1358. SENGGAMA SUAMI ISTRI BEDA MADZHAB TENTANG HAID



Pertanyaan:
jika bermadzhab syafi'i,beristri seorang wanita brmadzhab HANAFI .. Dalam mazhab hanafi paling sedikit waktu haid iitu tiga hari paling banyaknya sepuluh hari... Pertanyaannya : kalau istri saya yang bermazhab hanafi apakah hari kesebelas boleh jimak ?
[Ali Furqon]

Jawaban:
SUAMI ISTRI BERBEDA MADHAB MENGENAI HAID

Bila suami bermadzab Syafi'i dan istri bermadzab selain Syafi'i seperti Kasus diatas, menurut keyakinan suami (Syafi'i) Istri masih haid hingga tidak boleh disetubuhi, sedangkan menurut keyakinan istri (Selain Syafi'i) ia sudah suci hingga diperbolehkan disetubuhi. Maka dimenangkan keyakinan suami bukan istri, maksudnya bila Madzhab suami belum boleh disetubuhi maka itulah yang menjadi patokan. Begitupun sebaliknya, seperti keyakinan suami istri sudah suci sedangkan keyakinan istri masih haid.

Pada kasus tersebut apakah diperbolehkan istri bertaqlid pada suami? Tidak wajib bertaqlid pada Kasus tersebut, tapi wajib bagi istri menjaga keyakinan suami dan pasrah terhadap keyakinan suami.

Jadi, suami istri berbeda pendapat dalam Madzhab masing-masing tentang haid atau kebolehan menyetubuhi maka dimenangkan keyakinan suami, kalau Madzab suami belum boleh tetap belum boleh dan seterusnya. Dengan ditarik pertanyaan diatas maka tetap haram suami menyetubuhi istri pada hari ke sebelas karena suami bermadzab Syafi'i yang menentukan akhir hari haid 15 hari dan malamnya. Wallahu A'lam

Ibarot: 

حاشية الجمل على شرح المنهج ٢٥٣/١
(قَوْلُهُ: كَتَمَتُّعٍ) الْمُرَادُ بِهِ الْمُبَاشَرَةُ فِيمَا بَيْنَ سُرَّتِهَا وَرُكْبَتِهَا بِوَطْءٍ أَوْ غَيْرِهِ فَيَحْرُمُ عَلَى زَوْجِهَا وَطْؤُهَا وَلَوْ اخْتَلَفَ اعْتِقَادُهُمَا فَالْعِبْرَةُ بِعَقِيدَةِ الزَّوْجِ لَا الزَّوْجَةِ وَفِي حَجّ مَا يُصَرِّحُ بِهِ فِي بَابِ مَا يَحْرُمُ مِنْ النِّكَاحِ وَفِيمَا لَوْ مَكَّنَتْهُ عَمَلًا بِعَقِيدَةِ الزَّوْجِ فَهَلْ يَجِبُ عَلَيْهَا التَّقْلِيدُ لِمَنْ قَلَّدَهُ زَوْجُهَا أَوْ لَا قَالَ فِي الْإِيعَابِ فِيهِ نَظَرٌ وَلَا يَبْعُدُ وُجُوبُ التَّقْلِيدِ أَقُولُ، وَقَدْ يُقَالُ فِي وُجُوبِ التَّقْلِيدِ نَظَرٌ؛ لِأَنَّا حَيْثُ قُلْنَا الْعِبْرَةُ بِعَقِيدَةِ الزَّوْجِ صَارَتْ مُكْرَهَةً عَلَى التَّمْكِينِ شَرْعًا وَالْمُكْرَهُ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ التَّوْرِيَةُ، وَإِنْ أَمْكَنَتْهُ؛ لِأَنَّ فِعْلَهُ كَلَا فِعْلٍ فَكَذَلِكَ يُقَالُ هُنَا لَا يَجِبُ عَلَيْهَا التَّقْلِيدُ؛ لِأَنَّ فِعْلَهَا كَلَا فِعْلٍ لَا يُقَالُ يُرَدُّ عَلَى ذَلِكَ مَا قَالُوهُ فِي الطَّلَاقِ مِنْ أَنَّهُ لَوْ اخْتَلَفَ الزَّوْجُ وَالزَّوْجَةُ فِي وُقُوعِ الطَّلَاقِ وَعَدَمِهِ مِنْ أَنَّ الزَّوْجَ يَدِينُ وَعَلَيْهَا الْهَرَبُ؛ لِأَنَّا نَقُولُ لَا مُنَافَاةَ؛ لِأَنَّهَا ثَمَّةَ لَمْ تُوَافِقْهُ عَلَى مُدَّعَاهُ وَإِلَّا فَلَا تَدْيِينَ وَلِأَنَّ مُعْتَقَدَهُ ثَمَّ لَا يُقَرُّ عَلَيْهِ ظَاهِرًا فَلَزِمَهَا الْهَرَبُ مِنْهُ لِذَلِكَ بِخِلَافِ مَا هُنَا، فَإِنَّهُ يُقَرُّ عَلَيْهِ فَلَزِمَهَا تَمْكِينُهُ رِعَايَةً لِاعْتِقَادِهِ ثُمَّ رَأَيْته فِي حَاشِيَةِ شَيْخِنَا الْعَلَّامَةِ الشَّوْبَرِيِّ عَلَى الْمَنْهَجِ نَقْلًا عَنْ الْعُبَابِ اهـ ع ش عَلَى م ر.

[Mujawwib: Ismidar Abdurrahman As-Sanusi]

Link Diskusi:

Komentari

Lebih baru Lebih lama