1871. HUKUM SHALAT DALAM KEADAAN BAJU YANG DIGULUNG


Pertanyaan:
Assalamualaikum WR WB mohon maaf para ustadz apakah mengerjakan sholat dgn keadaan lengan baju yg di gulung apakah itu tdk diperbolehkan
[Abd Wkhid]

Jawaban:
Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakaatuh 

Shalat dalam keadaan lengan baju yang digulung, diangkat hukumnya makruh tapi shalat tetap sah menurut Madzhab Syafi'i dan Ulama yang sependapat dengan mereka, demikian pula makruh shalat dengan rambut terikat kecuali perempuan dan khuntsa bahkan wajib bagi mereka seandainya rambut terlihat malah batal shalatnya.

اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى النَّهْيِ عَنِ الصَّلَاةِ وَثَوْبُهُ مُشَمَّرٌ أَوْ كُمُّهُ أَوْ نَحْوُهُ أَوْ رَأْسُهُ مَعْقُوصٌ أَوْ مَرْدُودٌ شَعْرُهُ تَحْتَ عِمَامَتِهِ أَوْ نَحْوُ ذَلِكَ فَكُلُّ هَذَا مَنْهِيٌّ عَنْهُ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ وَهُوَ كَرَاهَةُ تَنْزِيهٍ فَلَوْ صَلَّى كَذَلِكَ فَقَدْ أَسَاءَ وَصَحَّتْ صَلَاتُهُ وَاحْتَجَّ فِي ذَلِكَ أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ جَرِيرٍ الطَّبَرِيُّ بِإِجْمَاعِ العلماء وحكى بن الْمُنْذِرِ الْإِعَادَةَ فِيهِ عَنِ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ ثُمَّ مذهب الجمهور أن النهي مطلقا لِمَنْ صَلَّى كَذَلِكَ سَوَاءٌ تَعَمَّدَهُ لِلصَّلَاةِ أَمْ كَانَ قَبْلَهَا كَذَلِكَ لَا لَهَا بَلْ لِمَعْنًى آخَرَ وَقَالَ الدَّاوُدِيُّ يَخْتَصُّ النَّهْيُ بِمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ لِلصَّلَاةِ وَالْمُخْتَارُ الصَّحِيحُ هُوَ الْأَوَّلُ وَهُوَ ظَاهِرُ الْمَنْقُولِ عَنِ الصَّحَابَةِ وَغَيْرِهِمْ وَيَدُلُّ عَلَيْهِ فعل بن عَبَّاسٍ الْمَذْكُورُ هُنَا قَالَ الْعُلَمَاءُ وَالْحِكْمَةُ فِي النَّهْيِ عَنْهُ أَنَّ الشَّعْرَ يَسْجُدُ مَعَهُ وَلِهَذَا مَثَّلَهُ بِالَّذِي يُصَلِّي وَهُوَ مَكْتُوفٌ
Para ulama sepakat atas larangan shalat dengan baju yang digulung, atau bagian pergelangan tangannya, atau yang lainnya. Atau kepala yang diikat atau yang diikat itu rambutnya di bawah sorbannya, atau semacam itu. Semuanya ini dilarang, dan ulama sepakat dalam hal ini. Larangannya termasuk karahah tanzih (dibenci karena kepatutan). Jadi seandainya seseorang shalat dalam keadaan seperti itu, maka ia telah berbuat jelek meski shalatnya tetap sah. Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir at-Thabari berhujjah dalam hal ini dengan berdasar pada ijma’ (kesepakatan) ulama. Sementara Ibnul-Mundzir menceritakan dari al-Hasan al-Bashri bahwasanya ia mengharuskan mengulangi lagi shalatnya. Kemudian madzhab jumhur ulama menyatakan bahwa larangan ini berlaku secara mutlak (umum) bagi yang akan shalat dalam keadaan itu, baik itu ia sengaja melakukannya untuk shalat, atau sebelumnya ia seperti itu, bukan ketika untuk shalat saja, melainkan untuk sesuatu hal yang lain. Sementara Imam ad-Dawudi menyatakan bahwa larangan itu khusus untuk yang melakukannya dalam shalat saja. Tetapi yang tepat dan shahih adalah yang pertama (jumhur), sebab kesimpulan seperti itu dinukil dari shahabat dan selain mereka. Sikap Ibn ‘Abbas yang sudah disebutkan di atas (kepada ‘Abdullah ibn al-Harits) juga menunjukkan demikian. Para ulama menjelaskan bahwa hikmah larangan di atas adalah rambut juga harus ikut sujud bersamanya. Oleh sebab itu Nabi saw menyamakannya dengan orang yang shalat dalam keadaan diikat/dibelenggu—maksudnya tidak semua anggota badannya ikut dalam gerakan shalat.
[Syarh an Nawawi Ala Muslim IV/209]


وعشروها: كف ثوب أو شعر للرجل أي منعه من السجود معه دون المرأة والخنثى بل قد يجب كف شعرهما. ولذلك قال القليوبي: نعم يجب كف شعر امرأة وخنثى توقفت صحة الصلاة عليه، ولا يكره بقاؤه مكفوفاً، ولا فرق بين الصلاة على الجنازة وغيرها ولا بين القائم والقاعد لخبر: "أمرت أن أسجد على سبعة أعضام ولا أكف ثوباً ولا شعراً" رواه الشيخان. وفي رواية: "أمرت أن لا أكفت الشعر أو الثياب" وأكفت بكسر الفاء وبالتاء من باب ضرب أي أجمع ومن ذلك أن يصلي وشعره معقوص أو مردود تحت عمامته أو ثوبه أو وكمه مشمر أي مرفوع، ويسن لمن رآه كذلك ولو مصلياً آخر أن يحله حيث لا فتنة، نعم لو بادر شخص وحل كمه المشمر وكان فيه مال وتلف كان ضامناً له ومنه شد الوسط فيكره إلا لحاجة بأن كانت ترى عورته بدون الحزام

“Keduapuluh dari perkara yang dimakruhkan saat shalat: Menahan pakaian atau rambut bagi musholli laki-laki (dengan cara semisal dikucir atau diikat) pada saat hendak sujud, bukan bagi mushalli perempuan atau khuntsa, bahkan terkadang wajib atas mushlli perempuan dan khuntsa untuk menahan rambutnya. Oleh karena ini, Qulyubi mengatakan bahwa diwajibkan atas mushlli perempuan dan khuntsa untuk menahan (mengikat) rambut jika memang shalat bisa menjadi sah hanya dengan cara menahan rambut tersebut. Tidak dimakruhkan apabila rambut tersebut masih dalam kondisi tertahan (terikat).

Kemakruhan menahan pakaian atau rambut bagi mushalli laki-laki disini tidak mempertimbangkan shalat yang sedang ia lakukan, artinya, baik shalat itu ada sholalat jenazah atau shalat selainnya, baik ia shalat dengan berdiri atau duduk karena adanya hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, “Aku diperintahkan melakukan sujud dengan bertumpu pada 7 (tujuh) tulang tubuh dan diperintahkan untuk tidak menahan baju dan juga rambut.” Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Dalam riwayat lain disebutkan, “Aku diperintahkan untuk tidak ‘ اكفت’ atau mengumpulkan (menahan) rambut dan pakaian.” Lafadz 'اكفت ' dengan membaca kasrah pada huruf Fa' dan Ta' dari bab ' ضرب' yang berarti 'اجمع ' (aku mengumpulkan).

Termasuk sikap menahan menahan rambut dan pakaian adalah mushalli shalat dengan rambut yang digelung atau diikat di bawah serbannya, atau ia shalat dengan pakaian atau lengan baju yang terangkat.

Apabila si A melihat si B sedang sholat dengan rambut atau pakaian yang ditahan, meskipun si A juga sedang shalat disampingnya, maka disunahkan bagi si A untuk melepas rambut atau pakaian si B yang ditahan tersebut selama tidak dikuatirkan terjadi fitnah atau cekcok. Tetapi, apabila si A melepas lengan baju si B yang ditahan (dilingkis) dan ternyata di dalam lengan baju tersebut ada harta si B dan kemudian jatuh rusak, maka si A menanggungnya (mengganti).

Termasuk menahan pakaian adalah mengikat perut dengan sabuk, maka hukumnya adalah makruh kecuali ada hajat, semisal; aurat mushalli akan terlihat jika ia tidak memakai sabuk.
[Kaasyifah As Sajaa Fii Syarh Safiinah an Najaa Halaman 78, Cet. Al Haramain]

ومنها: كف شعره أو ثوبه بلا حاجة، لأنه - صلى الله عليه وسلم - أمر بأن لا يكفهما ليسجدا معه.
ووضع يديه على فمه بلا حاجة، للنهي عنه، أما إذا كان لحاجة كالتثاؤب فسنة، لخبر صحيح فيه.

“Sebagian dari perkara yang dimakruhkan saat shalat yaitu menahan rambut dan pakaiannya dengan tanpa hajat karena Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam memerintahkan agar tidak menahan keduanya agar sujud besertanya. (Dimakruhkan pula) Meletakkan tangannya pada mulutnya dengan tanpa hajat karena adanya larangan melakukan itu, sedangkan jika ada hajat semacam menguap maka sunah berdasarkan hadits yang menunjukkannya ”
[Hasyiyah I'aanah at Thaalibiin I/195, Cet. Nurul Ilmi Surabaya]

(وكف شعره أو ثوبه) بنحو تشمير كمه أو شد وسطه، لخبر: "أمرت أن أسجد على سبعة أعظم، ولا أكف شعراً ولا ثوباً".
وحكمته: أن ذلك يمنع من سجودها معه، وينافي الخشوع والتواضع.

“Dan (dimakruhkan saat shalat) menahan rambutnya dan pakaiannya dengan semacam menggulung lengan bajunya dan menyingkat pertengahannya (tengah lengan bajunya)berdasarkan hadits "Aku diperintahkan agar bersujud kepada tujuh anggota dan aku tidak menahan rambut dan tidak pula pakaian". Hikmahnya mencegah sujud besertanya dan menafikan khusyuk dan Tawadhu ' ”
[Busyraal Kariim I/101, Cet. Al Hidaayah Surabaya]

Wallahu A'lamu Bis Shawaab

(Dijawab oleh: Ismidar Abdurrahman As Sanusi)

Link Diskusi:

Komentari

Lebih baru Lebih lama