1449. SHALAT TIDAK MENEMUKAN PENUTUP AURAT DAN AHLUL BAIT MASUK SURGA TANPA HISAB


Pertanyaan:
Assalamualaikum maaf 1.izin bertanya bagaimana hukum memakai kawat gigi?

2.Jika wanita berada di suatu tempat yg jauh dari penduduk misal lgi di gunung atau hutan pas dia mau solat perlengkapan solat gk ke bwa apakah klo dia solat solatnya wajib qodho pas balik ke rumah?
3.jika ada orang yg tarkus solat dan hewan yg kehausan manakah yg harus di dulukan?

4.saya pernah denger maaf lancang cuma ingin tau ajja semua ahlul bait akan masuk syurga tanpa di hisab..mau bagaimnapun keadaan mereka sewaktu di dunia kecuali satu mereka dpt merasakan siksa kubur?
Apakah emang bner seperti itu dan ada ibarohnya🙏🏻🙏🏻

Mohon kepada para masayaikh untuk mengeluarkan pendapat dan ibarohnya🙏🏻
[Irfan Kurniawan]

Jawaban:
Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh


2. Orang yang tidak menemukan penutup aurat shalatlah dalam keadaan itu meskipun shalat dengan telanjang, dan bila ada menemukan sebagian penutup maka wajib menggunakan sebagiannya dan yang didahulukan menutup aurat cabulnya.

Ketika seseorang shalat tanpa penutup aurat karena tidak mendapatkannya seperti yang dipertanyakan maka ketika mendapatkan penutup aurat tidak wajib I'aadah (mengulangi shalatnya) karena tidak adanya penutup aurat merupakan udzur yang merata dan dan itu terjadi terus menerus karenanya tidak wajib mengulangi shalatnya. Pada keadaan tersebut laki-laki boleh melihat kepada perempuan tersebut dan tidak dibebankan baginya menundukkan pandangannya.

مَنْ فَقَدَ السُّتْرَةَ يُصَلِّي عَارِيًّا وَلَا إعَادَةَ عَلَيْهِ ، بِخِلَافِ الْمُحْدِثِ وَمَنْ بِبَدَنِهِ نَجَاسَةٌ فَإِنَّ كُلًّا مِنْهُمَا يُصَلِّي لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ وَيُعِيدُ

“Seseorang tidak mendapati penutup aurat maka bershalatlah dengan telanjang dan tidak ada kewajiban mengulangi shalat baginya, berbeda dengan shalatnya orang yang sedang hadats dan orang yang dalam tubuhnya najis maka masing-masing darinya diwajibkan shalat untuk menghormati waktu dan mengulangi shalatnya”
[Hasyiyah As Syibromalisy Ala an Nihaayah I/58]

فَإِن عجز عَن الستْرَة صلى عُريَانا وَلَا إِعَادَة عَلَيْهِ على الرَّاجِح لِأَنَّهُ عذر عَام وَرُبمَا يَدُوم 

“Bila seseorang tidak mampu menutup aurat (karena ketiadaannya) bershalatlaah dengan telanjang dan tidak ada keharusan mengulangi shalatnya berpijak pada pendapat yang unggul karena uzur yang merata dan berterusan”
[Kifaayah Al Akhyaar Halaman 93]

(قَوْلُهُ: سَتْرُ عَوْرَةٍ) أَيْ عِنْدَ الْقُدْرَةِ فَإِنْ عَجَزَ عَنْهُ صَلَّى عَارِيًّا، وَأَتَمَّ رُكُوعَهُ وَسُجُودَهُ، وَلَا إعَادَةَ عَلَيْهِ شَرْحُ م ر وَقَوْلُهُ: صَلَّى عَارِيًّا، أَيْ الْفَرَائِضَ وَالسُّنَنَ، وَلَا تَحْرُمُ رُؤْيَتُهُ لَهَا فِي هَذِهِ الْحَالَةِ، فَلَا يُكَلَّفُ غَضَّ بَصَرِهِ ع ش عَلَى م ر
“(Keterangan Pengarang : "Menutup aurat") artinya saat mampu, namun bila tidak mampu shalat dengan telanjang, sembari menyempurnakan ruku' dan sujudnya dan tidak ada keharusan mengulangi shalatnya. Dan keterangan Pengarang: "Shalat dengan telanjang" artinya fardhu dan Sunah dan tidak haram lelaki melihatnya pada keadaan ini dan tidak dibebankan menundukkan pandangannya”
[Hasyiyah Al Bujairomi Ala Syarh al Manhaj I/233]

فَإِنْ صَلَّى عُرْيَانًا ثُمَّ وَجَدَ السُّتْرَةَ لَمْ تلزمه الْإِعَادَةُ لِأَنَّ الْعُرْيَ عُذْرٌ عَامٌّ وَرُبَّمَا اتَّصَلَ ودام فلو أوجبنا الاعادة لشق

“Bila seseorang shalat dengan telanjang kemudian (setelahnya) menemukan penutup aurat tidak wajib mengulangi shalatnya karena ketelanjangan merupakan udzur yang merata dan kerap kali berkelanjutan dan terus menerus, karenanya kalau kita mewajibkan mengulangi shalatnya memberatkan”
[Al Muhadzdzab Fii Fiqh Al Imaam as Syafi'i I/127]

قوله : (وصلى عاريا) أي ولا إعادة عليه كما يسذكره الشارح وقد مر

“Keterangan Pengarang : (Dan shalat dengan telanjang") artinya dan tidak ada keharusan mengulangi shalatnya sebagaimana akan dikemukakan Pensyarh dan sudah terdahulu sebutannya”
[Hasyiyah Al Bajuri Ala Ibn Qosim I/270]

أما العاجز عما يستر العورة فيصلي وجوبا عاريا بلا إعادة، ولو مع وجود ساتر متنجس تعذر غسله، لا من أمكنه تطهيره، وإن خرج الوقت، ولو قدر على ساتر بعض العورة لزمه الستر بما وجد، وقدم السوأتين فالقبل فالدبر
(قوله: أما العاجز الخ) مقابل قوله إن قدر.
وصورة العجز أن لا يجد ما يستر به عورته أصلا، أو وجده متنجسا ولم يقدر على ماء يطهره، أو حبس في مكان نجس وليس معه إلا ثوب يفرشه على النجاسة، فيصلي عاريا في هذه الصور الثلاثة ولا إعادة عليه، ولا يلزمه قبول هبة الثوب للمنة على الأصح، ويلزمه قبول عاريته لضعف المنة، فإن لم يقبل لم تصح صلاته لقدرته على الستر، بل يجب عليه سؤال الإعارة ممن ظن منه الرضا بها، ويحرم عليه أخذ ثوب غيره منه قهرا، لكن تصح الصلاة مع الحرمة.
[I'aanah at Thoolibiin I/134]

3. Bila persediaan air sedikit tetapi orang yang mempunyai air itu butuh air itu untuk bersuci maka yang ia dahulukan memberi minum hewan manusia atau hewan Muhtarom (dimuliakan). Ia tidak boleh memberikan air itu untuk orang atau hewan non Muhtarom.

Yang dimaksud Muhtarom disini yang haram dibunuh, sedangkan non Muhtarom yang halal dibunuh seperti orang, zina muhshon dan orang yang meninggalkan shalat. Wallahu A'lam

Ibarot :

حاشية البجيرمي على الخطيب الجزء الاول صحـ  ٢٧٩
السَّبَبُ الثَّالِثُ: حَاجَتُهُ إلَيْهِ لِعَطَشِ حَيَوَانٍ مُحْتَرَمٍ وَلَوْ كَانَتْ حَاجَتُهُ إلَيْهِ لِذَلِكَ فِي الْمُسْتَقْبِلِ صَوْنًا لِلرُّوحِ أَوْ غَيْرِهَا مِنْ التَّلَفِ، فَيَتَيَمَّمُ مَعَ وُجُودِهِ وَلَا يُكَلَّفُ الطُّهْرَ بِهِ، ثُمَّ جَمْعَهُ وَشُرْبَهُ لِغَيْرِ دَابَّةٍ؛ لِأَنَّهُ مُسْتَقْذَرٌ عَادَةً، وَخَرَجَ بِالْمُحْتَرَمِ غَيْرُهُ وَالْعَطَشُ الْمُبِيحُ لِلتَّيَمُّمِ مُعْتَبَرٌ بِالْخَوْفِ فِي السَّبَبِ الثَّانِي، وَلِلْعَطْشَانِ أَخْذُ الْمَاءِ مِنْ مَالِكِهِ قَهْرًا بِبَدَلِهِ إنْ لَمْ يَبْذُلْهُ لَهُ
قَوْلُهُ: (لِعَطَشِ حَيَوَانٍ مُحْتَرَمٍ) وَلَوْ ذِمِّيًّا أَوْ مُسْتَأْمَنًا أَوْ مُعَاهَدًا أَوْ بَهِيمَةً، فَخَرَجَ الْمُرْتَدُّ وَتَارِكُ الصَّلَاةِ وَالْحَرْبِيُّ وَالْخِنْزِيرُ فَلَا يَجُوزُ صَرْفُ الْمَاءِ إلَيْهِمْ. وَبَحَثَ بَعْضُهُمْ جَوَازَ صَرْفِهِ إلَى غَيْرِ الْمُحْتَرَمِ إنْ احْتَاجَ الْمُحْتَرَمُ إلَيْهِ كَأَنْ يَكُونَ خَادِمُهُ، وَلَمْ يَسْتَغْنِ عَنْهُ. وَقَوْلُهُ: مُحْتَرَمٌ الْمُرَادُ بِالْمُحْتَرَمِ مَا يَحْرُمُ قَتْلُهُ وَبِغَيْرِ الْمُحْتَرَمِ مَا لَا يَحْرُمُ قَتْلُهُ كَمُرْتَدٍّ وَزَانٍ مُحْصَنٍ وَتَارِكِ صَلَاةٍ. قَالَ شَيْخُنَا: لَوْ كَانَ غَيْرُ الْمُحْتَرَمِ هُوَ الَّذِي مَعَهُ الْمَاءُ مُحْتَاجًا إلَى شُرْبِهِ، فَهَلْ يَكُونُ كَغَيْرِهِ مِنْ غَيْرِ الْمُحْتَرَمِينَ فِي أَنَّهُ يَسْتَعْمِلُهُ فِي الطَّهَارَةِ، وَإِنْ مَاتَ عَطَشًا أَوْ يَشْرَبُهُ وَيَتَيَمَّمُ؛ لِأَنَّهُ غَيْرُ مَأْمُورٍ بِمُبَاشَرَةِ قَتْلِ نَفْسِهِ، الْمُتَّجَهُ الثَّانِي شَرْحُ م ر.

4. Tidak benar keturunan Rasulullah atau disebut dengan Ahlul Bait bulat-bulat masuk surga walaupun mereka berbuat - maaf - maksiat. Karena nasab tidak menjadi tolak ukur dalam memperoleh oleh kehidupan bahagia diakhirat kalau amalannya berkurang. Seperti disinggung dalam hadits:

ﻭﻣﻦ ﺑﻄﺄ ﺑﻪ ﻋﻤﻠﻪ ﻟﻢ ﻳﺴﺮﻉ ﺑﻪ ﻧﺴﺒﻪ
"Barang siapa yang amalnya telat maka tidak dapat mempercepat kedudukan nasabnya" (HR Muslim)

قوله صلى الله عليه وسلم : ( ومن بطأ به عمله لم يسرع به نسبه ) معناه : من كان عمله ناقصا ، لم يلحقه بمرتبة أصحاب الأعمال ، فينبغي ألا يتكل على شرف النسب ، وفضيلة الآباء ، ويقصر في العمل .
Sabda Nabi ("Barang siapa yang amalnya telat maka tidak dapat mempercepat kedudukan nasabnya") maknanya:  Seseorang yang amalnya kurang tidak dapat menyusul kedudukan orang-orang yang banyak amalnya. Dianjurkan agar tidak bersandar pada kemuliaan nasab dan keagungan leluhur, tapi lalai dalam beramal”
[Syarh an Nawawi Ala Muslim XVII/22]

Wallahu A'lamu Bis Showaab



Komentari

Lebih baru Lebih lama