1303. HUKUM ADZAN TANPA WUDHU

Sumber gambar: VectorStock



Pertanyaan:
Asalamualaikum. Klow adzan di mesjid.
 Teruss si tukang adzan itu blum puya wuduu. Gimana habibb. .
[Hafid Ikml Nuqi]

Jawaban:
Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh

Menurut Madzhab Syafi'i sebagaimana banyak diterangkan dalam kitab-kitab Syafi'iyah makruh adzan dalam keadaan berhadats bahkan hadats besar sekalipun semacam junub, bahkan imam Nawawi menyebutkan bahwa kemakruhan ini merupakan Nas Imam Syafi'i dan disepakati pengikutnya. Namun demikian, ungkapan "DISEPAKATI PENGIKUTNYA" sebenarnya kurang Falid sebab ada dari Ulama Syafi'iyah yang tidak memakruhkan adzan saat berhadats. Dalil yang melandasi kemakruhan adzan dalam keadaan berhadats yakni tanpa wudhu adalah hadits:

لَا يُؤَذِّنُ إلَّا مُتَوَضِّئٌ
"Tidak ada adzan melainkan berwudhu"
(HR. Tirmidzi bab Kemakruhan adzan tanpa Wudhu)

Terkait hadits diatas Syeikh Mubarok Furi menyatakan hadits tersebut Dho'if tapi hadits tersebut dapat diamalkan yakni kemakruhan adzan tanpa wudhu karena hadits tersebut ada penyokongnya yaitu hadits wail bin Hujr.

Kendatipun demikian, meskipun Madzhab Syafi'i menetapkan adzan dalam keadaan berhadats makruh tapi tetap sah. Ini semua jikalau berhadats sebelum adzan tapi kalau sudah berlangsung adzan tetap dilanjutkan meskipun hadats besar, ini untuk menepis anggapan orang orang yang adzan bermain-main, karenanya tidak sunah memutuskan Adzan untuk berwudhu. Lain halnya ketika berhadats besar didalam masjid maka haram berdiam diri untuk melantunkan adzan dan wajib diputuskan kecuali bisa melanjutkan adzan diluar masjid sekiranya jama'ah mendengar atau dilakukan sambil keluar masjid atau dilanjutkan di pintu masjid untuk menyempurnakan adzan tersebut.

يُسْتَحَبُّ أَنْ يُؤَذِّنَ عَلَى طَهَارَةٍ فَإِنْ أَذَّنَ وَهُوَ مُحْدِثٌ أَوْ جُنُبٌ أَوْ أَقَامَ الصَّلَاةَ وَهُوَ مُحْدِثٌ أَوْ جُنُبٌ صَحَّ أَذَانُهُ وَإِقَامَتُهُ لَكِنَّهُ مَكْرُوهٌ نَصَّ عَلَى كَرَاهَتِهِ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ وَاتَّفَقُوا عَلَيْهَا وَدَلِيلُنَا مَا ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ مَعَ مَا سَنَذْكُرُهُ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى قَالُوا وَالْكَرَاهَةُ فِي الْجُنُبِ أَشَدُّ مِنْهَا فِي الْمُحْدِثِ وَفِي الْإِقَامَةِ أَغْلَظُ قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي الْأُمِّ وَلَوْ ابْتَدَأَ فِي الْأَذَانِ طَاهِرًا ثُمَّ انْتَقَضَتْ طَهَارَتُهُ بَنَى عَلَى أَذَانِهِ وَلَمْ يَقْطَعْهُ سَوَاءٌ كَانَ حَدَثُهُ جَنَابَةً أَوْ غَيْرَهَا قَالَ وَلَوْ قَطَعَهُ وَتَطَهَّرَ ثُمَّ رَجَعَ بَنَى عَلَى أَذَانِهِ وَلَوْ اسْتَأْنَفَ كَانَ أَحَبَّ إلَيَّ

“Dianjurkan (disunahkan) adzan dalam keadaan suci, maka jika adzan dalam keadaan berhadats, junub atau iqomah dalam keadaan berhadats atau junub sah adzan dan iqomahnya akan tetapi makruh nas kemakruhannya oleh imam Syafi'i dan disepakati pengikutnya, sedangkan dalilnya yang disebutkan pengarang serta akan kami sebutkan pula insya Allah. Mereka (Ulama Syafi'iyah) berkata "Kemakruhan adzan orang junub lebih berat dari orang hadats dan pada iqomah lebih berat. 
Imam Syafi'i berkata "Jika memulai adzan dalam keadaan suci kemudian terkikis kesuciannya dilanjutkan adzannya dan tidak diputuskan, baik hadatsnya janabah maupun selainnya", beliau berkata "Jika ia memutuskan dan bersuci kemudian melanjutkan adzannya walaupun dari awal lebih aku sukai"”
[Al Majmuu'Syarh al Muhadzdzab III/104]

(وَيُكْرَهُ) كُلٌّ مِنْهُمَا (لِلْمُحْدِثِ) غَيْرِ الْمُتَيَمِّمِ لِخَبَرِ التِّرْمِذِيِّ «لَا يُؤَذِّنُ إلَّا مُتَوَضِّئٌ» نَعَمْ إنْ أَحْدَثَ أَثْنَاءَهُ سُنَّ لَهُ إتْمَامُهُ
(قَوْلُهُ: وَيُكْرَهُ كُلٌّ مِنْهُمَا إلَخْ) أَيْ بِخِلَافِ غَيْرِهِمَا مِنْ الْأَذْكَارِ لَا يُكْرَهُ لِلْمُحْدِثِ؛ لِأَنَّ الْقُرْآنَ الَّذِي هُوَ أَفْضَلُ الْأَذْكَارِ لَا يُكْرَهُ لَهُ كَمَا فِي التِّبْيَانِ، وَالْعُبَابِ وَنَقَلَهُ فِي شَرْحِهِ عَنْ الْمَجْمُوعِ عَنْ الْإِمَامِ وَالْغَزَالِيِّ فَبَقِيَّةُ الْأَذْكَارِ بِالْأَوْلَى فَعُلِمَ أَنَّهُ لَيْسَ عِلَّةُ كَرَاهَةِ الْأَذَانِ، وَالْإِقَامَةِ لِلْمُحْدِثِ مُجَرَّدَ كَوْنِهِمَا ذِكْرًا كَمَا تُوُهِّمَ وَاَللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ وَفِي فَتَاوَى السُّيُوطِيّ فِي بَابِ الْأَذَانِ وَلَا يُكْرَهُ الذِّكْرُ لِلْمُحْدِثِ، بَلْ وَلَا لِلْجُنُبِ اهـ وَسَيَأْتِي أَنَّهُ لَا يُكْرَهُ إجَابَةُ الْحَائِضِ، وَالنُّفَسَاءِ لِلْمُؤَذِّنِ سم عَلَى حَجّ اهـ ع ش وَرَشِيدِيٌّ قَوْلُ الْمَتْنِ (لِلْمُحْدِثِ) أَيْ: حَدَثًا أَصْغَرَ نِهَايَةٌ وَمُغْنِي (قَوْلُهُ: نَعَمْ إنْ أَحْدَثَ إلَخْ) أَيْ وَلَوْ حَدَثًا أَكْبَرَ سُنَّ لَهُ إتْمَامُهُ وَلَا يُسْتَحَبُّ قَطْعُهُ لِيَتَوَضَّأَ لِئَلَّا يُوهِمَ التَّلَاعُبَ فَإِنْ تَطَهَّرَ وَلَمْ يَطُلْ زَمَنُهُ بَنَى، وَالِاسْتِئْنَافُ أَوْلَى نِهَايَةٌ وَمُغْنِي قَالَ ع ش قَوْلُهُ م ر وَلَوْ حَدَثًا أَكْبَرَ إلَخْ أَيْ فَلَوْ كَانَ الْأَذَانُ فِي مَسْجِدٍ حَرُمَ الْمُكْثُ وَوَجَبَ قَطْعُ الْأَذَانِ سم عَلَى حَجّ أَقُولُ: وَيَنْبَغِي أَنَّ مَحَلَّ وُجُوبِ الْقَطْعِ حَيْثُ لَمْ يَتَأَتَّ فِعْلُهُ بِلَا مُكْثٍ بِأَنْ لَمْ يَتَأَتَّ سَمَاعُ الْجَمَاعَةِ لَهُ إلَّا إذَا كَمَّلَهُ بِمَحَلِّهِ مَثَلًا وَإِلَّا فَيَجِبُ خُرُوجُهُ مِنْ الْمَسْجِدِ وَيُكْمِلُ الْأَذَانَ فِي مُرُورِهِ، أَوْ بِبَابِ الْمَسْجِدِ إنْ أَرَادَ إكْمَالَهُ اهـ
“Dimakruhkan setiap dari keduanya (adzan dan Iqamah) bagi orang yang berhadats selain yang bertayammum berdasarkan hadits Tirmidzi "Tidak ada adzan melainkan berwudhu". Memang benarlah demikian! Jika berhadats saat adzan sunah disempurnakan.
(Keterangan pengarang "Dimakruhkan setiap keduanya,,dst") artinya berbeda dengan selain adzan dari dzikir-dzikir yang lain tidak makruh bagi orang yang berhadats karena Al Qur'an yang lebih utama daripada dzikir tidak makruh dilantunkan sebagaimana keterangan Dalam Kitab At Tibyaan (karangan Imam Nawawi), Al 'Ubab dan ia nuqil pada Syarhnya dari kitab Al Majmuu' dari sang Al Imaam dan Ghazali maka dzikir-dzikir yang lain lebih utama. Karena inilah tidak ada alasan kemakruhan adzan dan iqomah bagi orang yang berhadats ada keberadaan keduanya merupakan dzikir sebagaimana yang dianggap - Wallahu A'lam -. Dalam kitab Fatawa Suyuthi pada bab Adzan disebutkan "Tidak dimakruhkan berdzikir bagi orang yang berhadats bahkan tidak pula orang junub,", selesai. Akan datang Keterangan tidak dimakruhkan menjawab adzan bagi wanita haid dan nifas, demikian keterangan Syeikh Ahmad bin Qosim Al 'Ubadiy terhadap kitab Ibn Hajar, selesai pula keterangan Syibromalisy dan Rasyidiy.
Pernyataan Matan ("Bagi orang yang berhadats") artinya hadats kecil, demikian keterangan dari kitab Nihaayah dan Mughni.
(Keterangan pengarang "Memang benarlah demikian jika, dst") artinya walaupun hadats besar sunah dilanjutkan dan tidak diputuskan untuk berwudhu karena akan membuat anggapan bermain-main, jika ia bersuci dan belum lama pemisahnya disambung tapi diulangi dari awal lebih utama, demikian keterangan dalam kitab Nihaayah dan Mughni. Syibromalisy berkata "Keterangan Imam Romli "Walaupun hadats besar" artinya jika adzan pada Masjidil, haram berdiam diri dan wajib memutuskan Adzan, demikian keterangan Ahmad bin Qosim Al 'Ubadiy terhadap kitab Ibn Hajar. Aku katakan "Letak wajibnya memutus adzan selagi tidak bisa dilakukan tanpa berdiam diri seperti jama'ah tidak bisa mendengar melainkan ia sempurnakan pada tempat ia Adzan misalnya, tetapi jika tidak maka wajib keluar masjid dan menyempurnakan adzan sembari lewat atau di pintu masjid untuk menyempurnakannya", selesai.
[Tuhfah al Muhtaaj Wa Hawaasyi as Syarwani I/472]

قُلْتُ الْعَمَلُ عَلَى حَدِيثِ الْبَابِ هُوَ الْأَوْلَى فَإِنَّ الْحَدِيثَ وَإِنْ كَانَ ضَعِيفًا لَكِنَّ لَهُ شَاهِدًا مِنْ حَدِيثِ وَائِلٍ
قَالَ الْحَافِظُ فِي التَّلْخِيصِ رَوَى الْبَيْهَقِيُّ وَالدَّارَقُطْنِيُّ فِي الْأَفْرَادِ وَأَبُو الشَّيْخِ فِي الْأَذَانِ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ الْجَبَّارِ بْنِ وَائِلٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ حَقٌّ وَسُنَّةٌ أَنْ لَا يُؤَذِّنَ الرَّجُلُ إِلَّا وَهُوَ طَاهِرٌ وَلَا يُؤَذِّنَ إِلَّا وَهُوَ قَائِمٌ إِلَّا أَنَّ فيه انقطاعا لأن عبد الجبار عنه ثبت فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ أَنَّهُ قَالَ كُنْتُ غُلَامًا لَا أَعْقِلُ صَلَاةَ أَبِي وَنَقَلَ النَّوَوِيُّ اتِّفَاقَ أَئِمَّةِ الْحَدِيثِ عَلَى أَنَّهُ لَمْ يَسْمَعْ مِنْ أَبِيهِ انْتَهَى مَا فِي التَّلْخِيصِ
وَلَهُ شَاهِدٌ آخر من حديث بن عَبَّاسٍ ذَكَرَهُ الزَّيْلَعِيُّ فِي نَصْبِ الرَّايَةِ بِلَفْظِ يا بن عَبَّاسٍ إِنَّ الْأَذَانَ مُتَّصِلٌ بِالصَّلَاةِ فَلَا يُؤَذِّنْ احدكم إلا وهو طاهر أخرجه أبوالشيخ وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ
[Tuhfah al Ahwadzi Syarh Sunan at Tirmidzi I/512]

Wallahu A'lamu Bis Showaab

(Dijawab oleh: Ismidar Abdurrahman As-Sanusi)

Link Diskusi:

Komentari

Lebih baru Lebih lama