANG TUA IKUT CAMPUR RUMAH TANGGA ANAKNYA

Foto: Muslimah.or.id


Pertanyaan:
Assalamu'alaikum Ustadz Dan Ustadzah.
Izin Bertanya Ustadz Dan Ustadzah.

DESKRIPSI MASALAH

Sebut saja Yanto. Ia menikah dengan Yanti. Mereka hidup dengan rukun dan bahagia. Setelah pernikahannya berumur lima tahun, kehidupan rumah tangganya mulai retak. Berawal dari Pak Anton yang merupakan ayah dari Yanti, bersikukuh meminta menantunya, Yanto, agar menceraikan anaknya, Yanti. Alasannya, karena semenjak anaknya menikah dengan Yanto, ia semakin terlihat tidak terawat. Sebelum menikah, Yanti memiliki tubuh yang ideal namun setelah menikah tubuhnya malah makin kurus. Pak Anton merasa Yanto kurang menafkahi anaknya dan ia pun memaksa Yanti untuk bercerai dengan Yanto namun ia tidak mau. Lambat laun, karena sudah lelah dengan paksaan Pak Anton, Yanti pun pergi dari rumah suami menuju rumah ayahnya, Pak Anton dengan tujuan agar paksaan bercerai bisa berhenti.

Singkat cerita, saat Yanto pulang kerja, ia tidak melihat istri dan anaknya. Ia mengira istrinya sedang pergi ke rumah mertuanya atau sedang jalan-jalan bersama teman. Tak terasa sudah tiga hari, namun istrinya tak kunjung datang. Akhirnya ia pun berinisiatif untuk pergi ke rumah mertuanya. Benar saja, istri dan anaknya ada di sana, namun Yanto tidak disambut dengan ramah oleh Pak Anton dan malah terjadi cekcok. Pak Anton memaksa Yanto untuk menceraikan Yanti namun Yanto tidak mau begitu pun dengan Yanti. Karena merasa lelah dengan paksaan mertuanya, dengan berat hati, Yanto pun menceraikan istrinya dengan syarat istrinya lah yang membeli surat cerai.

Setelah satu tahun berlalu, Yanto merindukan anaknya. Akhirnya ia berkunjung ke rumah Yanti. Terbongkarlah satu fakta bahwa Yanti sampai saat itu belum membeli surat cerai seperti yang disyaratkan oleh mantan suaminya tersebut.

PERTANYAAN

1. Apa status hubungan Yanto dan Yanti selama satu tahun sebagaimana deskripsi di atas?

2. Sampai manakah batas mertua ikut campur dalam masalah pernikahan anak mereka?
[+62 858-5460-9894]

Jawaban:
Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakaatuh 

1. Secara kaca mata fiqih hubungan pernikahan Yanto dan Yanti masih sebagaimana mestinya selagi belum ada ungkapan Thalak dari Yanto kepada Yanti atau hal lain yang menyebabkan terjadi Thalak, termasuk hal ini ta'liq Thalak yang sudah lumrah dibaca dikantor KUA dan bila itu terjadi maka akan terjadi Thalak sesuai ta'liq tersebut. Selama tidak ada menjurus hal yang menyebabkan Thalak maka tidak terjadi Thalak karena tiada Thalak otomatis.

Baca:

2. Selaku orang tua ikut campur masalah anak-anaknya sebatas menasehati dan mendorong hal baik demi terciptanya sebuah keluarga yang harmonis sebagaimana yang diharapkan. Tidak Hanya itu selaku orang tua mengajari dan mendorong anaknya agar mematuhi dan menjaga hak suami dan semisalnya dan jangan terlalu jauh masuk urusan rumah tangga anak Kecuali mereka tidak bisa menyelesaikan dengan cara yang baik sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

“Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi, Maha Besar.” (QS. An-Nisa: 34)

Itulah tahapan-tahapan dalam menyelesaikan problematika kehidupan berumah tangga antara suami dengan isteri, karenanya suamilah yang mengurus urusan itu terlebih bisa saling kerja sama, ketika keduanya tidak bisa bekerjasama bahkan akan bertambah retak rumah tangga baru orang lain semacam orang tua ikut andil demi terciptanya rumah tangga yang harmonis dan bertahan sebagaimana Allah Ta’ala berfirman;

وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا

“Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan.

Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sungguh, Allah Maha Teliti, Maha Mengenal.” (QS. An-Nisa: 35)

Sehubungan dengan ini Imam Ghazali menyatakan dalam karyanya:

وَمِنْ حَقِّهَا عَلَى الْوَالِدَيْنِ تَعْلِيمُهَا حُسْنَ الْمُعَاشَرَةِ وَآدَابَ الْعِشْرَةِ مَعَ الزَّوْجِ كَمَا رُوِيَ أَنَّ أسماء بنت خارجة الفزاري قالت لأبنتها عِنْدَ التَّزَوُّجِ إِنَّكِ خَرَجْتِ مِنَ الْعُشِّ الَّذِي فيه درجت فصرت إلى فراش لم تعرفيه وقرين لم تألفيه فَكُونِي لَهُ أَرْضًا يَكُنْ لَكِ سَمَاءً وَكُونِي لَهُ مِهَادًا يَكُنْ لَكِ عِمَادًا وَكُونِي لَهُ أَمَةً يَكُنْ لَكِ عَبْدًا لَا تُلْحِفِي بِهِ فَيَقْلَاكِ وَلَا تَبَاعَدِي عَنْهُ فَيَنْسَاكِ إِنْ دَنَا مِنْكِ فَاقْرَبِي مِنْهُ وَإِنْ نَأَى فَابْعُدِي عَنْهُ وَاحْفَظِي أَنْفَهُ وَسَمْعَهُ وَعَيْنَهُ فَلَا يَشُمَّنَّ مِنْكِ إِلَّا طَيِّبًا وَلَا يَسْمَعُ إِلَّا حُسْنًا وَلَا ينظر إلا جميلاً

“Di antara hak seorang wanita atas kedua orang tuanya adalah mengajarinya pergaulan yang baik, dan mengajari etika bergaul bersama suami sebagaimana yang diriwayatkan oleh Sahabat Asma’ bin Kharijah Al-Fazari.

Ia berkata kepada anaknya ketika menikah: 'Sesungguhnya engkau telah keluar dari tempat di mana engkau tinggal menuju tempat yang tak pernah engkau ketahui, dan seorang sahabat yang tidak kamu kenal, maka jadilah kamu bumi maka ia (temanmu) akan menjadi langit bagimu, jadilah kamu dataran rendah maka ia akan menjadi tiang bagimu.
 
Jadilah kamu seorang budak perempuan maka ia akan menjadi budak pula untukmu, janganlah terlalu dekat dengannya sehingga ia mampu membunuhmu dan janganlah menjauh dari mereka sehingga mereka melupakanmu, jika ia mendekatimu maka dekatilah mereka, jika mereka menjauhimu maka jauhilah mereka.'” 
[Ihyaa' Ulumiddin II/68]

Ketika orang tua mendapati sesuatu yang tidak disukainya yang beralasan tentunya seperti karena buruknya agama suami/istri dan dia mengharapkan kebaikan tidak ada salahnya ia menyuruh anaknya menceraikan istrinya atau meminta anaknya minta cerai, meskipun tidak wajib menurut sebagian pendapat tapi dianjurkan demi menyenangkan hati orang tua meskipun menurut sebagian pendapat wajib hukumnya menunaikan kehendak orang tua. Hal ini sebagaimana perbuatan Sayyidina Umar bin Khattab terhadap anaknya Abdullah bin Umar yang kerap dikenal dengan Sebutan Ibnu Umar sebagaimana disebutkan dalam hadits:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - قَالَ: كَانَتْ تَحْتِي امْرَأَةٌ أُحِبُّهَا، وَكَانَ عُمَرُ يَكْرَهُهَا، فَقَالَ لِي: طَلِّقْهَا، فَأَبَيْتُ، فَأَتَى عُمَرُ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - طَلِّقْهَا» ". 

Artinya : "Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, dia berkata: Aku memiliki seorang istri yang sangat aku cintai, namun Umar tidak menyukainya, lalu dia memerintahkanku untuk menceraikannya. Aku menolak, maka Umar mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan menceritakan hal itu kepadanya. Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadaku: "Ceraikanlah dia". (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dan Tirmidzi berkata "Hadits Shahih" sebagaimana diungkapkan oleh Syeikh Al Qaari dalam Kitab Mirqah-Nya)

Sehubungan dengan hadits tersebut Imam Syaukani berungkap:

قَوْلُهُ: (طَلِّقْ امْرَأَتَكَ) هَذَا دَلِيلٌ صَرِيحٌ يَقْتَضِي أَنَّهُ يَجِبُ عَلَى الرَّجُلِ إذَا أَمَرَهُ أَبُوهُ بِطَلَاقِ زَوْجَتِهِ أَنْ يُطَلِّقَهَا وَإِنْ كَانَ يُحِبُّهَا فَلَيْسَ ذَلِكَ عُذْرًا فِي الْإِمْسَاكِ. وَيَلْحَقُ بِالْأَبِ الْأُمُّ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَدْ بَيَّنَ أَنَّ لَهَا مِنْ الْحَقِّ عَلَى الْوَلَدِ مَا يَزِيدُ عَلَى حَقِّ الْأَبِ كَمَا فِي حَدِيثِ «مَنْ أَبَرُّ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ فَقَالَ: أُمَّكَ، ثُمَّ سَأَلَهُ فَقَالَ: أُمَّكَ، ثُمَّ سَأَلَهُ فَقَالَ: أُمَّكَ وَأَبَاكَ» وَحَدِيثِ «الْجَنَّةُ تَحْتَ أَقْدَامِ الْأُمَّهَاتِ» وَغَيْرِ ذَلِكَ.

"(Sabda Nabi: 'Ceraikanlah istrimu') ini adalah dalil yang jelas yang menunjukkan bahwa seorang laki-laki wajib menceraikan istrinya jika ayahnya memerintahkannya untuk melakukannya, meskipun dia mencintainya. Maka cinta itu bukanlah alasan untuk tidak menceraikannya. Dan hukum ini juga berlaku bagi ibu, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa ibu memiliki hak yang lebih besar atas anaknya daripada ayah, sebagaimana dalam hadits 'Siapa yang paling berhak aku perlakukan dengan baik, wahai Rasulullah?' Beliau menjawab: 'Ibumu.' Lalu dia bertanya lagi, dan beliau menjawab: 'Ibumu.' Lalu dia bertanya lagi, dan beliau menjawab: 'Ibumu dan ayahmu.' Dan dalam hadits 'Surga berada di bawah telapak kaki ibu', serta dalil-dalil lainnya."
[Nailul Authar VI/263]

Imam Al Munawi menjelaskan terkait hal ini:

ولو أمر بطلاق زوجته قال جمع: امتثل لخبر الترمذي عن ابن عمر قال: كان تحتي امرأة أحبها وكان أبي يكرهها فأمرني بطلاقها فأتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم فذكرت له ذلك فقال: طلقها قال ابن العربي في شرحه: صح وثبت وأول من أمر ابنه بطلاق امرأته الخليل وكفى به أسوة وقدوة ومن بر الابن بأبيه أن يكره من كرهه وإن كان له محبا بيد أن ذلك إذا كان الأب من أهل الدين والصلاح يحب في الله ويبغض فيه ولم يكن ذا هوى قال: فإن لم يكن كذلك استحب له فراقها لإرضائه ولم يجب عليه كما يجب في الحالة الأولى فإن طاعة الأب في الحق من طاعة الله وبره من بره

"Dan jika ayah memerintahkan anaknya untuk menceraikan istrinya, Ibnu al-'Arabi mengatakan: Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Ibnu Umar, dia berkata: 'Aku memiliki seorang istri yang sangat aku cintai, namun ayahku tidak menyukainya, lalu dia memerintahkanku untuk menceraikannya. Maka aku mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan aku ceritakan hal itu kepadanya, lalu beliau bersabda: "Ceraikanlah dia".'

Ibnu al-'Arabi dalam syarahnya mengatakan: Hadits ini sahih dan telah ditetapkan. Orang pertama yang memerintahkan anaknya untuk menceraikan istrinya adalah Nabi Ibrahim, dan cukuplah beliau sebagai contoh yang baik. Termasuk bentuk berbakti kepada ayah adalah membenci apa yang dibencinya, meskipun dia mencintainya dengan tangannya sendiri. Namun, hal ini berlaku jika ayah tersebut termasuk orang yang memiliki agama dan kesalehan yang baik, mencintai karena Allah dan membenci karena Allah, serta tidak memiliki hawa nafsu.

Jika ayahnya tidak seperti itu, maka dianjurkan untuk berpisah dengan istrinya guna memuaskan ayahnya, namun tidak wajib baginya seperti dalam keadaan pertama. Karena taat kepada ayah dalam hal yang benar termasuk taat kepada Allah, dan berbakti kepadanya termasuk berbakti kepada Allah."
[Faidh Al Qadiir IV/262]

Imam Ibnu Allan pada Syarhnya atas Kitab Riyadhus Shalihin memberi penjelasan alasan Sayyidina Umar bin Khattab memerintahkan anaknya menceraikan isterinya:

(وكنت أحبها وكان عمر يكرهها فقال لي: طلقها) أمره بذلك لكراهته لها، والظاهر أنها دينية، أو خشي أن تجره إلى ضرر في دينه (فأبيت) أي لما لها من الحبّ عندي (فأتى عمر النبيّ فذكر له ذلك) أي إبائي وامتناعي من طلاقها بعد أمره به (فقال النبيّ) من باب زيادة البر بالوالد (طلقها) والظاهر أنه طلقها لأنه لا يتخلف عن امتثال أمر النبيّ، وكأن السكوت على ذلك للعلم به من أحواله وكمال اتباعه المانع ذلك من خطور البال لمخالفة أمره

"(Aku mencintainya dan Umar membencinya, lalu ia berkata: 'Ceraikan ia') Karena tidak menyukai istrinya tersebut. Dan yang jelas, karena urusan Agama atau Umar khawatir istrinya tersebut akan menyeretnya ke dalam kerusakan agamanya. (Aku menolak) karena aku sangat mencintainya. (Lalu Umar mendatangi Nabi dan menceritakan hal itu kepadanya) tentang keenggananku untuk menceraikannya setelah dia memerintahkannya. (Maka Nabi bersabda) sebagai tambahan bentuk berbakti kepada orang tua, (Ceraikanlah dia). Dan yang jelas, dia menceraikannya karena tidak ada yang bisa menolak perintah Nabi, Seakan-akan diamnya (Ibnu Umar) tentang hal itu karena diketahui dari keadaan dan kesempurnaan ketaatannya yang mencegahnya untuk berpikir tentang menyelisihi perintah Nabi."
[Daliil Al Faalihiin III/174]


Terakhir, saya kutip pernyataan Syeikh Ibnu Hajar Al Haitami:

 لَوْ كَانَ فِي غَايَةِ الْحُمْقِ أَوْ سَفَاهَةِ الْعَقْلِ فَأَمَرَ أَوْ نَهَى وَلَدَهُ بِمَا لَا يُعَدُّ مُخَالَفَتُهُ فِيهِ فِي الْعُرْفِ عُقُوقًا لَا يَفْسُقُ وَلَدُهُ بِمُخَالَفَتِهِ حِينَئِذٍ لِعُذْرِهِ، وَعَلَيْهِ فَلَوْ كَانَ مُتَزَوِّجًا بِمَنْ يُحِبُّهَا فَأَمَرَهُ بِطَلَاقِهَا وَلَوْ لِعَدَمِ عِفَّتِهَا فَلَمْ يَمْتَثِلْ أَمْرَهُ لَا إثْمَ عَلَيْهِ كَمَا سَيَأْتِي التَّصْرِيحُ بِهِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، لَكِنَّهُ أَشَارَ إلَى أَنَّ الْأَفْضَلَ طَلَاقُهَا امْتِثَالًا لِأَمْرِ وَالِدِهِ، وَعَلَيْهِ يُحْمَلُ الْحَدِيثُ الَّذِي بَعْدَهُ: «أَنَّ عُمَرَ أَمَرَ ابْنَهُ بِطَلَاقِ زَوْجَتِهِ فَأَبَى فَذَكَرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَأَمَرَهُ بِطَلَاقِهَا» . وَكَذَا سَائِرُ أَوَامِرِهِ الَّتِي لَا حَامِلَ عَلَيْهَا إلَّا ضَعْفَ عَقْلِهِ وَسَفَاهَةَ رَأْيِهِ

"Jika ayah berada dalam keadaan sangat bodoh atau kurang akal, lalu dia memerintahkan atau melarang anaknya melakukan sesuatu yang menurut adat kebiasaan tidak dianggap sebagai kedurhakaan jika dilanggar, maka anaknya tidak berdosa jika melanggar perintah ayahnya karena memiliki alasan.

Berdasarkan hal ini, jika ayah menikahkan anaknya dengan seorang wanita yang dia cintai, lalu ayah memerintahkannya untuk menceraikan wanita tersebut, meskipun karena wanita itu tidak menjaga kehormatannya, dan anaknya tidak mematuhi perintah ayahnya, maka tidak ada dosa baginya.

Sebagaimana akan dijelaskan nanti dalam hadits Abu Dzar radhiyallahu 'anhu, namun Nabi menunjukkan bahwa yang lebih utama adalah menceraikannya sebagai bentuk ketaatan kepada ayahnya. Dan berdasarkan hal ini, hadits berikutnya dapat dipahami, yaitu hadits tentang Umar yang memerintahkan anaknya untuk menceraikan istrinya, lalu anaknya menolak, dan Umar menceritakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Rasulullah memerintahkan anaknya untuk menceraikannya.

Demikian pula dengan perintah-perintah lainnya yang hanya didasarkan pada kelemahan akal dan kebodohan ayah."
[Az Zawaajir II/115]

Wallahu A'lamu Bis Shawaab

(Dijawab oleh: Ismidar Abdurrahman As Sanusi)

Link Diskusi:

Komentari

Lebih baru Lebih lama