ISMIDAR ABDURRAHMAN AS-SANUSI·1 MEI 2017
PERTANYAAN
Assalamu'alaikum
DISKRIPSI MASALAH
Dengan adanya tradisi PACARAN di lingkungan kita tidak jarang karena kurang kuatnya Iman menyebabkan anak putri kita melakukan sesuatu perbuatan yang dipandang syara' sebagai perbuatan terkutuk, keji dan melanggar norma; baik bagi masyarakat, lebih-lebih dalam tatanan keagamaan yakni ZINA. Dari perbuatan jelek tersebut tidak jarang lahir seorang anak dari perbuatan tersebut. Sehingga memerlukan kejelasan hukum mengenai anak tersebut yang dinilai dalam perspektif fiqh.
Pertanyaan:
1. Apakah seorang ayah baik yang menghamili ibunya atau tidak Berhak memberikan nafkah kepada anak hasil zina?
2. Seandainya si bapak mau mengawini anak tersebut apakah diperbolehkan?
3. Ketika si bapak telah meninggal apakah si anak tersebut berhak akan warisan yang ditinggalkan si bapak tersebut?
[Ahmad Maulana]
JAWABAN
Wa’alaikumussalam Warohmatullohi Wabarokaatuh
Berdasarkan diskripsi pertanyaan kami tafshil sebagai berikut:
1. Menurut Imam Syafi'I dan Imam Malik Rahimahullah pada pendapat yang Masyhur dikalangan Madzhab mereka berpendapat bahwa anak zina tidak dinafkahi oleh ayahnya dan ia dinafkahi oleh Ibunya dikarenakan diantara mereka (anak zina dan bapak biologis) tidak memiliki hubungan darah.
2. Menurut Mayoritas Ulama Haram bagi lelaki menikahi anak perempuannya yang dihasilkan dari perbuatan zina. Sedangkan Menurut Imam Syafi'I dan Imam Malik dalam pendapat yang Masyhur dari kalangan Madzhab mereka membolehkan menikahi anak perempuannya dengan alasan bahwa mereka (anak zina dan bapak biologis) tidak memiliki hubungan darah secara syara' (tidak senasab). Namun dalam Madzhab Imam Syafi'I (Syafi'iyyah) hukum diperbolehkan menikahi anak hasil dari perzinaan tapi makruh dengan ketentuan bahwa si bapak biologis belum menikahi ibunya (ibu anak zina) demi keluar khilaf pendapat Imam Abu Hanifah, bila telah menikahi ibunya maka si bapak biologis tidak diperbolehkan menikahi anak zinanya tersebut.
3. Anak hasil zina tidak mendapatkan warisan dari harta peninggalan bapak biologisnya dengan alasan sama pada bag 1 dan 2 di atas (tidak memiliki hubungan nasab).
Keterangan Dari:
وَيَحْرُمُ عَلَى الرَّجُلِ نِكَاحُ ابْنَتِهِ مِنَ الزِّنَا وَاُخْتِهِ وَبِنْتِ ابْنِهِ وَبِنْتِ بِنْتِهِ وَبِنْتِ أَخِيهِ وَاُخْتِهِ مِنَ الزِّنَا فِي قَوْلِ عَامَّةِ الْفُقَهَاءِ وَقَالَ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ فِي الْمَشْهُورِ مِنْ مَذْهَبِهِ يَجُوزُ لَهُ لِاَنَّهَا اَجْنَبِيَّةٌ مِنْهُ وَلَا تُنْسَبُ إِلَيْهِ شَرْعًا وَلَا يَجْرِى التَّوَارُثُ بَيْنَهُمَا وَلَا تَعْتِقُ عَلَيْهِ إِذَا مَلَكَهَا وَلَا يَلْزَمُهُ نَفَقَتُهَا فَلَمْ تَحْرُمْ عَلَيْهِ كَسَائِرِ الْاَجَانِبِ
“Menurut mayoritas fuqaha, haram bagi lelaki menikahi anak perempuannyanya yang dihasilkan dari perzinahan, saudara perempuannya, anak perempuan dari anak laki-lakinya, anak perempuan dari anak perempuannya, anak perempuan saudara laki-lakinya, dan saudara perempuanya. Sedang menurut Imam Malik dan Imam Syafii dalam pendapat yang masyhur di kalangan madzhabnya, boleh bagi laki-laki tersebut menikahi anak perempuanya karena ia adalah ajnabiyyah (tidak memiliki hubungan darah), tidak dinasabkan kepadanya secara syar’i, tidak berlaku di antara keduanya hukum kewarisan, dan ia tidak bebas dari laki-laki yang menjadi ayah biologisnya ketika sang yang memilikinya sebagai budak, dan tidak ada keharus bagi sang ayah untuk member nafkah kepadanya. Karenanya, ia tidak haram bagi ayah biologisnya (untuk menikahinya) sebagaimana perempuan-perempuan lain”.[Al-Mughni Li Ibn Qudamah VII/92, Cet. Dar Ihyaa' at-Turats al-Araby 1405 H/Cet. Bairut-Dar al-Fikr, cet ke-1, 1405 H, VII/ 485]
ولا يمنع زناه بامرأة نكاحه لها ولا لامها ولا لبنتها ولو كانت بنتها مخلوقة من ماء زناه اذ لا حرمة لماء الزنا لكن يكره له نكاحها
“Dan tidak menjadi terlarang akibat perbuatan zina seorang lelaki pada wanita untuk menikahinya, menikahi ibunya atau anaknya meskipun anak tersebut tertitah dari air sperma saat ia menzinahi ibunya karena tidak ada kemuliaan dalam spermanya (sperma yang mulia adalah yang tertuang melalui pernikahan sah) namun makruh baginya menikahi mereka”.
[As-Syarqawy II/219]
رجل زنا بامرأة واستولدها بنتا من الزنا فلما بلغت البنت تزوجها ودخل بها ثم بعد الدخول اعترف أنها ابنته من الزنا, فهل تزوجه البنت المذكورة صحيح أم لا؟ وهل له إمساكها بالتزويج المذكور؟ وهل يترتب عليه شيء فى ذلك؟
أجاب: مجرد الزنا لا تحرم به المولودة مذكورة اذا لم يظهر نسبها إليه بطريق شرعي وحينئذ فتزويجه صحيح, لأنها ليست بنته شرعا وله إمساكها, ولا يترتب عليه شيئ على المعتمد عند الشافعي
[Fatawa Bulqini, Juz.II, Cet. Dar ibnu Affan Hal.213]
(قوله: لا مخلوقة من ماء زناه) أي لا يحرم نكاح مخلوقه من ماء زناه: إذ لا حرمة لماء الزنا لكن يكره نكاحها خروجا من خلاف الإمام أبي حنيفة رضي الله عنه.
ومثل المخلوقة من ماء الزنا المخلوقة من ماء استمنائه بغير يد حليلته والمرتضعة بلبن الزنا، وإن أرضعت المرأة بلبن زنا شخص بنتا صغيرة حلت له، ولا يقاس على ذلك المرأة الزانية، فإنها يحرم عليها ولدها بالإجماع.
والفرق أن البنت انفصلت من الرجل وهي نطفة قذرة لا يعبأ بها، والولد انفصل من المرأة وهو إنسان كامل
[I'aanah at-Thoolibiin III/327]
فرع: قال الصيمري: فطرة ولد الزنا على أمه إذ لا أب له كما تلزمها نفقته، وكذا من لاعنت فيه لذلك؛ فإن اعترف به الزوج لم ترجع الأم عليه بما أدته من فطرته كما لا ترجع عليه بما غرمته من نفقته. وكأن وجهه أنه حال إخراج الفطرة والإنفاق كان منفيا عنه ظاهرا ولم يثبت نسبه إلا من حين استلحاقه، ثم رأيته علل بأن ذلك منها على سبيل المواساة؛ وقضيته أنه لو كان بإجبار حاكم رجعت وهو محتمل،. اهـ. عب وشرحه.
[Bujairomi ala al-Khothiib II/354, Maktabah Syamilah]
وشمل قوله من تلزمه نفقة فرعه أم ولد زنا فيندب لها أن تعق عنه لكن تخفيها خوف الهتيكة.
[I'aanah at-Thoolibiin II/335]
Wallahu A'lamu Bis Showaab
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~`
MUSYAWIRIN: MEMBERS GROUF DISKUSI HUKUM FIQIH BERDASARKAN EMPAT MADZHAB
MUSHOHHIH, PERUMUS SEKALIGUS EDITOR: Ismidar Abdurrahman As-Sanusi
Link Mudzakaroh:
https://www.facebook.com/groups/asawaja/permalink/1314922798555702/
Dokumen FB:
https://www.facebook.com/notes/diskusi-hukum-fiqih-berdasarkan-empat-madzhab/0296-munakahat-hukum-ayah-biologis-menikahi-anak-zinanya-nafkah-anak-zina-dan-wa/1315781851803130/
PERTANYAAN
Assalamu'alaikum
DISKRIPSI MASALAH
Dengan adanya tradisi PACARAN di lingkungan kita tidak jarang karena kurang kuatnya Iman menyebabkan anak putri kita melakukan sesuatu perbuatan yang dipandang syara' sebagai perbuatan terkutuk, keji dan melanggar norma; baik bagi masyarakat, lebih-lebih dalam tatanan keagamaan yakni ZINA. Dari perbuatan jelek tersebut tidak jarang lahir seorang anak dari perbuatan tersebut. Sehingga memerlukan kejelasan hukum mengenai anak tersebut yang dinilai dalam perspektif fiqh.
Pertanyaan:
1. Apakah seorang ayah baik yang menghamili ibunya atau tidak Berhak memberikan nafkah kepada anak hasil zina?
2. Seandainya si bapak mau mengawini anak tersebut apakah diperbolehkan?
3. Ketika si bapak telah meninggal apakah si anak tersebut berhak akan warisan yang ditinggalkan si bapak tersebut?
[Ahmad Maulana]
JAWABAN
Wa’alaikumussalam Warohmatullohi Wabarokaatuh
Berdasarkan diskripsi pertanyaan kami tafshil sebagai berikut:
1. Menurut Imam Syafi'I dan Imam Malik Rahimahullah pada pendapat yang Masyhur dikalangan Madzhab mereka berpendapat bahwa anak zina tidak dinafkahi oleh ayahnya dan ia dinafkahi oleh Ibunya dikarenakan diantara mereka (anak zina dan bapak biologis) tidak memiliki hubungan darah.
2. Menurut Mayoritas Ulama Haram bagi lelaki menikahi anak perempuannya yang dihasilkan dari perbuatan zina. Sedangkan Menurut Imam Syafi'I dan Imam Malik dalam pendapat yang Masyhur dari kalangan Madzhab mereka membolehkan menikahi anak perempuannya dengan alasan bahwa mereka (anak zina dan bapak biologis) tidak memiliki hubungan darah secara syara' (tidak senasab). Namun dalam Madzhab Imam Syafi'I (Syafi'iyyah) hukum diperbolehkan menikahi anak hasil dari perzinaan tapi makruh dengan ketentuan bahwa si bapak biologis belum menikahi ibunya (ibu anak zina) demi keluar khilaf pendapat Imam Abu Hanifah, bila telah menikahi ibunya maka si bapak biologis tidak diperbolehkan menikahi anak zinanya tersebut.
3. Anak hasil zina tidak mendapatkan warisan dari harta peninggalan bapak biologisnya dengan alasan sama pada bag 1 dan 2 di atas (tidak memiliki hubungan nasab).
Keterangan Dari:
وَيَحْرُمُ عَلَى الرَّجُلِ نِكَاحُ ابْنَتِهِ مِنَ الزِّنَا وَاُخْتِهِ وَبِنْتِ ابْنِهِ وَبِنْتِ بِنْتِهِ وَبِنْتِ أَخِيهِ وَاُخْتِهِ مِنَ الزِّنَا فِي قَوْلِ عَامَّةِ الْفُقَهَاءِ وَقَالَ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ فِي الْمَشْهُورِ مِنْ مَذْهَبِهِ يَجُوزُ لَهُ لِاَنَّهَا اَجْنَبِيَّةٌ مِنْهُ وَلَا تُنْسَبُ إِلَيْهِ شَرْعًا وَلَا يَجْرِى التَّوَارُثُ بَيْنَهُمَا وَلَا تَعْتِقُ عَلَيْهِ إِذَا مَلَكَهَا وَلَا يَلْزَمُهُ نَفَقَتُهَا فَلَمْ تَحْرُمْ عَلَيْهِ كَسَائِرِ الْاَجَانِبِ
“Menurut mayoritas fuqaha, haram bagi lelaki menikahi anak perempuannyanya yang dihasilkan dari perzinahan, saudara perempuannya, anak perempuan dari anak laki-lakinya, anak perempuan dari anak perempuannya, anak perempuan saudara laki-lakinya, dan saudara perempuanya. Sedang menurut Imam Malik dan Imam Syafii dalam pendapat yang masyhur di kalangan madzhabnya, boleh bagi laki-laki tersebut menikahi anak perempuanya karena ia adalah ajnabiyyah (tidak memiliki hubungan darah), tidak dinasabkan kepadanya secara syar’i, tidak berlaku di antara keduanya hukum kewarisan, dan ia tidak bebas dari laki-laki yang menjadi ayah biologisnya ketika sang yang memilikinya sebagai budak, dan tidak ada keharus bagi sang ayah untuk member nafkah kepadanya. Karenanya, ia tidak haram bagi ayah biologisnya (untuk menikahinya) sebagaimana perempuan-perempuan lain”.[Al-Mughni Li Ibn Qudamah VII/92, Cet. Dar Ihyaa' at-Turats al-Araby 1405 H/Cet. Bairut-Dar al-Fikr, cet ke-1, 1405 H, VII/ 485]
ولا يمنع زناه بامرأة نكاحه لها ولا لامها ولا لبنتها ولو كانت بنتها مخلوقة من ماء زناه اذ لا حرمة لماء الزنا لكن يكره له نكاحها
“Dan tidak menjadi terlarang akibat perbuatan zina seorang lelaki pada wanita untuk menikahinya, menikahi ibunya atau anaknya meskipun anak tersebut tertitah dari air sperma saat ia menzinahi ibunya karena tidak ada kemuliaan dalam spermanya (sperma yang mulia adalah yang tertuang melalui pernikahan sah) namun makruh baginya menikahi mereka”.
[As-Syarqawy II/219]
رجل زنا بامرأة واستولدها بنتا من الزنا فلما بلغت البنت تزوجها ودخل بها ثم بعد الدخول اعترف أنها ابنته من الزنا, فهل تزوجه البنت المذكورة صحيح أم لا؟ وهل له إمساكها بالتزويج المذكور؟ وهل يترتب عليه شيء فى ذلك؟
أجاب: مجرد الزنا لا تحرم به المولودة مذكورة اذا لم يظهر نسبها إليه بطريق شرعي وحينئذ فتزويجه صحيح, لأنها ليست بنته شرعا وله إمساكها, ولا يترتب عليه شيئ على المعتمد عند الشافعي
[Fatawa Bulqini, Juz.II, Cet. Dar ibnu Affan Hal.213]
(قوله: لا مخلوقة من ماء زناه) أي لا يحرم نكاح مخلوقه من ماء زناه: إذ لا حرمة لماء الزنا لكن يكره نكاحها خروجا من خلاف الإمام أبي حنيفة رضي الله عنه.
ومثل المخلوقة من ماء الزنا المخلوقة من ماء استمنائه بغير يد حليلته والمرتضعة بلبن الزنا، وإن أرضعت المرأة بلبن زنا شخص بنتا صغيرة حلت له، ولا يقاس على ذلك المرأة الزانية، فإنها يحرم عليها ولدها بالإجماع.
والفرق أن البنت انفصلت من الرجل وهي نطفة قذرة لا يعبأ بها، والولد انفصل من المرأة وهو إنسان كامل
[I'aanah at-Thoolibiin III/327]
فرع: قال الصيمري: فطرة ولد الزنا على أمه إذ لا أب له كما تلزمها نفقته، وكذا من لاعنت فيه لذلك؛ فإن اعترف به الزوج لم ترجع الأم عليه بما أدته من فطرته كما لا ترجع عليه بما غرمته من نفقته. وكأن وجهه أنه حال إخراج الفطرة والإنفاق كان منفيا عنه ظاهرا ولم يثبت نسبه إلا من حين استلحاقه، ثم رأيته علل بأن ذلك منها على سبيل المواساة؛ وقضيته أنه لو كان بإجبار حاكم رجعت وهو محتمل،. اهـ. عب وشرحه.
[Bujairomi ala al-Khothiib II/354, Maktabah Syamilah]
وشمل قوله من تلزمه نفقة فرعه أم ولد زنا فيندب لها أن تعق عنه لكن تخفيها خوف الهتيكة.
[I'aanah at-Thoolibiin II/335]
Wallahu A'lamu Bis Showaab
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~`
MUSYAWIRIN: MEMBERS GROUF DISKUSI HUKUM FIQIH BERDASARKAN EMPAT MADZHAB
MUSHOHHIH, PERUMUS SEKALIGUS EDITOR: Ismidar Abdurrahman As-Sanusi
Link Mudzakaroh:
https://www.facebook.com/groups/asawaja/permalink/1314922798555702/
Dokumen FB:
https://www.facebook.com/notes/diskusi-hukum-fiqih-berdasarkan-empat-madzhab/0296-munakahat-hukum-ayah-biologis-menikahi-anak-zinanya-nafkah-anak-zina-dan-wa/1315781851803130/