0114. FIQIH PUASA : HUKUM PUASA DALAM KEADAAN JUNUB















Pertanyaan:

Assalamualaikum
Sahkah puasa jika mandi junub setelah imsyak
[Izul Khaf]

Jawaban:
Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh

Menurut Madzhab Syafi'i dan Mayoritas Ulama apabila seseorang dalam keadaan junub dan sudah masuk waktu shubuh ia belum mandi maka puasanya sah bahkan Madzhab Syafi'i menyebutkan puasa dalam keadaan junub seharian tanpa mandi sah puasanya sebab puasa tidak disyaratkan suci dari hadats, tapi dengan tidak mandi junub berarti melalaikan kewajiban yang lain seperti shalat fardhu, meskipun begitu puasanya dianggap sah selama sesuai syarat dan rukun puasa. Dalil yang menjadi pijakan Ulama Syafi'iyah dan Mayoritas Ulama ialah hadits:

عَنْ أَبِي بَكْرٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُصُّ يَقُولُ فِي قَصَصِهِ مَنْ أَدْرَكَهُ الْفَجْرُ جُنُبًا فَلَا يَصُمْ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ لِأَبِيهِ فَأَنْكَرَ ذَلِكَ فَانْطَلَقَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ وَانْطَلَقْتُ مَعَهُ حَتَّى دَخَلْنَا عَلَى عَائِشَةَ وَأُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَسَأَلَهُمَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ عَنْ ذَلِكَ قَالَ فَكِلْتَاهُمَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ غَيْرِ حُلُمٍ ثُمَّ يَصُومُ قَالَ فَانْطَلَقْنَا حَتَّى دَخَلْنَا عَلَى مَرْوَانَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ فَقَالَ مَرْوَانُ عَزَمْتُ عَلَيْكَ إِلَّا مَا ذَهَبْتَ إِلَى أَبِي هُرَيْرَةَ فَرَدَدْتَ عَلَيْهِ مَا يَقُولُ قَالَ فَجِئْنَا أَبَا هُرَيْرَةَ وَأَبُو بَكْرٍ حَاضِرُ ذَلِكَ كُلِّهِ قَالَ فَذَكَرَ لَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ أَهُمَا قَالَتَاهُ لَكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ هُمَا أَعْلَمُ ثُمَّ رَدَّ أَبُو هُرَيْرَةَ مَا كَانَ يَقُولُ فِي ذَلِكَ إِلَى الْفَضْلِ بْنِ الْعَبَّاسِ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ سَمِعْتُ ذَلِكَ مِنْ الْفَضْلِ وَلَمْ أَسْمَعْهُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَرَجَعَ أَبُو هُرَيْرَةَ عَمَّا كَانَ يَقُولُ فِي ذَلِكَ قُلْتُ لِعَبْدِ الْمَلِكِ أَقَالَتَا فِي رَمَضَانَ قَالَ كَذَلِكَ كَانَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ غَيْرِ حُلُمٍ ثُمَّ يَصُومُ
“Dari Abu Bakar ia berkata, saya mendengar Abu Hurairah radliallahu 'anhu mengkisahkan. Di dalam kisahnya ia berkata, Siapa yang junub di waktu fajar, maka janganlah ia berpuasa. Maka saya pun menyampaikan hal itu kepada Abdurrahman bin Al Harits dan ternyata ia mengingkarinya. Lalu ia pun segera pergi dan aku ikut bersamanya menemui Aisyah dan Ummu Salamah radliallahu 'anhuma. Kemudian Abdurrahman menanyakan hal itu kepada keduanya, maka keduanya menjawab, Di suatu pagi, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam junub bukan karena mimpi, kemudian setelah itu beliau tetap berpuasa. Sesudah itu, kami menemui Marwan, dan Abdurrahman menuturkan pula hal itu padanya. Maka Marwan berkata, Aku aku berbuat sesuatu atas kalian, kecuali bila kalian segera menemui Abu Hurairah dan membantah apa yang telah didkatakannya. Akhirnya kami pun segera menemui Abu Hurairah sedangkan Abu Bakar juga hadir bersamanya. Abdurrahman kemudian menuturkan perkara tersebut. Maka Abu Hurairah pun bertanya, Apakah keduanya memang telah mengatakannya kepadamu? Abdurrahman menjawab: Ya. Abu Hurairah berkata, Mereka berdua lebih mengetahui. Kemudian Abu Hurairah mengembalikan ungkapan yang telah diucapkannya tersebut ke Al Fadll bin Al Abbas, ia berkata, Aku mendengar hal itu dari Al Fadll, memang aku tidak mendengarnya langsung dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Akhirnya Abdurrahman menarik kembali pendapatnya dalam permasalahan tersebut. Kemudian aku bertanya kepada Abdul Malik, Apakah keduanya mengatakan: 'Di bulan Ramadlan? ' Ia menjawab, Seperti itulah. Di suatu pagi, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam junub bukan karena mimpi, kemudian setelah itu beliau tetap berpuasa”. (HR. Muslim)

Adapun dasar pendapat yang tidak mengabsahkan puasa dalam keadaan junub atau memasuki shubuh dalam keadaan junub adalah hadits yang bersumber dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ أَدْرَكَهُ الْفَجْرُ جُنُبًا فَلَا يَصُم
”Dari Abu Hurairah beliau mengatakan: Siapa yang mendapati fajar dalam keadaan junub maka janganlah berpuasa” (HR. Muslim)

Hadits tersebut diatas dijawab oleh kalangan Syafi'iyah bahwa itu merupakan pendapat Abu Hurairah yang beliau mendasarkan pendapatnya dari perkataan Al Abbas dan beliau tidak mendengar langsung dari Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam, karenanya perkataan beliau itu sudah beliau tarik sesuai hadits riwayat Muslim diawal. Jawaban lainnya ialah maksud hadits tersebut melakukan jima' (berhubungan intim) sampai shubuh dan terus melakukan adegan itu tanpa dicabut atau hadits tersebut mansukh.

Meskipun berpuasa dalam keadaan junub sah menurut Madzhab Syafi'i tapi mereka mensunahkan agar mandi junub dilakukan sebelum shubuh agar bisa mulai berpuasa dalam keadaan suci, dikhawatirkan air masuk pada lubang anggota badan dan demi keluar dari perbedaan pendapat Ulama yang tidak mengabsahkan puasa dalam keadaan junub.

قَوْلُهُ (عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ أَدْرَكَهُ الْفَجْرُ جُنُبًا فَلَا يَصُمْ) ثُمَّ ذَكَرَ أَنَّهُ حِينَ بَلَغَهُ قَوْلُ عَائِشَةَ وَأُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يُصْبِحُ جُنُبًا وَيُتِمُّ صَوْمَهُ رَجَعَ أَبُو هُرَيْرَةَ عَنْ قَوْلِهِ مَعَ أَنَّهُ كَانَ رَوَاهُ عَنِ الْفَضْلِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَعَلَّ سَبَبَ رُجُوعِهِ أَنَّهُ تَعَارَضَ عِنْدَهُ الْحَدِيثَانِ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا وَتَأَوَّلَ أَحَدَهُمَا وَهُوَ قَوْلُهُ مَنْ أَدْرَكَهُ الْفَجْرُ جُنُبًا فَلَا يَصُمْ وَفِي رِوَايَةِ مَالِكٍ أَفْطَرَ فَتَأَوَّلَهُ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ مِنَ الْأَوْجُهِ فِي تَأْوِيلِهِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى فَلَمَّا ثَبَتَ عِنْدَهُ أَنَّ حَدِيثَ عَائِشَةَ وَأُمِّ سَلَمَةَ عَلَى ظَاهِرِهِ وَهَذَا مُتَأَوَّلٌ رَجَعَ عَنْهُ وَكَانَ حَدِيثُ عَائِشَةَ وَأُمِّ سَلَمَةَ أَوْلَى بِالِاعْتِمَادِ لِأَنَّهُمَا أَعْلَم... -الى أن قال- جواب بن الْمُنْذِرِ فِيمَا رَوَاهُ عَنِ الْبَيْهَقِيِّ أَنَّ حَدِيثَ أَبِي هُرَيْرَةَ مَنْسُوخٌ وَأَنَّهُ كَانَ فِي أَوَّلِ الْأَمْرِ حِينَ كَانَ الْجِمَاعُ مُحَرَّمًا فِي اللَّيْلِ بَعْدَ النَّوْمِ كَمَا كَانَ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ مُحَرَّمًا ثُمَّ نُسِخَ ذَلِكَ وَلَمْ يَعْلَمْهُ أَبُو هُرَيْرَةَ فَكَانَ يُفْتِي بِمَا عَلِمَهُ حَتَّى بَلَغَهُ النَّاسِخُ فرجع إليه قال بن الْمُنْذِرِ هَذَا أَحْسَنُ مَا سَمِعْتُ فِيهِ وَاللَّهُ أَعْلَم

(Dari Abu Hurairah bahwa ia berkata: Siapa yang mendapati fajar dalam keadaan junub maka janganlah berpuasa) kemudian ia (perawi hadits) menuturkan ia sampaikan perkataan Aisyah dan Ummu Salamah bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam pada waktu shubuh dalam keadaan junub dan beliau tetap menyempurnakan puasanya (mendengar hal itu) Abu Hurairah mencabut ucapannya itu (sebab) ia meriwayatkan dari Al Fadhl dari Nabi Shallallahu alaihi Wasallam (beliau tidak mendengar sendiri dari Nabi Shallallahu alaihi Wasallam) sebab itulah beliau merujuk pendapatnya, menurutnya telah terjadi taarudh dua hadits dan beliau mengambil jalan mengkompromikannya keduanya... Jelas sekali menurutnya hadits Aisyah dan Ummu Salamah adalah dzohir (sebab itulah) ia merujuk pendapatnya dan hadits Aisyah dan Ummu Salamah lebih utama diamalkan karena keduanya tentu lebih mengetahui.
Ibn Mundzir menjawab hadits tersebut dengan yang dia riwayatkan dari Baihaqy bahwa Hadits Abu Hurairah Mansukh dan itu terjadi pada awal perintah jima' diharamkan pada malam hari sesudah tidur sebagaimana makan dan minum dan Abu Hurairah tidak mengetahui dengan apa yang ia fatwakan sehingga sampai kepadanya yang memansukhkhan maka beliau menarik kembali ucapannya, berkata Ibn Mundzir : Ini sangat baik apa yang sudah saya dengar. 
[Syarh an Nawawi ala Muslim V/220-222]

فَإِنْ طَهُرَتْ) أَيْ انْقَطَعَ حَيْضُهَا أَوْ نِفَاسُهَا (وَصَامَتْ) أَوْ صَامَ الْجُنُبُ (بِلَا غُسْلٍ صَحَّ) الصَّوْمُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى {فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ} [البقرة: 187] وَلِخَبَرِ الصَّحِيحَيْنِ «كَانَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ غَيْرِ احْتِلَامٍ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ» وَقِيسَ بِالْجُنُبِ الْحَائِضُ وَالنُّفَسَاءُ وَأَمَّا خَبَرُ الْبُخَارِيِّ «مَنْ أَصْبَحَ جُنُبًا فَلَا صَوْمَ لَهُ» فَحَمَلُوهُ عَلَى مَنْ أَصْبَحَ مُجَامِعًا وَاسْتَدَامَ الْجِمَاعَ وَحَمَلَهُ بَعْضُهُمْ عَلَى النَّسْخِ وَاسْتَحْسَنَهُ ابْنُ الْمُنْذِرِ
“Apabila wanita haid dan nifas sudah suci yakni berhenti darahnya atau orang yang junub berpuasa tanpa mandi sah puasanya berdasarkan firman Allah "Maka sekarang campurilah mereka" (QS. Al-Baqarah ayat 187) dan berdasarkan hadits dalam Shahihain (Bukhari dan Muslim) "Adalah Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam pada waktu shubuh (pagi) junub sebab jimak bukan sebab mimpi kemudian mandi dan berpuasa", sedangkan hadits riwayat Bukhari "Siapa pada waktu shubuh dalam keadaan junub tiada puasa baginya" pengertiannya orang yang pada waktu shubuh melakukan jimak dan meneruskan jima' dan sebagian Ulama membawa pengertian hadits tersebut mansukh (tidak berlaku lagi hukumnya) dan Ibn Mundzir menganggapnya baik”
[Asnaa al Mathoolib I/422]

الْمَسْأَلَةُ الْخَامِسَةُ) إذَا جَامَعَ فِي اللَّيْلِ وَأَصْبَحَ وَهُوَ جُنُبٌ صَحَّ صَوْمُهُ بِلَا خِلَافٍ عِنْدَنَا وَكَذَا لَوْ انْقَطَعَ دَمُ الْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ فِي اللَّيْلِ فَنَوَتَا صَوْمَ الْغَدِ وَلَمْ يَغْتَسِلَا صَحَّ صَوْمُهُمَا بِلَا خِلَافٍ عِنْدَنَا وَبِهِ قَالَ جُمْهُورُ
الْعُلَمَاءِ مِنْ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ 
“(MASALAH KELIMA) Apabila berhubungan intim pada malam hari dan pada waktu shubuh dia dalam keadaan junub sah puasanya tanpa ada khilaf dalam pandangan kami (Syafi'iyah), demikian pula jika wanita haid dan nifas berhenti darahnya pada malam hari dan berniat puasa dan belum mandi sah puasanya tanpa ada khilaf dalam pandangan kami dan dengannya berpendapat pula Mayoritas Ulama dari kalangan Sahabat, Thobi'in dan sesudah mereka”
[Al Majmuu' Syarh al Muhadzdzab VI/307]

الاغتسال عن الجنابة قبل الفجر:
ليكون على طهر من أول الصوم ـ ومعنى ذلك أن الجنابة لا تنافي الصيام، ولكن الأفضل إزالتها قبل الفجر.
ودليل ذلك ما رواه البخاري (1825، 1830): أن النبي - صلى الله عليه وسلم - كان يصبح جنباً من جماع غير احتلام، ثم يغتسل ويصوم.
وكذلك يستحب الغسل عن الحيض والنفاس قبل الفجر إذا تم الطهر ونقطع الدم قبل ذلك.
[Al Fiqh Al Manhaji Ala Madzhab Al Imaam as Syafi'i II/90]

(وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَغْتَسِلَ عَنْ الْجَنَابَةِ) وَالْحَيْضِ وَالنِّفَاسِ (قَبْلَ الْفَجْرِ) لِيَكُونَ عَلَى طُهْرٍ مِنْ أَوَّلِ الصَّوْمِ، وَلِيَخْرُجَ مِنْ خِلَافِ أَبِي هُرَيْرَةَ حَيْثُ قَالَ: لَا يَصِحُّ صَوْمُهُ، وَخَشْيَةً مِنْ وُصُولِ الْمَاءِ إلَى بَاطِنِ أُذُنٍ أَوْ دُبُرٍ أَوْ نَحْوِهِ.
[Mughni al Muhtaaj II/167]

Wallahu A'lamu Bis Showaab

(Ismidar Abdurrahman As-Sanusi)

Link diskusi:

Komentari

Lebih baru Lebih lama